Penulis
Intisari-Online.com – Para ilmuwan menyatakan terkejut pada kekuatan tsunami yang menghancurkan kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia pada hari Jumat (28/9/2018) petang.
Sebab, mereka mengatakan bahwa mereka menduga gempa tersebut tidak akan menimbulkan tsunami.
“Awalnya, kami berkata bahwa gempa tersebut mungkin berpotensi tsunami. Namun ukurannya tidak sebesar itu,” kata Jason Patton, seorang ahli geofisika dan mengajar di Humboldt State University di California dilansir dari nypost.com pada Minggu (30/9/2018).
“Ketika peristiwa tersebut terjadi, kami jadi menemukan hal-hal yang mungkin belum pernah kami amati sebelumnya.”
Baca Juga : Gempa dan Tsunami Palu Bukan Bencana Nasional Seperti Tsunami Aceh, Ini Kata Jusuf Kalla
Diketahui Kabupaten Donggala mengalami gempa berkekuatan 7,4 SR yang berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi sekitar 50 mil sebelah utara Palu.
Tak lama setelah itu, tepatnya 30 menit setelah gempa, terjadi tsunami setinggi 1-2 meter di Donggala dan Palu.
Akibatnya, gempa dan tsunami tersebut menghancurkan bangunan, kendaraan, dan menewaskan ratusan orang.
Hingga hari ini, Senin (1/10/2018), sudah ada 800 lebih korban tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan puluhan ribu lainnya telah mengungsi.
Tsunami bisa terjadi karena hasil dari gempa yang disebut gempa bumi megathrust (gempa berkuatan di atas 7 SR).
Gempa bumi megathrust adalah ketika bagian besar dari kerak Bumi berubah bentuk, lalu bergerak secara vertikal di sepanjang patahan.
Setelahnya, sejumlah besar air menciptakan gelombang yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi melintasi cekungan samudra dan masuk ke pemukiman warga.
Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami gempa dan tsunami.
Tahun 2004, Aceh dilanda gempa berkekuatan Megastrust berkekuatan 9,1 SR dan menyebabkan tsunami setinggi 30 meter.
Tercatat hampir seperempat juta orang di Aceh tewas.
Baca Juga : Nurul, Korban Gempa Palu yang Selamat Setelah Terjebak 2 Hari Dalam Kubangan Air Bersama Jenazah Sang Ibu
Sementara untuk gempa di Donggala ini berbeda. Di mana gerakan bumi sebagian besar horizontal (disebut strike-slip fault). Gerakan semacam itu biasanya tidak akan menciptakan tsunami.
Namun nyatanya tetap terjadi tsunami.
Sebab menurut Patton, strike-slip fault di Donggala mungkin memiliki sejumlah gerakan vertikal yang dapat menggantikan air laut.
Atau zona patahan, yang dalam kasus ini diperkirakan sekitar 70 mil panjangnya, dapat melewati area di mana dasar laut naik atau turun, sehingga ketika patahan bergerak selama gempa, ia mendorong air laut maju.
Kemungkinan lain adalah bahwa tsunami diciptakan secara tidak langsung.
Guncangan keras selama gempa mungkin telah menyebabkan longsor bawah laut yang akan mengungsi dan menciptakan gelombang.
Kejadian seperti itu tidak sering terjadi. Contoh terakhir terjadi pada tahun 1964 ketika Alaska diguncang gempa berkekuatan 9,64 SR.
Oleh karenanya, Patton mengatakan kombinasi faktor tersebut mungkin telah berkontribusi pada tsunami di Donggala dan Palu.
Dengan kejadian ini, para ilmuwan akan melakukan studi tentang dasar laut lagi untuk memahami peristiwa tersebut.
Baca Juga : Sesar Palu Koro, Belah Pulau Sulawesi jadi 2 dan Paling Berpotensi Sebabkan Gempa serta Tsunami di Palu