Find Us On Social Media :

Tato di Tubuh Pria Dayak yang Penuh dengan Filosofi Keberanian

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 23 Oktober 2018 | 21:00 WIB

“Bukan macam sekarang, waaah, satu hari sudah sampai, haha.”

Jangkauan perantauan Apai Agong kian panjang. Dia melanjutkan melanglang buana ke Sarawak, Malaysia, dan tato di betis menjadi penanda.

Baca Juga : Seluruh Tubuh Remaja Ini Ditato 'Sembarangan' oleh Pemerkosa Sekaligus Penculiknya, Keji!

Berikutnya, selama 9 tahun dia bekerja di Brunei Darussalam sebagai buruh pemasang pipa untuk tambang minyak bumi. “Saya di Brunei jadi tukang pasang paip,” ujar Apai, melafalkan pipe dalam aksen Inggris.

Selain di sekujur kaki dan punggung, Apai memiliki tato di batang leher yang dia buat saat remaja. Tato itu menandai kali pertama dia merantau.

Bagaimana tato tradisional ini dibuat? “Dulu ndak ada api (lampu listrik), jadi kami pakai pelita (obor). Arang pelita dicampur gula dan air lalu ditusukkan ke kulit pakai jarum. Setelah ditusuk, bisa demam satu sampai dua hari,” kata Apai.

Mitologi dalam motif

Eugene Yohanes Palaunsoeka, 52 tahun, pria berdarah Dayak Salako dan Dayak Taman, segera bisa mengenali motif tato Apai Agong ketika melihatnya lewat foto.

Baca Juga : Wanita di Hutan Hingga Persembahan untuk Istrinya, Ini 9 Tato Penghias Tubuh David Beckham yang Paling Ikonik

“Ini motif kala dalam mitologi Dayak. Sosok kalajengking, juga lipan, ular, dan bahkan manusia, digambarkan secara abstrak, bukan realis, dan lebih sebagai simbol,” ucap Ojen, sapaan akrab seniman Dayak, anak keenam dari tokoh nasional Fransiskus Conrad (FC) Palaunsoeka, ini.

Dia menjelaskan, inti filosofi tato yakni kalau mau jadi orang berani, harus tahan sakit. Mampu mengatasi rasa sakit saat ditato adalah wujud keberanian.

“Ada beberapa kasus. Selain untuk inisiasi, ada tato yang bersifat religi dan berkaitan dengan kehidupan magis maupun pengobatan,” ujar Ojen sambil membuat sketsa wujud kala di selembar kertas.