Find Us On Social Media :

Gerakan 30 September, Akhirnya Perwira Keras Kepala yang Berhasil Menumpas Gerakan Ini

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 16:30 WIB

Di Istana Bogor, keesokan harinya, Presiden menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pengganti sementara Letjen Yani. Sebelumnya ia sempat ragu karena Pranoto dianggap lemah.

Calon lain, Mayjen Moersjid, Asisten III Menpangad, juga ditolak karena dianggap terlalu keras.

Mayjen Basuki Rachmat dianggap sakit-sakitan. Sementara Soeharto tidak dikehendaki karena di mata Presiden, dia perwira keras kepala, koppig.

Mendengar itu Soeharto langsung meminta agar Presiden mengumumkannya secara resmi, agar rakyat tidak bingung.

Baca Juga : Menjelang G30S PKI, Pesta di Kedutaan Tanpa Membayangkan yang Terjadi Setelahnya

Tapi Presiden menolak permintaan itu dan tetap menugaskan Soeharto mengatasi masalah yang ada. Pranoto menjalankan tugas administratif sebagai Menpangad.

Setelah peristiwa G30S, situasi memburuk. Juga bagi Presiden Soekarno. Presiden sering menghabiskan waktu di Bogor bersama Hartini, istri keduanya.

Kalaupun di Jakarta, dia tidak tinggal di Istana, tetapi di kediaman istri ketiganya, Ratna Sari Dewi (perempuan Jepang yang nama aslinya Naoko Nemoto dan dinikahi Presiden Sukarno secara rahasia pada 11 Juni 1962), di Wisma Yasoo di Jakarta Selatan.

Puncak ketegangan terjadi pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966.

Sidang yang tidak diikuti Menpangad Letjen Soeharto dan Menteri Frans Seda karena keduanya sakit itu bubar di tengah jalan dan Presiden Sukarno memutuskan pergi ke Bogor karena merasa diteror sekelompok tentara misterius dengan kendaraan lapis baja yang mengarahkan moncong senjatanya ke Istana.

Baca Juga : Seandainya Tokoh-tokoh PKI Lebih Cepat Bertindak, Entah Apa Jadinya Kota Yogyakarta

Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad, memang mengerahkan pasukan RPKAD tanpa atribut untuk menekan Presiden.