Find Us On Social Media :

Gerakan 30 September, Akhirnya Perwira Keras Kepala yang Berhasil Menumpas Gerakan Ini

By K. Tatik Wardayati, Senin, 24 September 2018 | 16:30 WIB

Intisari-Online.com – Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang kemudian menjadi titik balik perubahan besar politik negeri ini, tak cukup mudah dipahami meski banyak buku, artikel, laporan, dan kesaksian telah dibuat.

Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengambil manfaat?

Ibarat sebentuk gambar yang terdiri atas banyak potongan kertas, belum terbentuk gambar yang utuh. Celakanya, banyak kertas palsu atau rekayasa.

Buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang - Catatan Julius Pour (2010) ini mencoba menyusun kembali gambar berdasarkan kesaksian para tokoh penting di seputar peristiwa itu.

Mayong Suryo Laksono mencukil buku tersebut dan dimuat di Majalah Intisari edisi November 2010, dengan judul asli Mencari Titik Terang dari Kelamnya Sejarah Indonesia.

Baca Juga : Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI tentang Baku Tembak di Rumah Ahmad Yani

--

Banyak kritik ditujukan kepada Mayjen Soeharto kenapa penumpasan cukup lama padahal kekuatan pasukan G30S sangat kecil.

Dalam dialog dengan Front Nasional pada 18 Oktober 1965 Soeharto menjelaskan tentang minimnya kekuatan Kostrad dan lemahnya koordinasi.

Meski secara kebiasaan, saat Menpangad pergi atau berhalangan Soeharto menggantikannya, pada saat itu suasana benar-benar gelap karena jejak Letjen Yani dan beberapa asisten serta deputi belum diketahui.

Penguasaan kembali RRI pada malam harinya oleh pasukan Kostrad membuktikan bahwa kekuatan G30S memang tak seberapa.

Baca Juga : Hari-hari Menjelang G30S PKI, Genjer-genjer Lagu yang Hits Ketika Itu

Presiden Sukarno yang langsung memerintahkan penghentian pertempuran ditanggapi dengan rasa frustrasi Brigjen Soepardjo. "Kita sudah kalah," katanya.