Find Us On Social Media :

Jakarta 490 Tahun: Saat Dua Profesor Bertarung tentang Hari Lahir Jakarta, yang Mana yang Benar?

By Ade Sulaeman, Kamis, 22 Juni 2017 | 16:15 WIB

Monas Bersolek dengan Lampu LED

Mengapa 22 Juni?

Dengan bertolak dari teori Prof. Hussein Djajadiningrat, Prof. Sukanto memperkirakan pertempuran antara Fatahillah melawan Francisco de Sa terjadi pada pertengahan bulan Maret 1527, sehingga pastilah pemberian nama Jayakarta dilakukan setelah Maret 1527.

Bahan-bahan sejarah yang "kuat" tidak terdapat untuk menentukan tanggal dan bulan yang pasti pada pemberian nama itu. Karena itu Prof. Sukanto menempuh cara lain, yaitu cara dugaan dengan mendasarkannya pada suatu praanggapan mengenai kepribadian dan kepemimpinan Fatahillah.

Tulis Prof. Sukanto: "... sebagai seorang pemimpin yang juga dipengaruhi oleh adat-istiadat Jawa (istrinya toh seorang putri Demak, adik Pangeran Trenggana, sultan Demak dan tentaranya kebanyakan terdiri atas orang Jawa dan ia hidup dalam kalangan orang Jawa), sudah tentu ia memperhatikan juga adat-istiadat itu.

Pada umumnya adat-istiadat orang Jawa dan orang Sunda penduduk asli Sunda Kelapa, tidak berbeda. Perasaan rakyat Jawa dan Sunda tentang penghidupan kebanyakan adalah sama.

"Penanggalan Islam, agama yang baru saja datang di Jawa pada masa itu, belum meresap dalam hati sanubari penduduk Sunda Kelapa. Saya yakin bahwa seorang budiman seperti Faletehan insaf akan keadaan ini.

Ia harus bertindak dengan hati-hati  dan saya kira ia tidak akan mengabaikan suara-suara para penasihatnya dan orang-orang dari kalangannya yang pasti kebanyakan

terdiri atas orang Jawa.

"Saya berpendapat, bahwa untuk tidak menyinggung perasaan rakyat yang sebagian besar belum menjadi muslim, kemungkinan adalah tidak sedikit, jika ia tidak mempedulikan sama sekali penanggalan Hindu-Jawa, yang mengambil suatu hari dari penanggalan rakyat yang sungguh hidup dalam masyarakat dari dahulu sampai sekarang, yaitu penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian.

"Bahwa penanggalan yang dibuat oleh Sultan Agung dari Mataram untuk seluruh Mataram dalam tahun 1633 (penanggalan Jawa-muslim), ternyata kemudian tidak cocok dengan perasaan rakyat sehingga dalam tahun 1855 penanggalan rakyat harus dipakai lagi, penanggalan yang hidup dari dulu sampai sekarang,  yaitu penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian. Yang saya maksud adalah pranatamangsa.

"Satu tahun (zonnejaar) dibagi atas 12 mangsa, yaitu mangsa kesatu (jawa: Kasa, mulai 22 Juni), mangsa kedua (jawa: Karo, mulai 2 Agustus), mangsa ketiga (jawa: Katiga, mulai 25 Agustus), mangsa keempat (jawa: Kapat, mulai 18 September), mangsa kelima (jawa: Kalima, mulai 13 Oktober), mangsa keenam (jawa: Kanem, mulai 9 November), mangsa ketujuh (jawa: Kapituh, mulai 22 Desember), mangsa kedelapan (jawa: Kawolu, mulai 3 Februari), mangsa kesembilan (jawa: Kasanga, mulai 1 Maret), mangsa kesepuluh (jawa: Kasadasa, mulai 26 Maret), mangsa kesebelas (jawa: Dhostha, mulai 19 April) dan mangsa kedua belas (jawa: Sadha, mulai 12 Mei).

"Apabila kita mengingat bahwa pada masa itu berbagai pekerjaan dilakukan dan putusan-putusan diambil dengan pertimbangan yang masak-masak, saya kira bahwa nama Jayakarta itu diberikan beberapa bulan setelah Maret 1527.