Punya Pola yang Mirip dengan Eksodus dalam Peperangan, Alasan para Pemudik Juga Wajib Siap Tempur

Ade Sulaeman

Penulis

Mudik

Intisari-Online.com - Arus mudik yang berlangsung setiap Lebaran merupakan pergerakan jutaan orang dengan berbagai moda kendaraan termasukkapal perang dengan tujuan sama : pulang kampung.

Pergerakan jutaan orang ini sebenarnya merupakan eksodus raksasa yang berlangsung secara sistematis terutama pergerakkan jutaan warga yang ramai-ramai meninggalkan ibukota.

(Baca juga: Mau Mudik Lebaran Tanpa Khawatir Dengan Keamanan Rumah? Cobalah 3 Teknologi Canggih Ini)

Pergerakkan arus mudik mirip ini dalam situasi peperangan. Seolah-olah Jakarta akan segera jatuh ke tangan musuh maka warga pun dengan dipandu pemerintah melakukan eksodus secara sistematis menuju tempat yang aman.

Demikian semangatnya para warga meninggalkan ibukota, puluhan ribu pemudik motor pun berjibaku, bertempur mati-matian, menembus kemacetan yang mengular, dan menempuh jarak ratusan km dengan semangat pantang menyerah.

Bagi yang punya mobil dan lebih nyaman, situasi seperti peperangan akan segera menyergap ketika mereka terjebak macet di tol hingga berkilo-kilo meter.

Mau buang air besar dan kecil menjadi sangat sulit, bekal makanan makin menipis sehingga oleh-oleh untuk keluarga di kampung pun disikat, bahan bakar kendaraan juga terancam habis, pemudik yang sumpek oleh kemacetan kemudian turun dari kendaraan, makan-minum dan buang sampah sembarangan.

(Baca juga: Catat! Inilah Nomor Tim Satgas BBM Pertamina Jika Kita Terjebak Macet dan Kehabisan Bensin saat Mudik)

Lalu mendadak muncul warga sekitar yang jadi pedagang spontan untuk menawarkan makanan ringan, minuman, bensin dalam jerigen, dan toilet darurat yang dibuat dari potongan karung atau kardus.

Situasi betul-betul mirip pengungsian dalam kondisi perang.

Pergerakkan arus mudik memang seperti peperangan karena jalan raya diawasi dan dijaga ketat puluhan ribu polisi dan juga tentara yang selalu siapa.

Para sniper dari Brimob pun berjaga dalam jarak tembak 300-900 meter untuk menembak jatuh bandit yang mencoba mengusik para pemudik.

Semua aparat kepolisian dan juga TNI turun tangan agar arus mudik dan juga arus baliknya nanti berjalan aman dan kalau bisa tidak jatuh korban.

Tapi seperti tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, ketika pasukan militer diberangkatkan untuk perang, para jenderal sebenarnya juga menyiapkan kantong mayat bagi prajurit yang gugur.

Jumlahnya biasanya 10% dari jumlah total pasukan yang dikirim untuk berperang.

Dalam ritual arus mudik dan arus balik, ternyata berlaku kesiap-siagaan ala militer yang akan berangkat perang.

Di daerah-daerah tertentu sejumlah makam bahkan sudah digali untuk mengantisipasi para pemudik yang ‘’gugur’’.

Maklum setiap tahun korban yang jatuh akibat arus mudik dan balik lebih dari 600 orang.

Jumlah ini bahkan lebih banyak dari korban akibat pesawat jumbo jet yang jatuh.

Puluhan ribu kendaraan dan jutaaan manusia yang bergerak dalam waktu yang sama memang bukan merupakan ‘’perjalanan exodus’’ yang tidak mudah karena harus didukung oleh stamina, emosi, kendaraan, disiplin dan lainnya yang prima.

Tidak ada satu pun orang yang ingin jadi korban dalam proses arus mudik dan balik itu.

Selalu berhati-hati dan waspada serta menghargai pengendara lain adalah kuncinya.

Peperangan dalam mudik kali ini bukan melawan musuh dalam wujud penjajahan.

Tapi kemacetan total yang harus dihadapi dengan kesabaran tingkat tinggi.

Perang terhadap diri sendiri dan tidak perlu menyalah-nyalahkan orang lain. Bahkan pemerintah pun tidak bisa diharap banyak.

Setiap msim mudik para pemudik memang harus siap tempur, siap stamina, kendaraan, logistik, obat-obatan, dan lainnya.

Seperti tentara mau perang semua perlengkapan sebaiknya didata sebelum berangkat, kendaran diperiksa cermat, dan lainya, sehingga perjalanan berjalan lancar dan selamat baik saat arus mudik maupun arus balik.

Artikel Terkait