Find Us On Social Media :

Ulang Tahun Jakarta ke-490: Mengenang Si Pitung, Jagoan Betawi yang Bisa Menghilang

By Ade Sulaeman, Kamis, 22 Juni 2017 | 16:45 WIB

Bangunan yang dianggap sebagai rumah Pitung di Marunda

Intisari-Online.com – Tokoh legendaris Betawi yang beken dan diingat sampai saat ini adalah si Jampang dan si Pitung atau Bang Pitung. Kompeni melukiskannya sebagai penjahat, pengacau, perampok dan sebagainya, yang harus ditumpas.

Sebaliknya, rakyat Betawi dan sekitarnya memandangnya sebagai pembela si kecil terhadap golongan orang kaya. la tak gentar menghadapi lawan yang betapun hebatnya, termasuk juga kompeni.

Sebuah buku cerita bergambar melukiskan Pitung sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh besar kuat lagi keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya.

Dalam lagu Bang Pitung-nya Benyamin S. ia disanjung sebagai jagoan yang selalu membela golongan lemah, seolah-olah bertulang besi berurat kawat.

Dalam foto adegan (still photo) film Si Pitung ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar.

Di masa awal sejarah perfilman di Indonesia, pernah pula dibuat film bisu tentang Pitung.  Kisahnya tentu saja disesuaikan dengan versi Belanda. Sehelai still photo dari film itu memperlihatkan

Pitung sedang minta informasi dari si jelita. Peran  Pitung dimainkan seorang aktor bertubuh tinggi besar berperawakan atletis, dan berwajah bersih serta tampan.

Sering ke rumah kakek

Namun, menurut penuturan almarhumah ibu saya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. "Perawakannya kecil. Tingginya kira-kira sekian," ibu menjelaskan dengan mengangkat sebelah tangannya.

Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya agak kehitam-hitaman, dengan ciri khas: sepasang cambang panjang tipis dengan ujung melingkar ke depan.

Bagaimana ibu saya bisa mengetahuinya? Semasa ibu masih gadis dan tinggal bersama kakek serta nenek, Pitung sering berkunjung dan mengobrol dengan kakek.

Berdasarkan kisah-kisah yang banyak beredar, musuh-musuh Pitung – kecuali kompeni - adalah orang-orang kaya yang tamak, yang hidupnya menyusahkan rakyat, khususnya para pemilik tanah.

Maka hubungan baik antara Pitung dan kakek, sepintas lalu agak ganjil. Kakek juga seorang tuan tanah, pemilik sebidang tanah yang sangat luas di Koneng, sebuah daerah pinggiran Jakarta.

Letaknya yang tepat saya tidak tahu, karena ketika saya lahir kakek sudah lama meninggal. Keluarga ibu pun sudah berpencar-pencar tempat tinggalnya.

Menurut ibu, kalau dari arah Jelambar, sampai ke Jembatan Pesing sebelah kanan, kita harus menyusuri jalan sepanjang tepi kali di sana, tanpa melintasi jembatan itu.

Ibu tidak pernah menceritakan kenapa Pitung sering datang ke rumah kakek. Apakah tuan tanah Koneng tidak termasuk dalam "daftarnya" sebagai salah seorang musuhnya?

Apakah sebagai tuan tanah kakek sangat disenangi rakyat setempat? Wallahualam!

Karena sering berkunjung itulah, dengan sendirinya ibu sering melihat Pitung dari dekat. Agaknya Pitung percaya benar pada kakek, dan yakin kakek takkan pernah mengkhianatinya, tidak melaporkannya kepada kompeni.

Bisa menghilang

Walaupun demikian, pernah terjadi suatu peristiwa sangat menegangkan ketika Pitung berada di rumah kakek.

Waktu itu ibu bersama nenek serta beberapa orang bibi saya, sedang asyik main congklak di bagian dalam rumah.  Pitung sedang mengobrol dengan kakek di ruang depan.

Sekonyong-konyong Pitung masuk ke ruang dalam. Kepada para wanita di situ ia berbisik, "Jangan katakan kepada Tuan Hinne bahwa saya ada di sini."

Dengan tenang ia terus masuk ke belakang, ke arah dapur. Nenek, ibu, dan yang lain segera tahu bahwa schout van Hinne (polisi Belanda yang mendapat tugas menangkap Pitung dan sejak lama mengejar-ngejarnya) menyergap rumah kakek.

Entah siapa yang melapor kepadanya. Atau mungkinkah ia kebetulan datang untuk iseng-iseng mengintai karena kenal kepada kakek?

Tidak pula diketahui pula siapa yang memberi tahu bahwa schout van Hinne sedang menuju ke situ.

Para wanita yang berkumpul di ruang dalam tentu saja kebingungan, bahkan cemas. "Barangkali aku juga pucat dan gemetar," cerita ibu.

Bagaimana kalau Pitung ditemukan bersembunyi di situ? Apa yang akan terjadi dengan kakek?

Di ruang depan sudah terdengar suara van Hinne bertanya. "Tempang (nama kakek) mana Pitung?"

Dengan tenang kakek menjawab, "Pitung? Saya tidak melihatnya."

"Jangan bohong, Tempang. Saya tahu dia ada di sini. Awas kalau kowe berani sembunyikan dia," kata van Hinne dengan nada agak mengancam.

Kakek mempersilakannya untuk memeriksa sendiri. Van Hinne masuk ke ruang dalam, diiringi beberapa orang bawahannya.

Seluruh rumah digeledah, termasuk kamar-kamar, kolong tempat tidur, sudur-sudut yang tersembunyi. Dapur dan halaman belakang rumah juga tidak terkecuali.

Ibu dan yang Iain-lain menghela napas lega ketika van Hinne dan anak buahnya muncul dari bagian belakang rumah diiringi kakek yang tetap tenang-tenang saja.

Pitung tidak ada di antara mereka.

Ibu masih sempat mendengar van Hinne mengancam kakek sambil berjalan ke ruang depan. "Awas, Tempang! Saya tangkap kowe, kalau berani sembunyikan Pitung!"

Tewas oleh peluru emas

isah ibu itu diperkuat salah seorang bibi saya. Yang mengherankan ibu, bibi, serta semua orang yang menyaksikan peristiwa itu: di manakah Pitung bersembunyi sehingga tidak berhasil ditemukan van Hinne dan orang-orang bawahannya?

Padahal penggeledahan dilakukan dengan cermat sekali. Kalau ia bersembunyi di sebelah luar pagar halaman belakang, kiranya tidak mungkin.

Halaman belakang rumah kakek berbatasan dengan Kali Koneng yang banyak buayanya. Di jalur sempit antara pagar halaman dan kali selalu ada satu dua ekor buaya yang berteduh di bawah bayangan pohon waktu siang hari.

Bersembunyi di situ berarti mengambil risiko disambar buaya!

Setelah schout van Hinne dan orang-orangnya meninggalkan rumah kakek, beberapa saat kemudian Pitung muncul lagi dari arah dapur.

"Sudah pergi?" tanyanya kepada para wanita yang masih berkumpul di ruangan dalam. Setelah mendapat kepastian, ia terus ke ruang depan dan tak lama kemudian pamitan kepada kakek.

Sejak itu masih beberapa kali ia mengunjungi kakek.

Pada suatu hari mendung, sehabis hujan lebat dan Kali Koneng sedang banjir, ibu mendengar rakyat ramai-ramai bercerita bahwa Pitung baru saja gugur oleh peluru van Hinne di suatu tempat di daerah Koneng.

Ia melakukan perlawanan ketika terkepung oleh van Hinne dan anak buahnya. Dalam tembak-menembak yang kemudian terjadi, ia tewas.

Sependengaran ibu, Pitung kebal. Yang dapat menewaskannya ialah peluru emas yang ditembakkan van Hinne dari pistolnya.

Tentu saja itu cerita burung yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Tentang cerita-cerita bahwa Pitung berilmu tinggi dan bisa menghilang (buktinya ia tidak ditemukan ketika bersembunyi di rumah kakek), menurut ibu hal itu barangkali benar.

"Yang pasti," kata ibu, "dengan tubuhnya yang kecil, Pitung sangat pandai menyembunyikan diri, dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain." (Tanu Trh.)

(Seperti pernah dimuat di Buku Ketoprak Betawi – Intisari)