Find Us On Social Media :

Tato di Tubuh Pria Dayak yang Penuh dengan Filosofi Keberanian

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 23 Oktober 2018 | 21:00 WIB

Intisari-Online.com – Tato di tubuh pria Dayak adalah simbol dari segala hal. Tanda inisiasi, simbol kekuatan magis, berhubungan dengan religi, untuk pengobatan, kenangan perjalanan, atau catatan kehidupan.

Tapi arti yang paling esensial adalah bukti kelaki-lakian, tahan penderitaan.

Mari kita simak tulisan Severianus Endi, dari Kalimantan Barat, Tato Apai Agong dan Filosofi Keberanian, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2012.

Guratan tato tampak mencolok di lutut Apai Agong. Tak hanya itu, di sekujur kulit kakinya yang sudah keriput banyak tato lain dengan motif yang saling terjalin. Tapi tato - atau pantang dalam bahasa Dayak Iban - di lutut itu sangat spesial.

Pantang ini saya buat saat ke Jakarta. Di sana saya bertemu Presiden Soekarno,” tutur Apai Agong saat ditemui di Desa Lanjak, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, sekitar 920 km dari Pontianak, Februari 2012.

Baca Juga : 6 Ritual Nenek Moyang untuk Meminta Hujan, Salah Satunya dari Suku Dayak

Apai, sebutan dalam bahasa Dayak Iban untuk Bapak, tak bisa mengingat kapan persisnya “keberuntungan” mengunjungi Jakarta bahkan bertemu presiden itu menghampiri dirinya. Matanya yang sudah tidak terlalu awas tampak menyipit sementara kerutkerut keningnya merapat saat mencoba mengingat.

“Mungkin sekitar tahun 1945, karena waktu itu Soekarno masih baru-baru menjadi presiden. Megawati saja masih kecil.” Terbukti ingatan Apai Agong memang sudah pudar, sebab Megawati Soekarnoputri lahir pada 23 Januari 1947.

Dia meyakinkan, foto-foto bersama Presiden Soekarno masih disimpan rapi di kediamannya di Dusun Sungai Long, sekitar 45 menit perjalanan dengan sepeda motor menempuh jalan berlumpur dari Desa Lanjak.

Tak (perlu) mirip aslinya

Sejak usia muda, Apai Agong selalu membuat tato di tubuhnya setiap bepergian ke suatu daerah. Itu menjadi semacam penanda pengalaman hidup atau perjalanannya. Bagi masyarakat Dayak Iban, tato adalah semacam aksesori biasa dan hampir semua warga, laki-laki maupun perempuan, memiliki tato di tubuhnya.

Baca Juga : Ceplukan Semakin 'Naik Kelas', Ilmuwan Akan Menjadikannya 'The Next Strawberry' sehingga Mudah Dibudidayakan

“Waktu jaman (penjajahan) Jepang saya sudah bujang. Tidak tahu kapan lahir. Saya pikir, usia saya saat ini mulai jalan 80 tahun,” ucap kakek empat cucu ini.