Find Us On Social Media :

Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dulu Kala

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 15 September 2018 | 16:15 WIB

Waktu itu gubernur jenderal membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa yang miskin.

Walaupun niatnya baik, pelaksanaannya buruk, sehingga timbul kabar bahwa pemerintah akan mendeportasi penduduk Tionghoa, juga yang tinggal di Batavia. Terjadilah kepanikan yang menghantar ke pemberontakan di seluruh Jawa.

Baca Juga : HUT DKI Jakarta Ke-491: Kala Senayan Masih Jadi Kampung Betawi dan Tebet Masih Berupa Hutan Belukar

Orang Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu dengan menelan banyak korban. Orang-orang Tionghoa melarikan diri ke daerah sekitar Batavia. Beberapa bulan kemudian pemerintah memberikan amnesti umum.

Sisa  penduduk Tionghoa yang masih hidup ditempatkan dalam kawasan khusus, supaya mudah dilindungi maupun dikendalikan.

Tempat itu kira-kira seperti ghetto untuk orang Yahudi di Italia pada Abad Pertengahan. Sejak itu mereka tinggal di sana.

Mereka itu terdiri atas jutawan yang bisa menjamu perwira dan pejabat pemerintah di rumahnya yang megah dan penuh hiasan, ada pula penjaja keliling yang sepanjang hari menelusuri jalan untuk menawarkan benang dan sabun yang dibawa dalam buntelannya sambil tak henti-hentinya membunyikan "klontong"-nya.

Walaupun yang satu bergelimang harta sedangkan yang lain morat-marit, namun jiwa dan sikap hidup mereka sama.

Mereka hidup untuk berdagang. Seorang Tionghoa berdagang dengan seluruh hati dan jiwanya.

Baca Juga : Malam-malam Cari yang Asli dari Betawi? Ya, Nasi Uduk Bang Udin yang Rasanya ‘Betawi Banget’

Sejak dilahirkan sampai dikuburkan, saat makan, saat bersantai, saat mengisap madat, dan di kelenteng sekalipun,  mereka tidak pernah melepaskan dirinya dari perdagangan.

Lain dengan orang Barat. Kalau orang Barat berdagang, maka mereka menjadi pedagang cuma beberapa jam sehari, di kantornya.