Penulis
Intisari-Online.com – Oktober 1890, 94 orang Jawa menginjakkan kakinya di tanah Suriname.
Mereka adalah angkatan pertama tenaga buruh Jawa yang dipekerjakan pemerintah kolonial Belanda di perkebunan Suriname.
Mereka mendarat dengan harapan segunung: melepaskan diri dari belitan kemiskinan yang amat berat di tanah asal yang diperparah lagi oleh ulah kolonialisme Belanda yang habis-habisan memeras keringat rakyat.
Mari kita simak bagaimana perjuangan mereka dari tulisan Mindra Faizaliskandiar, 100 Tahun Migrasi Orang Jawa ke Suriname, yang bersumberkan dari Parsudi Suparlan: The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1990.
Tibanya ke-94 buruh Jawa itu di Suriname, menjadi awal arus migrasi tenaga murah Jawa ke Suriname.
Baca Juga : Tak Hanya Suriname Jejak Peradaban dan Keturunan Indonesia juga Sampai ke Afrika Selatan
Sebenarnya, pemerintah Suriname yang berpusat di Paramaribo, memang sudah ‘rajin’ mendatangkan budak belian untuk dipekerjakan di ladang-ladang pemerintah, sejak tahun 1816.
Namun, ketika pada tahun 1863 perbudakan dihapuskan dari muka bumi, pemerintah kolonial Belanda di Suriname kelabakan mencari buruh yang kuat tapi murah.
Mula-mula mereka mendatangkan buruh miskin dari pulau-pulau jajahan Spanyol dan Portugal, serta orang-orang Cina dari daerah Tionggoan (Tiongkok). Namun, orang-orang ini ternyata tidak cocok untuk bergulat di lapangan pertanian.
Belanda lalu meniru Inggris, yaitu mendatangkan pekerja kasar dari India.
Baca Juga : Orang-orang Jawa di Suriname: Mulai dari Menari Jaran Kepang Sampai Jadi Calon Presiden!
Tanggal 4 Juni 1873, rombongan emigran pertama dari Kalkutta tiba di Paramaribo. (Arus emigran dari India dihentikan pada tahun 1916, akibat diveto oleh Mahatma Gandhi).
Mendatangkan buruh India ternyata repot, karena India jajahan Inggris. Para tuan tanah Suriname jadi teringat pada buruh-buruh Jawa, yang terbukti amat tangguh dipekerjakan di Sumatra.
Selama beberapa tahun kemudian para tuan tanah itu mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda agar diizinkan mengangkut buruh tani dari Jawa.
Semula pemerintah Belanda menolak, dengan alasan buruh-buruh murah meriah itu masih dibutuhkan tenaganya di Hindia Belanda.
Namun, akibat desakan para tuan tanah, akhirnya pada tahun 1889 pemerintah Belanda memberi izin percobaan kepada Nederlandsche Handels Maatschappij, Perusahaan Dagang Belanda, untuk mendatangkan 100 orang kuli kontrak dari Jawa.
Baca Juga : Fakta-fakta Unik tentang Paspor: Kekuatan Paspor Indonesia Setara Suriname, Senegal, Papua Nugini dan Uganda
Usaha mencari buruh di Jawa yang bersedia diangkut ke Suriname rupanya bukan pekerjaan mudah. Selama setahun, mereka akhirnya baru mampu mengumpulkan 61 pria, 31 wanita dan 2 anak-anak. Jadi carma 94 orang.
Rombongan buruh Jawa pertama ini diberangkatkan pada tanggal 9 Agustus 1890 dengan kapal laut. Mereka tiba di perkebunan di Marienburg sekitar bulan Oktober 1890.
Rombongan awal ini sesungguhnya merupakan uji coba, apakah buruh Jawa cocok dipekerjakan di Suriname atau tidak. Baru setelah 4 tahun, kompeni rupanya menganggap mereka cukup memuaskan.
Sehingga tahun 1894, diberangkatkan lagi rombongan kedua dengan jumlah hampir enam kali lipatnya.
Baca Juga : Raymond Sapoen, Capres Suriname Asal Banyumas
Mulutnya komat-kamit
Sejak itulah dimulai arus imigrasi tenaga murah Jawa ke Suriname. Puluhan ribu buruh Jawa kemudian diangkut ke sepetak noktah kecil di daratan Amerika Selatan yang amat luas itu.
Untuk mendapatkan tenaga murah itu, di Jawa, Belanda menyebar sejumlah werek, calo tenaga kerja, untuk menjaring calon kuli kontrak sebanyak mungkin.
Upah para werek ditentukan berdasarkan banyaknya kuli kontrak yang berhasil dikumpulkannya. Karena itu tidak aneh kalau mereka lalu menggunakan segala cara untuk bisa mengumpulkan calon kuli kerja sebanyak mungkin.
Baca Juga : Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia
Caranya bisa berupa tipuan, rayuan gombal, penculikan atau bahkan dengan menggunakan ilmu sirep. Seperti yang pernah dialami seorang wanita Jawa di Suriname.
"Pada suatu hari, saya sedang berjalan kaki pulang dari kota ke desa saya. Di tengah jalan saya berjumpa dengan seorang pria asing dan lalu kami mengobrol. Mula-mula dia bertanya soal hasil sawah sampai soal apa yang saya kerjakan di kota.
Lalu dia bertanya, apa saya mau punya uang banyak? Pria itu mengaku bisa mengurus supaya saya bisa diterima bekerja di 'tanah sabrang' selama dua tahun dengan upah yang besar.
"Tapi saya bilang, saya tidak bisa meninggalkan keluarga saya di desa. Lalu tiba-tiba dia menginjak kaki saya dan mulutnya komat-kamit melafalkan mantera berbahasa asing. Sesudah itu tiba-tiba saya tak ingat lagi kepada keluarga. Sehingga saya menyetujui tawarannya untuk pergi ke 'tanah sabrang'.
Orang asing itu membawa saya ke sebuah barak yang sudah penuh dengan orang-orang Jawa. Setelah jumlah kami dianggap cukup, kami lalu dibawa ke kapal. Setiap orang diberi kartu pengenal dari logam yang bertuliskan nomor kami.
Kartu pengenal itu digantungkan di leher. Kapal pun berangkat. Ketika kapal mulai beranjak beberapa meter saja, saya tiba-tiba tersadar. Pengaruh sihir itu rupanya cuma berlaku di tanah Jawa.
Saya lalu menangis, begitu pula orang-orang yang ikut bersama saya juga pada menangis. Namun, semuanya itu sudah terlambat „...." Kisah itu konon pengakuan seorang wanita Jawa di Suriname pada antropolog Belanda, Prof. De Waal Malefijt, tahun 60-an.
Kebanyakan dari mereka memang sebenarnya tidak ingin pergi ke "Srinama", begitu mereka menyebut "tanah sabrang" itu. Seperti juga cerita seorang informan wanita pada Dr. Yusuf Ismael (almarhum diplomat senior RI).
Baca Juga : Salah Satu Warisan Kolonial yang Wajib Kita Tinggalkan: Larangan Mandi di Malam Hari
"Pada suatu hari, ketika sedang belanja di pasar, saya didekati seorang wanita setengah baya, yang mengaku sebagai teman bibi saya. Dia bilang saya harus buru-buru pergi menemui bibi saya yang sedang menunggu di rumahnya.
Kami lalu naik andong. Tapi saya heran karena jalan yang ditempuh bukan menuju rumah bibi saya. Menurut wanita itu, bibi saya menunggunya di tempat lain, bukan di rumahnya. Saya lalu dibawa ke sebuah lumbung padi.
Saya jadi ketakutan dan jatuh pingsan selama beberapa saat. Ketika sadar, tahu-tahu sudah berada di atas kapal yang sedang berlayar ...."
Keanekaragaman cara para emigran datang ke Suriname juga dijumpai oleh Dr. Parsudi Suparlan - antropolog UI yang pada tahun 1974 meneliti atas 389 emigran Jawa di Suriname.
Baca Juga : Kontroversi Snouck Hurgronje, Utusan Kolonial yang Menjadi Syaikul Islam Jawa dan Menguasai 15 Bahasa
193 di antaranya mengaku datang karena ditipu, 9 wanita karena diculik, 70 karena sudah tidak kerasan lagi di Jawa, 90 karena ikut orang tua, saudara atau pasangan hidup dan Cuma 27 yang mengaku karena keinginan sendiri.
Di antara 193 yang merasa ditipu itu, ada 6 orang yang bilang telah disirep terlebih dulu. Sedangkan yang lain ditipu dengan teknik lebih mudah, seperti disuruh cap jempol di atas selembar kertas, tanpa mereka tahu bahwa kertas itu adalah surat perjanjian kontrak sebagai kuli di Suriname.
Sedangkan yang mengaku datang karena keinginan sendiri, ada yang karena menjadi buronan di Jawa.
Sedangkan pihak kompeni sendiri dalam membenarkan tindakan pengangkutan para buruh ini, berdalih bahwa penduduk Jawa sudah terlalu padat.
Baca Juga : Larangan Mandi di Malam Hari, Salah Satu Warisan Kolonial yang Wajib Kita Tinggalkan
Sehingga lewat alasan tadi, sejak tahun 1890 - 1939, tercatat 34 kali pengapalan kuli kontrak, dengan jumlah keseluruhan 31.499 orang. Sementara itu jumlah yang kembali ke Jawa, dari tahun 1897 - 1939 dalam 23 kali pengapalan, hanya 8.130 orang.
Kontrak bagi emigran Jawa yang mau atau terpaksa mau menyambung hidup di 'tanah sabrang' itu berisi sejumlah pasal.
Pertama, kontrak kerja berlaku untuk masa 5 tahun kerja berkesinambungan, dengan masa kerja 6 hari seminggu, 7 jam kerja sehari di kebun atau 10 jam kerja di pabrik.
Kedua, pekerja pria usia di atas 16 tahun mendapat upah 60 sen sehari. Sedangkan wanita dan anak-anak usia 10 — 16 tahun mendapat upah 40 sen sehari.
Baca Juga : Pasukan Pemburu MayatPalang Hitam,
Pasal ketiga mencantumkan keharusan majikan untuk menyediakan tempat tinggal dan perawatan kesehatan gratis.
Keempat, untuk masa 3 bulan pertama seiak tiba di Suriname, para pekerja memperoleh makanan dan barang-barang yang harus dibayarnya kemudian.
Sedangkan pasal terakhir menyebutkan hak setiap pekerja seusai 5 tahun kerja untuk kembali ke Jawa dengan biaya ditanggung majikan.
Janji gombal
Baca Juga : Benarkah Perempuan Jawa di Era Kolonialisme Lemah Lembut dan Tak Berdaya?
Selain kelima pasal kontrak itu, para buruh Jawa juga diiming-imingi janji lain. Bila si buruh mau memperpanjang kontrak kerjanya, maka ia berhak memperoleh bonus sebesar 20 gulden setiap tahun perpanjangan. Maksimum bonusnya 100 gulden untuk masa 5 tahun.
Pada masa itu upah 60 sen sehari berarti dua kali lipat dari penghasilan buruh di Jawa pada umumnya, yang rata-rata cuma 33 sen sehari. Namun, janji-janji yang menggiurkan itu ternyata tidak berhasil.
Sesungguhnya, di balik bunyi kontrak dan janji yang menggiurkan itu, para kuli kontrak dikenai Poenale Sanctie, yaitu ancaman hukuman badan terhadap kuli kontrak yang minggat atau mangkir.
Bahkan janji dipulangkan gratis ke Jawa dan belakangan janji penghapusan Poenale Sanctie, menurut Dr. Yusuf Ismael, hanyalah teori belaka. Upah 60 sen juga kebanyakan cuma diberi 30 sen!
Baca Juga : Gereja Era Kolonial Berusia 400 Tahun yang Terlupakan Muncul Kembali Akibat Menyusutnya Permukaan Air Waduk
Tahun 1951, orang Indonesia di Suriname diharuskan memilih kewarganegaraan. Orang Jawa kelahiran Suriname punya hak otomatis untuk menjadi warga negara Belanda, tapi mereka juga punya hak untuk menolak.
Sedangkan mereka yang kelahiran Indonesia diharuskan memilih, mau menjadi Belanda atau Indonesia. Konon, orang-orang Jawa Suriname waktu itu jadi bingung mengambil keputusan.
Orang Jawa yang berniat menjadi Belanda terus-menerus menyebarkan isyu tentang ruginya menjadi Indonesia. Sebaliknya, mereka yang ingin pulang ke Jawa, meniupkan keuntungannya balik ke ibu pertiwi.
Orang yang cenderung ke Belanda diejek lawannya sebagai segawon- landi (anjing Belanda).
Baca Juga : 10 Perang Terlama dalam Sejarah, Salah Satunya Perang Aceh yang Bikin Belanda Frustasi
Dalam situasi ini, organisasi sosial Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) dan Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS), bersaing merebut hati masyarakat Jawa di Suriname.
PBIS akhirnya yang berhasil menghimpun peserta dan dana, serta sempat mengirim delegasi ke Jakarta. Pemerintah Indonesia kemudian memberi mereka daerah Tongar di Sumatra untuk tempat tinggal para repatrian Jawa dari Suriname.
Rombongan repatrian pertama baru berangkat tahun 1954. Tidak kurang dari 300 KK atau 1.011 jiwa, melaut dengan KM Langkoeas dan mendarat di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Mereka segera diangkut menuju Tongar, Kabupaten Pasaman, sekitar 250 km dari Padang, Sumbar.
Setelah puluhan tahun menetap di sana, kebanyakan eks-repatrian ini lalu menyebar ke berbagai daerah di Sumatra. Mereka akhirnya banyak yang bermukim di Kampung Titian Antui-Duri, di Riau. Kampung itu kemudian bahkan terkenal sebagai Kampung Suriname.
Baca Juga : Penjara Indonesia Penuh Narapidana, Penjara Belanda Malah Butuh Napi Karena Kosong Melompong
Suriname sendiri, sejak merdeka tanggal 25 November 1975, diguncang kembali oleh keharusan memilih. Belanda atau Suriname? Orang-orang Jawa Suriname yang memilih Belanda kini mengelompok hidup antara lain di daerah Hoogezand, Groningen, Belanda. Di sana juga ada Kampung Suriname.
Suriname memang hanyalah negara anak bawang yang 'dimerdekakan' Belanda karena pertimbangan ekonomis. Namun, bagi keturunan orang-orang Jawa yang memilih tetap hidup di sana, Suriname kini adalah moederland mereka.
Sedangkan bagi orang-orang Jawa Suriname dan kerurunannya yang kini hidup di Sumatra, Suriname adalah masa lalu. Boleh jadi masa lalu yang pahit, tapi mungkin enak dikenang.
Baca Juga : Ratu Belanda Disebut Ningrat yang Paling Merakyat, Ini Asal Mula Julukan Tersebut