Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi para pembaca yang gemar ceritera wayang, mendengar nama Indraprahasta mungkin akan teringat pada kepahitan para Pandawa dalam menjalani hukuman selama dua belas tahun sebagai akibat kalah judi dari para Korawa.
Mereka harus menjelajahi hutan belantara yang tidak dijamah manusia. Akhirnya didalam hutan belantara tersebut mereka berhasil membangun sebuah kota baru yang diberi nama Indraprahasta dan menobatkan Samiaji atau Yudistira menjadi rajanya yang pertama.
Hastinapura
Sekarang memang terdapat sebuah dusun kecil yang tiada berarti dibagian Uttar Pradesh bernama Hastinapura dan Kuruksetra yang mengingatkan pada epos Mahabharata. Jika Hastinapura dan Kuruksetra masih nampak pada permukaan tanah maka kota Kuno Indraprahasta masih merupakan tanda tanya dimanakah gerangan letaknya.
Bagi ahli-ahli purbakala India rupanya wiracarita Mahabharata ini masih tetap dijadikan petunjuk untuk mencari jejak bekas kota ini berdasarkan methoda arkeologi.
Maka jawatan Purbakala India (Archaeological Survey of India atau A.S.I.) melalui lembaga pendidikannya bernama School of Archaeology telah membuat program khusus untuk mengadakan penggalian disebuah site yang berdasarkan tradisi merupakan bekas kota Kuno Indraprahasta.
Tiap tahun School of Archaeology mengadakan post graduate study untuk sarjana lulusan Arkeologi di India dan berbagai negara tetangga. Mereka hanya menyediakan tempat untuk 10-12 calon saja.
Program ini dilakukan setahun penuh meliputi berbagai ilmu seperti konservasi, penggalian, study tour dsb. khusus untuk penggalian diadakan selama tiga bulan penuh dengan jam kerja mulai jam 8.00 pagi sampai jam 6.00 sore (istirahat jam 12-13.00).
Program penggalian di Purana Qila oleh School of Archaeology sudah dilakukan sejak tahun 1969. Pada tahun 1971 lembaga ini masih melanjutkan program penggalian di Purana Qila, sebuah benteng Kuno dari abad 16 seluas 10 H.A., kebetulan letaknya masih di tengah kota New Delhi, dekat muara sungai Yamuna.
Bumbu jamu yang menyehatkan
Pada waktu itu peserta berjumlah 12 orang, 9 dari India, seorang dari Burma dan dua orang dari Indonesia. Semua peserta diharuskan tinggal dikemah yang disediakan ditempat penggalian. Kami bertiga yaitu Sdr. U Nyunt Han dari Burma, Sdr. Ismanu (dari LPPN Cabang Prambanan) dan saya ditempatkan dalam satu kemah.
Penunjukan ini ternyata banyak manfaatnya karena di antara kami bertiga terdapat banyak kesamaan terutama dalam hal selera makan.
Baca juga: Indonesia Punya Peran Besar Terhadap Perkembangan Arkeologi Dunia
Kami diberi perlengkapan berupa Velbed, kelambu, selimut tebal dan seperangkat alat-alat penggalian seperti rollmeter, meja gambar, mistar dsb.
Hawa di New Delhi waktu itu cukup dingin (sekitar 5° Celsius) sehingga kalau kami mau masuk lobang penggalian tetap harus berpakaian lengkap berupa jas atau mantel dan dasi atau kain penutup leher supaya tidak kedingiinan.
Makanan disediakan oleh dapur umum dan diompreng. Sebenarnya kalau berbicara tentang selera makan ternyata jenis makanan yang disediakan memakai bumbu yang di kita lazim dipergunakan untuk ramuan jamu seperti: jinten, kapol, kayumands, kunyit, cengkeh yang semuanya itu diolah menjadi sayur atau campuran nasi sehingga sama sekali kurang menarik.
Belum lagi kalau kita mau nambah sayur mentah yang warnanya seperti sledri tapi ternyata bau kutu busuk sehingga lidah sudah mau berontak saja.
Walaupun demikian kami makan apa adanya saja karena ternyata walaupun lidah sangat seret menerimanya namun untuk badan dan perut mendatangkan rasa nyaman sehingga sehabis makan kita seperti hahis minum jamu pegel linu.
Baca juga: Inilah 9 Penemuan Arkeologi Paling Mengejutkan Dunia
Mas Ismanu sering berolok-olok: “Wah kita makan sayur jamu". Namun rupanya sayur semacam ini cocok untuk kondisi hawa sub continental seperti India. Buktinya kami jarang mendapat serangan sakit perut atau urus-urus.
Nyambel terasi diam-diam
Cuma saja kami bertiga sering membuat acara masak sendiri dan terpaksa dilakukan diwaktu malam dengan catatan salah seorang bertugas jaga pintu tenda takut kalau ada kontrol. Acara masak ini kami anggap sebagai ekstra menu sebagai pengobat lidah.
Lauknya selain sambel terasi, juga terdapat kerupuk dan udang kering, vetsin yang semuanya merupakan koleksi U Nyunt Han. Rupanya ia sudah mengetahui kondisi makanan di India sehingga untuk perlengkap makan saja, Han memboyong dari negaranya berbagai bumbu dan lauk sampai sekoper penuh.
Untuk dapat menikmati lauk ekstra ini kami dengan senang hati berfungsi sebagai pembantu Sdr. Han, mencuci piling, masak air, ngepel dsb.
Pemotretan dari menara
Komunikasi bahasa merupakan suatu hal yang cukup menyulitkan. Sebenarnya dengan teman sejawat faktor bahasa tidak menjadi persoalan tetapi dengan para penggali di mana kiita berhubungan langsung sepanjang hari kami terpaksa harus memakai bahasa Hindi atau kalau macet pakai bahasa isyarat.
Baca juga: Taman Ini Dilengkapi Fitur Arkeologis Abad Pertengahan
Kami hanya faham bahasa Hindi beberapa patah saja, untung saja Han cepat menguasai bahasa Hindi sehingga ia sering kami pergunakan sebagai penghubung.
Para mahasiswa dibagi dalam delapan grup dan kami bertiga mendapat tugas yang terpisah. Pengalaman mengikuti penggalian ini banyak sekoli manfaatnya. Kami pernah mengikuti penggalian di Gilimanuk (Bali) pada tahun 1964 dibawah pimpinan Drs. R.P. Sujono karena daerah penggalian adalah site prasejarah.
Ternyata tugas kami di Gilimanuk waktu itu jauh lebih berat jika dibandingkan dengan tugas kami di Purana Qila. Soalnya kalau kami melakukan penggalian di Indonesia biasanya segalanya dikerjakan sendiri seperti: mengukur, menggambar, ngangkut tanah, motret dan membuat laporan.
Di Purana Qila pembagian kerja lebih teratur. Pemotretan dikerjakan oleh Foto Section, kami hanya diberi kursus sekedarnya bagaimana cara memotret dan mempergunakan berbagai alat potret. Untuk pemotretan disediakan sebuah menara yang tingginya 6 meter sehingga dari situ kita dapat dengan leluasa melakukan pemotretan terhadap semua site penggalian.
Sistim semacam ini sejauh pengamatan kaini belum- lazim dipakai di Indonesia.
Sudah terlatih
Tenaga ahli penggalian juga merupakaa tenaga khusus dipimpin oleh superintending of excavation. Kerjanya hanya melaksanakan program penggalian yang diperintahkan oleh A.S.I. Juga tenaga penggali dan pengangkut tanah adalah tenaga kasar yang diambil dari luar.
Mereka sudah cukup terlatih sehtngga kita tinggal memberi instruksi-instruksi pokok saja. Mereka juga tahu apa yang bukan menjadi tugasnya karena kalau ada temuan-temuan baru buru-buru melapor kepada kami untuk selanjutnya kami ukur dan di teliti untuk laporan.
Kami sendiri hanya di serahi mengukur, menggambar, melaporkan temuan penting dan menyusun laporan yang semuanya diawasi langsung oleh pimpinan dan asistennya.
Hasil penggalian dari tahun-tahun yang lalu dipamerkan pada satu ruangan husus yang disediakan dekat tempat penggalian sehingga kami dapat melakukan perbandingan dengan temuan-temuan yang kami peroleh.
Lubang penggalian yang terdalam mencapai 8 meter. Pada lubang ini kami menemukan struktur tanah yang terdiri dari berbagai benda temuan dimana makin dalam telah ditemukan benda-benda yang umurnya lebih tua.
Baca juga: Menengok Situs Megalitikum yang Terletak di Dasar Laut Mediterania, Usianya Sudah 9.000 Tahun Lho
Pada lapisan atas kami menemukan fondasi benteng dari masa Moghul (abad 16-17), dibawahnya kami temukan tembikar dari abad 12-15 M. Dibawahnya lagi dapat ditemukan periuk dan terracotta dari masa yang lebih tua.
Seterusnya secara beruntun makin kebawah kami menemukan fragmen dari masa Sungga (abad 2-5 M), kemudian Maurya (abad 4 S.M. — abad 2 M) dan terakhir fondasi bangunan kuno dari masa sekitar 1000-1500 S.M.
Minta jimat Yudistira
Secara perlahan-lahan mereka mulai menemukan beberapa jejak tertua dari masa nomaden Aria dan mithos tentang Indraprahasta makin menjadi menarik sehingga School of Archaeology tetap melanjutkan program jangka panjang untuk penggalian di Purana Qila.
Sebelum pulang ke tanah air kami sempat mengirim surat kepada seorang teman di Jakarta dan melaporkan bahwa kami sedang mengikuti penggalian bekas keraton Indraprahasta.
Jawaban surat itu agak aneh, teman kami berpesan kalau dapat ia minta dicarikan layang kalimusada milik prabhu Darmakusumah atau Puntadewa.
Tentu saja permintaan tersebut tidak dapat kami kabulkan karena sampai penggalian berakhir kami ternyata tidak menemukan layang sang Yudistira ini.
(Ditulis oleh H.M. Ambari. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1974)