Penulis
Intisari-Online.com -Foto memilukan dari Amal Hussain, bocah berusia 7 tahun yang berbaring dengan tenang di tempat tidur rumah sakit di Yaman Utara, tampaknya membuat orang tak tega dengan keadaan di negaranya yang sedang dilanda perang.
Sebuah potret gadis yang kelaparan diterbitkan di The New York Times minggu lalu menarik tanggapan yang beragam dari para pembaca.
"Hatiku hancur," kata ibunya, Mariam Ali, yang menangis saat wawancara telepon.
Baca Juga : ‘Saya Didiagnosis Kanker Payudara Saat Hamil dan Cara Ini Selamatkan Bayi Saya’
"Amal selalu tersenyum. Sekarang saya khawatir untuk anak-anak saya yang lain."
Gambar-gambar dari Yemenis yang kekurangan gizi seperti Amal - satu dari 1,8 juta anak-anak yang kekurangan gizi parah di Yaman - telah menempatkan manusia ketakutan bahwa bencana kelaparan 'buatan manusia' dapat menelan negara itu dalam beberapa bulan mendatang.
Dalam perjalanan ke Yaman untuk melihat korban perang yang telah terjadi, Amal ada di sebuah pusat kesehatan di Aslam, 90 mil barat laut ibu kota, Sana.
Dia berbaring di tempat tidur bersama ibunya.
Perawat memberinya makan setiap dua jam dengan susu, tetapi dia muntah secara teratur dan menderita diare.
Dr. Mekkia Mahdi, dokter yang bertanggung jawab, duduk di samping tempat tidurnya, membelai rambutnya.
Dia menarik kulit lembek lengan Amal yang seperti 'tongkat'.
"Lihat," katanya.
"Tidak ada daging. Hanya tulang."
Ibu Amal juga sakit, pulih dari serangan demam berdarah yang kemungkinan besar berasal dari nyamuk yang berkembang biak di genangan air di kamp mereka.
Baca Juga : Hanya Makan Daun, Para Orangtua dan Anak-anak di Yaman Kelaparan dan Bertubuh Sangat Kurus
Serangan udara dari Saudi telah memaksa keluarga Amal untuk meninggalkan rumah mereka di pegunungan tiga tahun lalu.
Keluarga itu berasal dari Saada, sebuah provinsi di perbatasan Arab Saudi yang telah menanggung beban paling tidak 18.000 serangan udara yang dipimpin Saudi di Yaman sejak 2015.
Amal adalah bahasa Arab untuk 'harapan,' dan beberapa pembaca menyatakan harapan dari kesusahannya dapat membantu membangkitkan perhatian pada perang, di mana puluhan ribu warga sipil telah meninggal karena kekerasan, kelaparan atau penyakit.
Tahun lalu, Yaman menderita epidemi kolera terbesar di zaman modern, dengan lebih dari satu juta kasus.
Baca Juga : Perang Air: Tempat yang Diprediksi Jadi Medan Konflik Bersenjata Masa Depan
Amal keluar dari rumah sakit di Aslam minggu lalu, masih sakit.
"Dokter perlu memberi ruang bagi pasien baru," kata Dr. Mahdi.
Keluarga itu membawa Amal kembali ke rumah, sebuah gubuk yang terbuat dari jerami dan terpal plastik, di sebuah kamp di mana lembaga-lembaga bantuan menyediakan bantuan, termasuk gula dan beras.
Tapi itu tidak cukup untuk menyelamatkan Amal.
Kondisinya memburuk, dengan sering muntah dan diare, kata ibunya.
Pada 26 Oktober, tiga hari setelah dia keluar dari rumah sakit, dia meninggal.
"Saya tidak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit," kata Ali.
"Jadi saya membawanya pulang." (Adrie P. Saputra)