Find Us On Social Media :

Antara Judi dan Keserakahan Memilukan di Rihi Eti

By Agus Surono, Sabtu, 13 Mei 2017 | 09:00 WIB

Pacuan kuda di gelanggang Rihi Eti, Waingapu, NTT yang berbau judi dan keserakahan manusia.

Intisari-Online.com – Di setiap kompetisi atau perlombaan selalu tercium aroma judi. Terlebih di pacuan kuda. Termasuk pacuan kuda di Rihi Eti, gelanggang khusus balap kuda di Prailiu, Kota Waingapu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kota Waingapu adalah kota kecamatan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Waingapu merupakan kota terbesar di Pulau Sumba.

(Baca juga: Melihat Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dari Antariksa)

Menonton pacuan kuda di sini tak perlu membayar. Gratis! Dari kelas bangsawan hingga rakyat biasa boleh menonton di Rihi Eti.

Di balik gemerlap pacuan kuda di Rihi Eti, ada keserakahan manusia yang membikin kita trenyuh. Dengarlah kisah ini, yang dituturkan oleh Umbu Harun (54), pemilik kuda pacuan bernama Bossi (2) yang berkali-kali menang dalam lomba.

Setahun sedikitnya dibikin tiga kali acara lomba. Itu hajatan rutin Pemerintah Kota Sumba Timur. Dana negara yang dikucurkan di situ tak kurang dari Rp1 miliar per tahun. Sebagian besar untuk hadiah lomba. 

Ada 15 kategori lomba. Dari kategori kuda berusia delapan bulan hingga lima tahun atau lebih.

Tapi umumnya, kuda yang sedang di stamina puncak, dengan kecepatan lari tercepat, kira-kira 60 km per jam, ya kuda yang tak lebih dari usia lima tahun.

Karena menaksir usia kuda gampang keliru, penetapan kategori lomba didasarkan ukuran tinggi kuda. Jangan salah duga.

Kuda yang dipilih untuk ajang lari kencang adalah betina, bukan jantan. Anda boleh berfantasi. Kalau kuda lagi berahi, yang jantan tak mungkin berlari mendahului si betina.

Watak hewan itu mirip perangai manusia. Umumnya yang memburu si jantan, yang diburu betina. Tapi Umbu tak yakin bahwa betina dipilih untuk lomba gara-gara perkara berahi. Dari lomba ke lomba, pemenangnya selalu betina, tutur pria dari Manggarai Timur, Flores itu.

(Baca juga: Tragedi Mei 1998 Mencerminkan Transisi Pemerintahan yang Gagal)