Untuk Distribusi Listrik Merata dan Murah, Ada Baiknya Indonesia Meniru Strategi Listrik Swasta ala Jepang Ini

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang luar biasa belum diimbangi dengan distribusi listrik yang merata.

Intisari-Online.com – Tanggal 27 Oktober ditetapkan sebagai Hari Listrik Nasional. Bagaimanakah pasokan dan distribusi listrik nasional?

Mari kita simak tulisan Alexander S. Winardi, Strategi Listrik Swasta ala Jepang, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2012.

Akhir-akhir ini saya bangga atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi barat. Di tahun 2011 kemarin, pertumbuhan GDP mencapai angka fantastis, yaitu 6.2%.

Dan Indonesia, menurut Moody’s Investor Service telah mencapai investment grade rating. Luar biasanya lagi, dari tahun 1999 sampai sekarang, jumlah populasi kelas menengah di Indonesia terus meningkat dari 25% menjadi 45%.

Baca Juga : Wanita Ini Temukan Cara Memangkas Tagihan Listriknya Hingga Rp600 Ribu per Bulan!

Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa itu belum diimbangi dengan distribusi listrik yang merata. Sampai saat ini, masih ada 80 juta warga Indonesia yang belum mendapatkan jaringan listrik.

Bahkan di beberapa daerah, arus listrik hanya dibatasi 12 jam. Banyak yang menganggap, hal ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat kondisi geografis negara Indonesia yang berupa kepulauan.

Menurut PLN, hambatan utama dalam distribusi listrik terletak pada tingginya biaya pembangunan pembangkit dan transmisi listrik ke daerah dan pulau-pulau terpencil. Apakah perihal biaya ini masih dapat dimaklumi?

Rasa-rasanya faktor biaya tak boleh lagi menjadi kendala, mengingat janji pemerintah akan target 100% elektrifikasi di seluruh nusantara tahun 2020 nanti.

Baca Juga : Dituntut Bayar Tagihan Listrik Rp18 Juta Oleh PLN Setempat, Keluarga ini Salahkan Kucingnya

Dalam penilaian saya, kebijakan negara soal tarif listrik, justru merugikan PLN. Tarif listrik disubsidi negara secara besar-besaran agar dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Coba kita lihat faktanya.

Sejak tahun 2003, tarif listrik konstan pada harga 6.5 sen/kWh (termurah di ASEAN); sedangkan biaya untuk memproduksi listrik sampai tahun 2009 adalah 11 sen/kWh. Tak heran, meski dibantu subsidi, PLN sampai saat ini, masih mengalami defisit.

Kondisi ini mengakibatkan PLN tidak dapat mengumpulkan dana untuk menambah dan mengembangkan jaringan elektrifikasi negara. Padahal, kebutuhan listrik di Jawa-Madura semakin membengkak.

Solusi instan pun diberlakukan dengan membentuk fastrack program, yang memperbesar ketergantungan akan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listri yang murah, tetapi sangat kotor.

Baca Juga : Usai Gempa di Palu, Muncul Fenomena Tanah Bergerak yang Sebabkan Bangunan Hingga Tiang Listrik Terseret

Ajak swasta ikut serta

Saat mendapat kesempatan untuk magang di Osaka, Jepang, tahun 2011 kemarin, saya mendapat kesempatan untuk mempelajari strategi elektrifikasi Jepang. Negeri matahari terbit ini terbukti memiliki strategi elektrifikasi yang stabil, merata, dan ramah lingkungan.

Menurut saya strategi ini cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Kebutuhan listrik di Jepang hampir 7 kali lipat lebih besar dibanding kebutuhan listrik di Indonesia (858.5 TWh (Terra-Watt per hour) berbanding 133 TWh pada tahun 2009). Uniknya, Jepang justru didaulat sebagai negara dengan konsumsi energi terendah di dunia.

Semuanya itu berkat pembangkit listrik yang efisien serta program dan sarana konservasi energi yang baik.

Baca Juga : Kakak Syahrini Meninggal Tersengat Listrik: Kedua Orang Ini Justru Mengklaim 'Kebal Sengatan Listrik'

Namun, kunci utama dari keberhasilan Jepang adalah strategi untuk mendelegasikan tanggung jawab elektrifikasi negara kepada sepuluh perusahaan swasta. Tiap perusahaan diberi tanggung jawab regional, sehingga usaha dan sumber daya tiap perusahaan terfokus ke satu daerah.

Kesepuluh perusahaan ini juga bekerja sama bertukar dan membagi pasokan listrik dalam situasi darurat sebagaimana saat bencana di Fukushima, bulan April 2011 lalu.

Agar perusahaan listrik tetap bisa mendapatkan laba tanpa memberatkan konsumen, pemerintah menetapkan perhitungan persentasi laba yang dapat dimasukkan ke dalam tarif listrik.

Selain untuk membayar dividen, laba tersebut akan digunakan untuk investasi masa mendatang, seperti peningkatan kapasitas pembangkit listrik atau riset dan implementasi teknologi baru yang lebih ramah lingkungan.

Baca Juga : Kakak Syahrini Meninggal Tersengat Listrik: Ini Pertolongan Pertama Bila Tersengat Listrik

Partisipasi warga

Untuk mengurangi ketergantungan akan impor minyak, selama 40 tahun terakhir, Jepang berfokus pada pengembangan teknologi konservasi energi dan perluasan aplikasi energi yang terbarukan, seperti tenaga nuklir, angin dan surya.

Untuk mengajak warganya aktif menggunakan sumber energi terbarukan, pemerintah memberikan insentif bagi mereka yang memasangan panel surya dan turbin angin di rumahnya. Mereka yang memasang alat penghasil listrik dari energi terbarukan, boleh menjual surplus listrik yang dihasilkan dengan harga dua kali dari tarif normal selama satu dekade pertama.

Kebijakan Jepang dalam meliberalisasikan sektor listrik atau Independent Power Producer akan terus dilakukan secara progresif. Mereka yang bisa menghasilkan listrik, diperbolehkan menjual dan berkompetisi secara adil dan transparan dengan perusahaan pembangkit listrik swasta yang dikontrol pemerintah.

Alhasil, kebijakan ini mampu menekan tarif listrik sekaligus mendorong laju perputaran roda ekonomi.

Baca Juga : Dampak Listrik Mati 9 Bulan, Warga Venezuela Harus Rela Makan Daging Busuk

Masa depan listrik Indonesia

Sebenarnya, problem elektrifikasi dan defisit PLN adalah cerita lama. Pada tahun 1994, untuk menanggulangi defisit, PLN dialihkan dari perusahaan umum menjadi persero dengan tujuan memaksimalkan laba.

Dan seiring meningkatnya kebutuhan listrik, pemerintah sudah mulai menggandeng perusahaan swasta atau IPP sebagai PT. Paiton Energy.

Untuk memperluas jaringan listrik, PLN juga bekerja sama dengan perusahaan Jerman untuk pemasangan solar panel di pulau-pulau terpencil. Namun, semuanya itu belum cukup.

Sektor listrik memerlukan sistem manajemen dan birokrasi yang lebih terbuka terhadap investor lokal dan internasional. Selain itu, sistem ini harus didukung pula dengan kebijakan dan strategi pemerintah yang mendukung pengembangan elektrifikasi di nusantara.

Baca Juga : Xtra Card Diklaim Bisa Kurangi Tagihan Listrik, Kementerian ESDM: Tidak Logis

Artikel Terkait