Intisari-Online.com - Gempa bumi sudah berulang kali menggoncang Nusa Tenggara Barat (NTB) selama nyaris satu bulan ini.
Gempa pertama yang cukup besar terjadi pada Minggu pagi (29/7/2018) lalu terus menyusul gempa lain dengan kekuatan dari rendah hingga besar.
Pada Minggu malam (5/8/2018), gempa dengan magnitudo 7 kembali menerpa Lombok dan bahkan BMKG sempat keluarkan peringatan dini tsunami.
Hingga hari ini, Senin (20/8/2018), BMKG mencatat gempa susulan di Lombok sudah terjadi 814 kali.
Baca Juga: Mustahil Angkatan Udara Turki Bisa Sebesar Sekarang Jika Bukan karena Jasa-jasa Orang Ini
Saking banyaknya gempa susulan yang terjadi, banyak warga Lombok dan sekitarnya yang mengaku mengalami trauma.
Mereka bahkan tak bisa lagi membedakan apakah getaran itu disebabkan oleh kendaraan yang melintas di depan rumah mereka atau karena gempa nyata yang terjadi.
Ini wajar. Semua bencana alam tentu meninggalkan trauma bagi siapa saja yang mengalaminya.
Tapi kasus trauma dalam hal gempa bumi sedikit berbeda. Tingkatannya biasanya lebih berat dibandingkan dengan bencana alam yang lainnya.
Salah satu penyebabnya adalah karena gempa bumi datang tanpa peringatan dan kebanyakan warga tidak mempersiapkan diri serta mental mereka untuk menghadapi gempa.
Sebuah penelitian yang dilakukan psikolog di University of Canterbury menunjukkan sebuah efek buruk dari gempa bagi otak manusia.
Proyek penelitian ini dilakukan setelah gempa berkekuatan 7,1 melanda Selandia Baru pada 2010 silam.
Penulis | : | Aulia Dian Permata |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR