Penulis
Intisari-Online.com – Kalau di Asia Timur Jepang pernah mencita-citakan Asia Timur Raya, di Timur Tengah Gamal Abdul Nasser, presiden kedua Mesir, mencita-citakan Arab Raya.
la menasionalisasi Terusan Suez untuk lepas dari bayang-bayang Inggris dan Prancis, ia juga membangun Bendungan Aswan yang monumental namun kontroversial.
Meski ambisinya melenyapkan Israel gagal, ia sukses membangkitkan kebanggaan Mesir dan dunia Arab pada umumnya.
Berikut ini kisah salah satu Bapak Bangsa, Gamal Abdul Nasser: Kontroversi Bapak Pan-Arabisme yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2009, seperti ditulis oleh Mayong S. Laksono.
Di masa pemerintahan Nasser, ekonomi digenjot habis-habisan. Industri baja, energi, dan pertanian pun digalakkan. Reformasi agraria memungkinkan makin banyak rakyat memiliki tanah. Pertumbuhan ekonomi terjadi, pemerintah memiliki cukup uang untuk menyantuni rakyat miskin.
Kebanggaan rakyat ditumbuhkan, bahkan ditularkan ke negara lain. Nasser, yang menikah dengan Tahia Kazem (kelahiran 1920), putri pegawai negeri asal Iran yang kemudian melahirkan lima anak (Khalid, Abdel Hakeem, Abdel Hameed, Hoda, dan Mona), mengajak Suriah membentuk Republik Persatuan Arab.
Ia ingin memperluas wilayah Pan-Arabisme dengan Yaman. Menurut catatan Mary Shivanandan (Gamal Abdul Nasser: Modern Leader of Egypt, 1973), Nasser menyerang Yaman Utara dan mensponsori gerakan bawah tanah negara itu untuk merdeka dan bergabung dengan Mesir.
Tapi sayang, ide Pan-Arabisme hanya berlangsung sampai 1961- tapi Mesir masih menggunakan istilah Republik Persatuan Arab sampai tahun 1971.
Baca Juga : Skandal Gagal Israel di Mesir: Saat Operasi Lavon Berjalan Menyimpang
Meski tidak membangun demokrasi, bahkan cenderung totaliter, antara lain dengan pemberlakuan sensor ketat bagi surat dan dokumen pribadi masyarakat, harus diakui, di masa pemerintahan Nasser dunia seni dan budaya Mesir berkembang pesat.
la tak ragu mencari dana bagi kelompok-kelompok kesenian. la memberi kesempatan bagi dunia film, industri musik, dan kesusastraan untuk berkembang. Dampaknya sungguh kuat. Tak hanya bagi Mesir, tapi juga bagi warga negara Arab lain.
Kiprah Nasser menginspirasi munculnya tokoh-tokoh Iain seperti Muammar Khadafi dari Libya, Ahman Ben Bella dari Aljazair, dan George Habash dari Gerakan Nasionalis Arab.
Semangat Nasser membangun pertanian tak tanggung-tanggung. la membangun bendungan raksasa Aswan. Ribuan desa di sepanjang bantaran Sungai Nil ditenggelamkan, termasuk situs arkeologi Nubia. Lembaga PBB UNESCO akhirnya turun tangan, walau hanya berhasil menyelamatkan satu situs prasejarah.
Baca Juga : Pasukan Israel yang Perkasa Ternyata Pernah Dibikin Babak Belur Tentara Suriah dan Mesir
Proyek Aswan dibiayai oleh Inggris dan Prancis. Tapi ketika Nasser menyerang Palestina pada 16 Januari 1956, kedua negara itu marah dan mengancam menghentikan bantuan. Tak mau kalah gertak, Nasser lantas menutup Terusan Suez. Meledaklah konflik besar yang juga melibatkan Israel.
Nasser percaya diri karena ia tengah didekati Uni Soviet dan sekutu Timur (ia memperoleh gelar warga kehormatan dari Beograd, Ibukota Yugoslavia, pada 1956).
Perang Enam Hari
Sejak memasuki karier militer, salah satu cita-cita Nasser adalah melenyapkan negara Israel dari peta dunia. Maka target jangka panjang dari upayanya memodernisasi angkatan bersenjata Mesir adalah memerangi Israel seperti tahun 1948.
Baca Juga : 800 Makam Mesir Kuno Ini Ditemukan Arkeolog Di Antara Dua Piramida, Milik Siapa?
Ketika intelijen Soviet memberitahukan rencana Israel untuk menyerang Suriah, dengan sigap Nasser menanggapi. Ia mengirim tentara ke Sinai, padahal di wilayah sengketa itu terdapat pasukan PBB, United Nations Emergency Force (UNEF). Nasser mendesak Sekjen PBB U Thant untuk memerintahkan pasukan PBB pergi dari Suriah.
Di dalam negeri, Nasser berpidato menyemangati rakyatnya. "Perang telah dimulai. Kini saatnya bagi kita menghancurkan Israel. Kita harus menegakkan kedaulatan bersama demi kejayaan Arab!" pekik Nasser.
Atas dukungan Suriah dan Yordania, pada 23 Mei 1967 Nasser menutup Terusan Tiran bagi kapal-kapal Israel. Upaya ini sekaligus blokade bagi pelabuhan Eliat di Teluk Aqaba, satu-satunya akses Israel ke Samudera Hindia.
Jelas, Israel tak terima. Maka pemerintahan Perdana Menteri Levi Eshkol memiliki alasan kuat untuk menyerang Mesir.
Baca Juga : Inilah Alasan Mesir Kuno Mengubah Jenazah Jadi Mumi: Perjalanan Baru, Harta Karun, dan Dewa-dewa
Perang dimulai pada 5 Juni 1967. Israel mengerahkan 275.000 tentara, 200 pesawat terbang, 1.100 tank. Arab yang terdiri atas Mesir, Suriah, dan Yordania mengerahkan 250.000 pasukan (di luar 50.000 pasukan di Yaman), 530 pesawat terbang, dan 1.500 tank.
Israel yang semula diduga lemah, ternyata kuat. Nasser mencoba memperluas wilayah pertentangan dengan menyebarkan isu bahwa AS, Prancis, dan Inggris mendukung Israel. Akibatnya, kedutaan dan pelbagai kepentingan ketiga negara itu di Timur Tengah menjadi sasaran kemarahan.
Pengapalan minyak ke Eropa dihambat. Padahal sebelum perang, Prancis telah mengembargo persenjataan Israel, dan AS menolak permintaan negara itu untuk memperkuat angkatan bersenjatanya.
Arab terpukul. Dalam catatan Benny Morris (Righteous Victims, 1999) dan Michael Oren (Six Days of War, 2002), Israel berhasil merebut 42.000 mil persegi wilayah Arab. Korban meninggal yang mereka derita 679 orang dan 2.563 orang luka-luka, sementara 21.000 tentara Arab meninggal dan 45.000 luka-luka.
Baca Juga : Arkeolog Berhasil Temukan Sarkofagus Hitam di Kota Alexandria Mesir
Arab kehilangan 450-an pesawat tempur, 320 tank, 480 pucuk senjata, dan 10.000 kendaraan perang. Belum lagi rusaknya prasarana semacam bandara dan pelabuhan. Antara 175.000 - 250.000 warga Palestina di Tepi Barat dipaksa mengungsi ke Yordania atau tercerai-berai ke banyak negara.
Perang berakhir pada 10 Juni 1967 setelah sebelumnya Raja Hussein dari Yordania menyatakan gencatan senjata. Suriah di bawah Presiden Ahmad al-Khatib pun sependapat.
Nasser terpuruk. Pada 9 Juni ia berpidato di radio, menyatakan mundur dari jabatan presiden, menunjuk Wapres Zakaria Mohieddin sebagai penggantinya. Tapi rakyat turun ke jalan buat mendukungnya.
"Kita harus terus perang!" teriak mereka, seperti tak menyadari kekalahan. Sekali lagi Nasser harus memimpin peperangan (War of Attrition, 1969-1970).
Tanggal 28 September 1970, Gamal Abdul Nasser meninggal karena serangan jantung. Usianya 52 tahun.
Mesir dan dunia Arab menangis. Prosesi pemakaman pada 1 Oktober 1970 diikuti oleh tak kurang dari tujuh juta orang, membentuk arak-arakan manusia sepanjang 10 km yang diiringi sejumlah jet MIG-21 yang terbang di atasnya.
lni salah satu peristiwa terbesar sepanjang sejarah Mesir. Nasser, tokoh besar itu, memang terlalu cepat pergi.
Baca Juga : Sebelum Putri Diana Memakai Gaun Telanjang Bahu Sebelah Bangsawan Mesir Kuno Sudah Mengenakannya