Advertorial
Intisari-Online.com – Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), disebabkan oleh aktivitas sesar Palu Koro.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, dalam konferensi pers BNPB, Sabtu (29/9/2018) seperti dikutip dari Kompas.com.
"Gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas sesar Palu Koro, yang dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar mengiri (slike-slip sinistral)" ujarnya.
Sesar Palu Koro adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua, mulai dari batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar, hingga ke Teluk Bone.
Baca Juga : Usai Gempa di Palu, Muncul Fenomena Tanah Bergerak yang Sebabkan Bangunan Hingga Tiang Listrik Terseret
Sesar ini sangat aktif, pergerakannya mencapai 35 - 44 milimeter per tahun.
Sebenarnya sesar ini jugalah yang menjadi kekhawatiran di Sulawesi Tengah.
Seperti dikutip dari Kompas cetak edisi Rabu, 31 Mei 2017, sesar Palu Karo adalah sesar darat terpanjang kedua di Indonesia, setelah sesar besar Sumatera.
Pulau Sulawesi terbentuk dari tiga lembeng besar yang saling bertumbukan.
Lempeng tersebut adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Dalam Peta Sumber Gempa Nasional yang disusun Pusat Studi Hempa Nasioanl (Pusgen) tahun 2017, setidaknya ada 48 sesar atau sumber gempa di Pulau Sulawesi.
Sesar tersebut sebagian besar melintas di kota padat, seperti Palu.
Hal ini seperti yang terdapat pada disertasi Mudrik Rahmawan, seorang peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul Palaeoseismologi Tropis Indonesia (2006), dikutip dari Kompas.
"Sebagian sesar melintas di kota padat. Berdasarkan ancamannya, yang perlu dikhawatirkan adalah Kota Palu yang dilalui Sesar Palu Koro di segmen Palu dan segmen Saluki," kata Mudrik.
Baca Juga : Melahirkan Normal atau Sesar Sama Saja, Sama-sama Pahlawannya: Ini Kelebihan dan Risiko Masing-masing
Sesar ini begitu aktif, sejumlah peneliti seperti Bellier dkk (2001) menggolongkan sesar Palu Koro sebagai sesar dengan besar pergeseran tinggi dan kegempaan rendah.
Menurut Mudrik, fenomena tersebut dapat terjadi karena dua kemungkinan.
Pertama, gerakan lempeng di zona sesar bersifat merayap sehingga gaya tektonik tak tertahan jadi gempa.
Kedua, gaya tektonik tersimpan berpotensi jadi gempa besar dengan periode keberulangan lama.
Dalam sejarah, untuk kemungkinan yang kedua, gempa bumi terkuat sendiri pernah terjadi di tahun 1909.
Menurut catatan geolog Belanda, Abendanon, gempa pada saat itu menghancurkan desa-desa di Sulawesi Tengah.
Rumah-rumah hancur, bahkan daun dan buah kelapa berjatuhan menandakan kekuatan gempa yang begitu dahsyat.
Diperkirakan, kekuatan gempa tahun 1909 itu lebih dari 7 SR.
Hingga Minggu Siang (30/9/108), gempa bumi berkekuatan 7,4 SR dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala tahun 2018 telah menyebabkan 832 orang meninggal dunia.