Find Us On Social Media :

Jakarta 490 Tahun: Saat Dua Profesor Bertarung tentang Hari Lahir Jakarta, yang Mana yang Benar?

By Ade Sulaeman, Kamis, 22 Juni 2017 | 16:15 WIB

Monas Bersolek dengan Lampu LED

Intisari-Online.com – Yang pertama kali menetapkan tahun 1527 sebagai tahun kelahiran Jayakarta adalah almarhum Prof. Dr. P.A. Hussein Djajadiningrat dalam disertasi berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, yang dipertahankannya tahun 1913 di Universitas Leiden, Belanda.

Namun yang menentukan 22 Juni sebagai hari lahir Jayakarta adalah Prof. Dr. Sukanto.

Dalam disertasinya, Prof. Hussein Djajadiningrat menyatakan bahwa Jayakarta berarti "volbrachte zege" (kemenangan yang selesai).

Nama itu diberikan kepada kota yang mula-mula bernama Sunda Kelapa oleh Fatahillah (Faletehan), setelah direbut dari Kerajaan Pajajaran.

Pajajaran adalah kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa pada waktu itu, sedangkan Fatahillah adalah ipar sultan Demak yang memimpin suatu tentara ekspedisi ke Jawa Barat, untuk mengislamkan daerah itu.

Pada tahun 1954, almarhum Prof. Dr. Mr. Sukanto, guru besar sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menulis sebuah risalah berjudul Dari Djakarta ke DjaJakarta.

Prof. Sukanto mencoba melengkapi tahun kelahiran Jayakarta dengan tanggal dan bulannya.

Portugis melirik ke selatan

Kalau disimpulkan, kelahiran Jayakarta merupakan perbenturan tiga kekuatan waktu itu, yakni Kesultanan Demak, Kerajaan Pajajaran, dan Kerajaan Portugis yang mempunyai pancangan kaki di Malaka sejak tahun 1511, yaitu sejak Portugis merebut kota itu dari tangan orang Melayu.

Sejak tahun 1511 itu Portugis merupakan faktor di dalam percaturan politik internasional di  Indonesia. Apalagi setelah pada tahun 1521 mereka juga merebut Pasai sehingga seluruh Selat Sumatra itu dikuasainya.

Sebagai akibat dari perkembangan itu, pusat perdagangan bumiputra di Indonesia berpindah dari Sumatra Utara ke Jawa Barat.

Maka orang Portugis pun lantas mengarahkan matanya ke selatan. Di sana dilihatnya masih ada satu negara yang beragama Hindu, yaitu Pajajaran, sehingga bisa dijadikan sekutu yang wajar dalam permusuhan terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia yang rajanya telah beragama Islam.

Untuk menjalin persekutuan dengan pihak Pajajaran, gubernur Portugis di Malaka, Jorge   d'Albuquerque mengirimkan utusan ke sana.

Bertemu kenalan lama

Tanggal 21 Agustus 1522, Pajajaran dan Portugis membuat perjanjian. Portugis diizinkan membangun sebuah benteng di Sunda Kelapa.

Tugas itu diserahkan kepada Francisco de Sa, yang pada 1526 mendapat tugas untuk terlebih dulu menggempur Bintan. Setelah tugas itu selesai, Francisco de Sa melanjutkan pelayarannya ke selatan. 

Sementara itu Sunda Kelapa sudah direbut oleh Fatahillah dari tangan Pajajaran. Pada waktu itu Fatahillah telah selesai mengkonsolidasi kekuasaannya di Banten.

la sedang bergerak kemhali menuju ke timur, di mana kelak ia akan membentuk pula Cirebon. Fatahillah sesungguhnya "kenalan lama" orang Portugis.

Ia berasal dari Pasai dan terpaksa melarikan diri dari sana ketika kota itu direbut orang Portugis. Ia mengembara, pertama kali ke Mekah dan kemudian ke Demak.

Di Demak ia berhasil mendapat kepercayaan yang besar dari sultan, sehingga dinikahkan dengan saudara perempuan sultan. Tidak lama kemudian ia dipercaya memimpin suatu tentara ekspedisi untuk mengislamkan Jawa Barat.

Di sanalah ia bertemu dengan musuh lamanya, orang Portugis.

Francisco de Sa mendarat di Teluk Jakarta sambil menduga ia akan disambut dengan meriah oleh pejabat-pejabat Pajajaran yang bertugas di Sunda Kelapa.

Ternyata ia disambut dengan senjata oleh Fatahillah.

Orang Portugis berhasil dipukul mundur sehingga melarikan diri kembali ke Malaka.

Mengapa 22 Juni?

Dengan bertolak dari teori Prof. Hussein Djajadiningrat, Prof. Sukanto memperkirakan pertempuran antara Fatahillah melawan Francisco de Sa terjadi pada pertengahan bulan Maret 1527, sehingga pastilah pemberian nama Jayakarta dilakukan setelah Maret 1527.

Bahan-bahan sejarah yang "kuat" tidak terdapat untuk menentukan tanggal dan bulan yang pasti pada pemberian nama itu. Karena itu Prof. Sukanto menempuh cara lain, yaitu cara dugaan dengan mendasarkannya pada suatu praanggapan mengenai kepribadian dan kepemimpinan Fatahillah.

Tulis Prof. Sukanto: "... sebagai seorang pemimpin yang juga dipengaruhi oleh adat-istiadat Jawa (istrinya toh seorang putri Demak, adik Pangeran Trenggana, sultan Demak dan tentaranya kebanyakan terdiri atas orang Jawa dan ia hidup dalam kalangan orang Jawa), sudah tentu ia memperhatikan juga adat-istiadat itu.

Pada umumnya adat-istiadat orang Jawa dan orang Sunda penduduk asli Sunda Kelapa, tidak berbeda. Perasaan rakyat Jawa dan Sunda tentang penghidupan kebanyakan adalah sama.

"Penanggalan Islam, agama yang baru saja datang di Jawa pada masa itu, belum meresap dalam hati sanubari penduduk Sunda Kelapa. Saya yakin bahwa seorang budiman seperti Faletehan insaf akan keadaan ini.

Ia harus bertindak dengan hati-hati  dan saya kira ia tidak akan mengabaikan suara-suara para penasihatnya dan orang-orang dari kalangannya yang pasti kebanyakan

terdiri atas orang Jawa.

"Saya berpendapat, bahwa untuk tidak menyinggung perasaan rakyat yang sebagian besar belum menjadi muslim, kemungkinan adalah tidak sedikit, jika ia tidak mempedulikan sama sekali penanggalan Hindu-Jawa, yang mengambil suatu hari dari penanggalan rakyat yang sungguh hidup dalam masyarakat dari dahulu sampai sekarang, yaitu penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian.

"Bahwa penanggalan yang dibuat oleh Sultan Agung dari Mataram untuk seluruh Mataram dalam tahun 1633 (penanggalan Jawa-muslim), ternyata kemudian tidak cocok dengan perasaan rakyat sehingga dalam tahun 1855 penanggalan rakyat harus dipakai lagi, penanggalan yang hidup dari dulu sampai sekarang,  yaitu penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian. Yang saya maksud adalah pranatamangsa.

"Satu tahun (zonnejaar) dibagi atas 12 mangsa, yaitu mangsa kesatu (jawa: Kasa, mulai 22 Juni), mangsa kedua (jawa: Karo, mulai 2 Agustus), mangsa ketiga (jawa: Katiga, mulai 25 Agustus), mangsa keempat (jawa: Kapat, mulai 18 September), mangsa kelima (jawa: Kalima, mulai 13 Oktober), mangsa keenam (jawa: Kanem, mulai 9 November), mangsa ketujuh (jawa: Kapituh, mulai 22 Desember), mangsa kedelapan (jawa: Kawolu, mulai 3 Februari), mangsa kesembilan (jawa: Kasanga, mulai 1 Maret), mangsa kesepuluh (jawa: Kasadasa, mulai 26 Maret), mangsa kesebelas (jawa: Dhostha, mulai 19 April) dan mangsa kedua belas (jawa: Sadha, mulai 12 Mei).

"Apabila kita mengingat bahwa pada masa itu berbagai pekerjaan dilakukan dan putusan-putusan diambil dengan pertimbangan yang masak-masak, saya kira bahwa nama Jayakarta itu diberikan beberapa bulan setelah Maret 1527.

"Mengingat pula apa yang diuraikan di atas itu, yakni mangsa kesatu jatuh dalam bulan Juni (bulan panen axau bulan setelah panen), kita kira kemungkinan tidak sedikit, jika nama Jayakarta diberikan pada tanggal satu, mangsa kesatu, yaitu pada bulan Juni, tanggal 22, tahun 1527. Harinya yang pasti kita tidak dapat mertemukannya."

Diterima pemerintah daerah, dibantah ilmuwan lain

Demikian cara Prof. Sukanto menduga hari lahir Kota Jayakarta-Jakarta. Teori itu kemudian diterima baik Pemerintah Daerah Jakarta Raya, sehingga secara resmi ditetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir resmi Jakarta.

Namun dalam bidang ilmiah, diskusi berjalan terus. Prof. Hussein Djajadiningrat yang terkenal sebagai sarjana Islamologi bertaraf internasional, rupa-rupanya tidak bisa menerima teori Prof. Sukanto yang terkenal sebagai sarjana hukum adat dan yang juga terkenal sampai ke luar batas tanah air.

Prof. Hussein, justru bertolak dari praanggapan bahwa Fatahillah (Faletehan) sebagai seorang ulama besar yang sedang menyebarkan Islam, tentunya akan memakai setiap kesempatan untuk mengajukan segala sesuatu yang berjiwa atau bersangkutan dengan Islam.

Pastilah prajurit- prajurit yang dibawanya di dalam tentara ekspedisinya merupakan orang-orang pilihan yang telah terkenal semangat keislamannya.

Karena itu, menurut Prof. Hussein, Fatahillah justru akan memakai hari raya Islam sebagai cantelan bagi hari lahir Jayakarta, bukan hari raya adat.

Bahkan nama Jayakarta itu sendiri adalah hasil inspirasi daripada sejarah Islam. Kiranya Fatahillah teringat akan peristiwa pembebasan Mekah oleh Nabi Muhammad dari tangan suku Quraisj.

Pada kesempatan itu Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi yang berbunyi: "Inna fatahna laka fathan mubinan." (Sesungguhnyalah telah Aku berikan kepadamu suatu kemenangan yang jelas).

Fathan mobinan artinya bersamaan dengan Jayakarta.

Adapun hari raya Islam yang terdekat, menurut Prof. Hussein, adalah Maulid Nabi, 12 Rabi'ulawwal, yang jatuh pada tanggal 1 Juni 1527.

Terjepit dua gajah

Cerita ini sebenarnya bisa diakhiri di sini. Namun saya ingin memberi post sciptum. Baik Prof. Hussein Djajadiningrat maupun Prof. Sukanto adalah guru besar saya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Secara ilmiah, kedua teori itu tidak begitu kuat, karena tidak dilandaskan pada fakta yang kuat pula. Sifatnya hanyalah suatu dugaan belaka.

Namun agak sukar bagi seorang mahasiswa untuk menyatakan hal itu kepada guru besarnya, apalagi jika guru besar itu sedang mengujinya.

Justru hal itulah yang saya alami. Pada ujian doktoral akhir saya, Prof. Sukanto menjadi ketua panitia ujian dan hal yang saya khawatirkan terjadi.

Dalam ujian itu beliau menanyakan: di antara kedua teori tentang hari lahir Jayakarta itu, mana menurut pendapat saya yang benar.

Saya memberanikan diri memberi jawaban seperti yang sudah saya uraikan di atas, yaitu bahwa kedua teori itu tidak kuat, sehingga saya sendiri belum bisa menerimanya sebagai fakta sejarah.

Ketika itu keringat dingin saya sudah mulai bercampur dengan keringat panas. Namun syukurlah Prof. Sukanto dapat menerima jawaban saya itu, sehingga ujian berakhir dengan selamat.

Setiap tahun, saya ikut merayakan hari ulang tahun Kota Jakarta dengan terkenang pada almarhum kedua guru besar saya. (Nugroho Notosusanto.  Almmhum Prof. Nugroho Notosusanto adalah seorang sejarawan yang pemah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.)

(Seperti pernah dimuat di Buku Ketoprak Betawi – Intisari)