Penulis
Intisari-Online.com – 18 April 1966 suatu gempa bumi yang dahsyat terjadi di San Fransisco. Dalam peristiwa yang menyedihkan itu banyak terjadi hal-hal yang bagi penduduk kota itu sendiri tidak lucu atau aneh, tapi bagi kita, menarik perhatian karena keganjilannya.
Petikan peristiwa tersebut pernah dituliskan dalam Majalah Intisari edisi Oktober 1966, dengan judul asli Reaksi-reaksi Aneh Manusia dalam Bencana.
Ketika fajar mulai mendatang pagi itu, tampak beratus-ratus burung beterbangan dari sarang, melayang-layang di udara sambil menjerit-jerit. Seolah olah takut bertengger di tempat mereka.
Di dalam kamarnya, di Universitas Stanford, filsuf dan ahli psikologii, William James, membuka mata dan menatap langit biru lewat jendela, lalu melihat arlojinya. Pukul 5.13. Ia hampir bangkit ketika tiba-tiba suara gemuruh memenuhi udara.
Tempat tidur bergoyang-goyang. Juga meja kursi bergerak-gerak. “Astaga" kata filsuf itu, “Inilah dia achirnya.” Memang orang tua itu telah menantikan.
Ia berjanji tidak akan meninggalkan San Francisco sebelum mengalami suatu gempa bumi disitu. Dengan bertopang pada tangannya ia duduk, kemudian berlutut. Penuh-penuh ia mau menikmati peristiwa itu.
Tetapi tiba-tiba ia jatuh tersungkur, hidungnya mencium lantai. Satu goncangan yang hebat telah terjadi.
**
Ketika orang-orang berhumbalangan lari keluar Hotel Palace, pemimpin orkes Hertz yang malam harinya bermain di Opera House, bertabrakan dengan sesosok tubuh tertutup mantel kulit binatang.
Baca Juga : Gempa Berskala 5,8 SR Guncang Yogyakarta, Ini Analisis Penyebabnya
“Oh, Alfredo, kita semua mampus". Itulah suara Caruso, penyanyi tenar Italia yang dalam rombongan Opera Metropolitan dari New York telah tiba di situ dan telah mementaskan opera “Carmen".
Kedua artis itu saling berdempetan, menantikan akhir jaman. Tiba-tiba Caruso tarik suara. Selantun nada-nada pertama ari “Rigoletto" menggetar di tengah hiruk pikuk itu. Kawannya menatap Caruso dengan tercengang-cengang.
Gilakah dia? Tidak. Dia berkata apakah goncangan emosi yang menghebat itu tidak melumpuhkan suaranya.
Meznang orisinil tingkah laku penyanyi kenamaan itu. Apa akalnya untuk menghindari wajib gugur gunung dan keluar dari kota yang telah menjadi perapian menyala itu? Sepandjang jalan yang dijaga serdadu-serdadu milisi, ia lewat sambil mendekap sebuah potret yang besar.
Baca Juga : Salah Kaprah Tentang Status Bencana Nasional, Bagaimana Gempa Lombok?
Dan memang demi melihat potret itu para penjaga dengan hormat membiarkannya lewat. Mengapa? Itulah Potret Roosevelt yang bertuliskan:”kepada Enrico Caruso — dari kawannja T. Roosevelt".
**
Pada peron stasiun orang berkumpul. Salah seorang diantaranya adalah dokter Ernes Fleming. Ia memandang keliling dan tiba-tiba meletus ketawa. Orang-orang menatapnya dengan gusar. “Maaf, tuan-tuan,” kata dokter itu “kalian semua berpakaian piyama dan baju tidur, maka saya tidak bisa menahan ketawa.”
Sementara Itu ia memandang kepada dirinya sendiri. Ia terkejut. Pakaiannya tidak lain dari pada pakaian orang-orang sekelilingnja. Buru-buru ia masuk ke Hotel, sambil menunjang balikkan meja kursi.
Baca Juga : Diguncang Gempa Lombok Rumah Adat Sasak Tetap Berdiri Kokoh, Ternyata Ini Rahasianya
**
Begitu juga perasaan estetis pemain komedi John Barrymore tentang pakaiannya. Ketika ia berjumpa dengan Coolier pemimpin rombongan Opera Metropolitan tersebut, Barrymore dengan linglung bertanya : apa yang terjadi? Coolier heran membisu.
Pundak John digoncang-goncang. “Apa yang terjadi? Kota hancur. Mungkin perahu kita telah amblas bersama pakaian-pakaian, dekor-dekor serta perlengkapan panggung kita. Selebihnya, tak sesuatupun terjadi".
Barrymore tak dengar lagi. Ia pergi dengan tergesa-gesa. “Kemana kau,” tanya Coolier. Dengan penuh harga diri John menjawab: “Ke hotel, ganti pakaian. Seharusnya kaupun juga. Pakaianmu tidak patut.”
Baca Juga : Ternyata Ini Penyebab Rentetan Gempa di Lombok pada Minggu Malam Kemarin
**
Beberapa serdadu berdiri melongok ke arah atap sebuah rumah yang terbakar. Lima orang berdiri di atas atap yang segera akan runtuh. “TerjunIah", teriak seorang opsir.
Karena ketakutan, kelima mayat hidup itu tidak bergerak. Lalu opsir itu memilih beberapa penembak yang baik. “Tembak mereka. Saya tidak tahan mereka terbakar hidup.”
Ketegangan saraf sampai ke puncaknya. Para serdadu sudah tidak bisa mengendalikan diri, seperti juga rakyat yang panik. Ada perintah dari walli kota untuk membunuh semua saja yang merampok, mengangkuti barang-barang bukan miliknya ataupun menjalankan tindakan kriminal apapun.
Nah, dalam menjalankan instruksi itu berhubung karena dalam keadaan yang kacau balau itu, para serdadu menjadi mesin penembak yang buta. Anak muda yang berjingkrakan sambil membopong kaleng-kaleng lauk pauk, hasil rampokannya dari suatu toko, disikat tanpa ampun di depan kawannya.
Baca Juga : Gempa Bumi Lombok: Ini 5 Fakta Gempa Bumi, Salah Satunya 50 Gempa Bumi Terjadi Setiap Hari
Begitu juga anak kecil yang main-main menggulingkan batu dari atas batu karang kearah orang-orang pelarian yang berllndung di bawah. Ketika ia ditegur serdadu malahan meuantang, terus saja disemprot dengan pelor.
**
Kalau orang-orang berlarian mencari hidup, kaum puritan berkorban di perempatan-perempatan jalan, seperti nabi Jonas. Mereka berteriak-teriak sambil memukul-mukul dada: Bertabatlah hai orang-orang berdosa. Kutukan Tuhan atas kita.
Memang dalam bencana itu banyak kejahatan-kejahatan dilakukan orang. Terutama perampokan. Malahan mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan pun menjadi sasaran.
Baca Juga : Gempa Bumi Lombok: Gempa Paling Berpotensi Timbulkan Trauma dan Gangguan Mental Daripada Bencana Lain
Ketika para milisi yang ditugaskan mengangkat mayat-mayat diperiksa, maka banyak terdapat dalam saku mereka, potongan-potongan jari dengan cincin melilitnya. Daiam dua hari, tiga ratus perampok mayat dijadikan mayat juga.
Pada tumpukan batu tersandar sebuah mayat. Pada dadanya ditempelkan tulisan: Inilah iklan. Dan pada sudut jalan di dekatnya di situ terpampang pengumuman” “Jangan pakai WC. Tidak taat akan ditembak mati.”
**
Tetapi di samping adegan-adegan yang menyeramkan itu, ada sesuatu yang bernada lain. Para wartawan dan pengarang yang keluyuran di kota itu kerapkali tercengang menyaksikan humor dan vitalitas yang berseri dimana-mana.
Di bagian kota yang tidak tergenang api, klub-klub masih terbuka. Tiap malam, penuh sesak. Aturan-aturan lama dihapuskan. Hanya satu tambahan: “Tunjukkan dirimu optimis.”
Baca Juga : Desain Rumah Tahan Gempa Ini Bukti Nyata Nenek Moyang Bangsa Indonesia 'Bersahabat' dengan Gempa
Dalam hari-hari bencana itu, ada 150 bayi yang lahir. Kebanyakan sebelum waktunya. Puluhan ibu meninggal karena tidak ada perawatan.
Orang-orang yang meninggal, karena tidak ada wakta untuk menguburkannya, diangkut oleh angkutan laut, untuk diserahkan kepada “ibu laut”.
Pada tanggat 20 April yang telah menghanguskan kota mulai sekarat. Akhitnya para pemadam api pulang dengan pawai kemenangan. Seruling dan loncengnya disambut dengan terompet dari segala penjuru.
Dari kamp-kamp orang bermunculan. Mereka saling berpelukan. Kebakaran telah berakhir. Beberapa jam kemudian puluhan orang diangkut ke rumah sakit. Mengapa?
Tangan mereka hangus. Karena saking semangatnya mau membangun rumah mereka, mereka telah mengadu tangan mereka dengan batu-batu bata yang masib merah membara.
Baca Juga : Pascagempa Bumi dan Tsunami 2011, Pemerintah Jepang Bangun ‘Tembok Besar’ untuk Lawan Ancaman Tsunami