Ronggowarsito, Pujangga Keraton Surakarta Ini Sudah Meramalkan Hari Kematiannya

Aulia Dian Permata

Penulis

Intisari-Online.com – Bagaikan pertunjukan wayang kulit, yang mampu menampilkan permainan bayang-bayang, orang Jawa lebih senang memakai lambang tertentu untuk menyampaikan suatu pengertian.

Berikut ini kita simak tulisan Julius Pour yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1975, dengan judul Ronggowarsito Sudah Meramalkan Hari Kematiannya.

--

Tidak terkecuali cara tersebut dipergunakan dalam menandai sebuah karya sastra. Mereka memilih sebuah lambang, di samping menulis nama asli pengarang, yang tidak selamanya ikut menyertai.

Pujangga Ronggowarsito dari Kraton Surakarta di abad ke XIX, tidak selalu membubuhkan tanda tangan di akhir buah tulisannya. Tetapi naskah asli buku Paramasastra yang berisikan pengetahuan mengenai ilmu kesusasteraan dan sampai sekarang masih menjadi koleksi Museum Radya Pustaka Solo, mungkin merupakan sebuah perkecualian.

Baca Juga : Besuk Kiamat, Program Baru Pemkot Surakarta Untuk Warganya yang Meninggal Dunia

Karena pada baris terakhir naskah tersebut, di bawah tanda tangannya dalam huruf Jawa, Ronggowarsito ternyata masih menyempatkan diri menggambar seekor ular kecil. Menghadap ke arah kiri, panjang berkelok-kelok dengan ekor yang membelit. Mengapa harus ada gambar ular?

Secara etimologis, penguraian menurut asal suku kata, istilah pujangga berasal dari bahasa Sansekerta, bhujangga atau bujaga. Kata bujaga sendiri bermula dari akar kata bhuj, dalam pengertian berkelok atau membengkok.

Akar kata bhuj, selanjutnya mampu diubah menjadi kata bhuja dengan arti lengan atau belalai. Sementara bentuk kata ga, bersumber kata gan, mempunyai arti berjalan. Sehingga dengan demikian, kata bhujaga bisa diartikan berjalan berkelok-kelok.

Dari sini tumbuh pengertian, bhujaga adalah seekor ular. Di samping lewat cara lain timbul pengertian, bhujaga adalah seorang cendekiawan, rokhaniwan atau pengikut tetap seorang Raja.

Baca Juga : Menyeramkannya Hukum Siksa di Kerajaan Surakarta Zaman Dulu, Manusia pun Diadu dengan Binatang Buas

Tidak mengherankan, karena alasan-alasan tersebut di atas, sebagai orang Jawa yang baik, Ronggowarsito memutuskan menggambar seekor ular diakhir naskah tulisannya. Tentu saja, ia cukup rendah hati, untuk tidak langsung menulis dengan jelas nama dan sebutan Pujangga.

Karena bagaimanapun juga, para pembaca kitab Paramasastra, diharapkan cukup bijak serta ampu merasakan apa yang tersirat, bukan hanya yang tersurat. Sehingga sesudah memjabarkan secara sederhana, pembaca pasti mampu mengetahui, penulis buku termaksud adalah Ronggowarsito, yang mempunyai sebutan seorang Pujangga. Bukan orang lain.

Pelopor penulisan sandi-asma

Tidak selalu seekor ular tampil diakhir naskahnya. Dalam berbagai buku lain, kata Ronggowarsito justru diselipkan di tengah-tengah tulisan. Karena penempatan kata tersebut tidak utuh, melainkan terpisah-pisah dan tidak selamanya hanya pada kata pertama setiap baris dalam puisi.

Baca Juga : Nyai dan Kiai Slamet, Kerbau Sakti dari Surakarta yang Kutunya pun Diburu karena Dianggap Ikut Punya Kesaktian

Sering diselipkan pada permulaan baris, pada awal bait, baris akhir, setiap akhir irama dan bahkan ada yang terselipkan membeliti seluruh puisi.

Mencari kata ronggowarsito dalam puisi agak menyulitkan. Cara membubuhkan nama penulis terjalin dalam karangan semacam itu, dikenal dengan istilah sandi-asma. Cara tersebut mulai diperkenalkan sejak karya pertamanya, kitab Jayengbaya, ditulis pada masa Ronggowarsito masih muda usia dan bernama Kyai Sarataka.

Dan semenjak Jayengbaya itu pula, dalam setiap karangan berbentuk puisi, penempatan sebuah sandi-asma selalu dapat dipastikan. Mencapai puncaknya ketika menyelesaikan buku Witaradya ditahun 1863.

Di mana sejak bait pertama tembang Dandanggula, salah satu jenis nyanyian Jawa, sandi-asma Ronggowarsito terjalin menyelusuri seluruh isi buku. Setiap awal baris sampai habis, dibarengi pada setiap permulaan bait.

Baca Juga : Di Surakarta Sedot Tinja Pakai Scanning Barcode

Dipandang dari segi jalinan sandi-asma didalarnya, kitab Witaradya memang memiliki keistimewaan tersendiri.

Puisi menentukan dipenuhinya persyaratan mengenai irama, di samping pemakaian pilihan kata-kata tertentu. Ini menyebabkan, penempatan sebuah sandi-asma, meniadakan sama sekali kemungkinan orang lain mencaplok karya tersebut sebagai miliknya.

Tanpa harus membongkar keseluruhan tulisan. Keadaan ini membuahkan jaminan, meskipun dimasa itu suatu karya sastra masih ditulis dengan tangan. Suatu penulisan kembali untuk memperbanyak transkripsi dari sebuah naskah asli, meskipun berulang kali dilakukan, tidak mungkin menghapuskan nama asli sang penulis.

Karena namanya sudah rapi terjalin membeliti seluruh naskah, sulit dibongkar dan dilenyapkan begitu saja.

Baca Juga : Geger Kerbau Bule Keraton Kasunanan Surakarta Mati Ditikam

Contoh sebuah sandi-asma sederhana, tertera pada kitab Kalatida. Baris terakhir kitab tersebut mencantumkan kalimat berbunyi; borong anggo suwargo mesi martoyo. Kalimat ini berarti: (saya) memasrahkan diri dalam mendambakan (datangnya) sorga abadi.

Meskipun demikian, seorang pembaca Kalatida diharapkan juga mampu merangkai lima suku kata dalam kalimat tersebut. Dimana dengan mudah dapat dibaca, nama Ronggowarsito.

Khusus untuk kitab Ajipamasa, sandi-asma menjalin setiap permulaan bait di awal pupuh. Secara keseluruhan dapat terbaca nama: Rahadyan Hangabehi Ronggowarsito Kaliwon Pujangga guru basa krama saha parama Kawi ing nagari Surakarta Hadiningrat.

Sebagaimana diketahui, Raden Ngabei, adalah gelar Ronggowarsito yang diperolehnya dari Kraton Solo. Sedang pangkat yang dipegangnya adalah Kliwon, sebuah pangkat setingkat diatas Lurah.

Baca Juga : Ikut Menggali Bekas Kraton Pandawa Mencari Jimat Sang Yudistira

Di dalam jabatan selaku Pujangga, di samping memiliki juga jabatan rangkap sebagai guru bahasa dan penterjemah bahasa Kawi dikota Surakarta Hadiningrat.

Alhasil, di dalam membaca Ajipamasa, orang harus mengetahui nama, gelar, pangkat, jabatan dan tugas yang dipangku sang penulis. Maka tidak seharusnya orang keliru menyebut. Tidak seharusnya orang bertanya, apa gelar, pangkat, tugas maupun kedudukannya dalam lingkungan Kraton Surakarta.

Karena segalanya sudah tertulis, tersirat didalam seluruh isi karangan. Sehingga tidak usah terjadi kebimbangan lagi, didalam menunjukkan siapa penulis buku termaksud plus latar belakang jabatan dan kedudukannya.

Bandel semasa bocah

Lahir dengan nama Burhan, di rumah keluarga di kampung Pasar Kliwon, tepat di timur tembok Kraton Solo pada tanggal 15 Maret 1802. Bocah ini sebelumnya tidak diduga akan mampu mengangkat dirinya menjadi seorang penulis paling terkenal.

Baca Juga : Tak Ditemani Ibu Saat Sakit, Anak Putri Keraton Solo: Kraton Itu Istana atau Penjara?

Yang oleh almarhum Prof Dr. Muhammad Yamin, dilukiskan sebagai seorang pujangga Indonesia paling banyak menghasilkan buah pikiran dan buah pena.

Sampai imenjelang usia 12 tahun, dibawah pengawasan pelayan pribadi Ki Tanujaya, Burhan tetap tinggal di rumah kakeknya. Sang kakek, kelak bernama Kyai Yasadipuro ke II, tokoh terkenal dalam kalangan kesusasteraan Jawa.

Meskipun dengan latar belakang semacam itu, Burhan tidak pernah menunjukkan perhatian cukup berarti terhadap bidang yang telah dihayati sejak lama oleh keluarga dan nenek moyangnya.

Menginjak dewasa, tetap diikuti Tanujaya, Burhan dikirim belajar dipondok pesantren Gerbang Tinatar, Ponorogo, Jawa Timur. Dua bulan dalam perantauan, kemajuan pelajaran sama sekali tidak diperoleh.

Baca Juga : Jika Sedang di Solo, Mampirlah ke Taman Balekambang yang Hijau dan Bersejarah

Harapan seluruh keluarga bahkan hampir melenyap, ketika kebandelannya memuncak dengan lari dari Ponorogo. Menuju kota Madiun, mencari kehidupan sebagai pedagang kecil di tengah pasar.

Berbagai upaya terus dilakukan, agar Burhan bersedia kembali ke tempat pendidikan. Begitulah, lambat laun, ia menyadari perlunya seseorang mengikuti pelajaran. Berkat didikan keras dan berdisiplin dari Kyai Imam Bestari, Burhan mulai luluh kenakalannya.

Bahkan, berkat kemauan yang tumbuh kuat, ia mampu mengejar segala ketertinggalan pelajaran ditandai dengan pengangkatan selaku wakil Kyai Imam Bestari dikala memberikan pelajaran.

Tiga tahun menamatkan pendidikan di pondok pesantren Ponorogo, ia kembali ke kota Solo, ke rumah Pasar Kliwon. Dididik langsung oleh kakeknya dalam bidang kesusasteraan, Burhan kemudian diserahkan kepada Gusti Bimunata untuk memperdalam pengetahuan mengenai ilmu kejawen.

Baca Juga : Bukan karena Hal Mistik, Inilah Alasan Mengapa Masyarakat Jawa Menganggap 'Sakral' Bulan Suro

Segala pelajaran tahap pertama berakhir dengan diangkatnja Burhan masih dalam usia 17 tahun, sebagai pegawai Kraton dalam pangkat Carik dengan panggilan nama baru; Ronggo Pujangganom.

Memakai nama itu pula, ia melangsungkan perkawinan pertamanya dengan Raden Ajeng Gombak, puteri Adipati Cakraningrat dari Kediri, Jawa Timur. Seorang gadis yang pernah ditemuinya, ditengah pasar Madiun, ketika Burhan menjadi pedagang barang loak.

Diangkat selaku Pujangga Kraton

Seorang pegawai Kerajaan, senantiasa memakai nama pemberian Raja yang telah mengangkatnya. Disesuaikan dengan jenjang kepangkatan seseorang, dapat dimaklumi nama tersebut selalu berganti dan berubah mengikuti meningkatnya karier seseorang.

Karena berpindahnya jabatan seseorang, menyebabkan nama yang mereka pakai harus disesuaikan. Atau lebih tepat, disesuaikan dengan nama pemberian Kraton.

Baca Juga : Nyatanya, Banyak Kepercayaan Mistik yang Selalu Mewarnai Tugas dan Operasional TNI

Begitulah, 35 hari setelah melangsungkan perkawinan, Ronggo Pujangganom berkunjung ke rumah mertua di kota Kediri. Dari kota ini, ia menuju dan menjelajahi segenap pelosok Jawa Timur sampai ke pulau Bali.

Berdiskusi serta menambah ilmu pengetahuan kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Anjar Wirakanta di Rogojampi dan Kyai Anjar Sidalaku di kota Tabanan, Bali. Selain menambah pengetahuan, ia mulai menuliskan catatan perjalanan di samping membawa pulang ke kota Solo berbagai koleksi naskah Bali kuno.

Pada usia 20 tahun, oleh Sri Susuhunan Paku Buwono ke IV, pangkatnya dipromosikan menjadi Mantri Carik ditambah anugerah nama baru, Mas Ngabei Sarataka. Sampai akhirnya, delapan tahun sesudah ini, Sarataka dinaikkan menjadi Panewu Carik Kadipaten Anom ditambah gelar sebagai Raden Ngabei Ronggowarsito.

Dan setelah kakeknya orang yang paling dekat dan banyak membimbingnya, Tumenggung Sastranegoro (Yasadipuro Ke II atau Ronggowarsito ke I) wafat. Ronggowarsito langsung ditetapkan menggantikan kedudukan sang kakek sebagai Pujangga Kraton Surakarta, pada tanggal 14 September 1845, oleh keputusan Raja yang berkuasa masa itu, Sunan Pakubuwono ke VIII.

Baca Juga : Sejarah Malam 1 Suro Kenapa Dianggap Punya Makna Mistis dan Misterius

Mungkin timbul sedikit pertanyaan, meneliti riwayat Ronggowarsito, sangat jarang disinggung mengenai ayah kandungnya. Ayah tokoh ini adalah Pajangswara, pegawai bagian kesenian Kraton Solo.

Karena ketrampilannya dalam menyanyi, ia sempat mencapai pangkat Panewu Carik dengan memperoleh anugerah gelar Ronggowarsito ke II. Sayang sekali, akibat keterlibatannya dalam masa Perang Diponegoro, ia kemudian ditangkap.

Kemudian diasingkan, sampai meninggal dunia dan dimakamkan di kuburan Luar Batang, Jakarta. Inilah sebabnya, mengapa Ronggowarsito ke III lebih dekat kepada sang kakek. Diasuh sejak kecil di rumah kakek dan langsung bisa menduduki jabatan Pujangga Kraton, begitu sang kakek meninggal dunia.

Baca Juga : Inilah Makna Mistis Angka 17 Sehingga Dipilih Sebagai Tanggal Proklamasi Oleh Bung Karno

Artikel Terkait