Hampir Mirip di Venezuela Sekarang, Rupiah Kita dari Dulu pun Bikin Resah

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Tidak hanya Venezuela yang mengalami inflasi, bahkan di negara kita pun rupiah telah memberikan kejutannya sejak merdeka.

Intisari-Online.com – Tidak hanya Venezuela yang mengalami inflasi, ternyata nilai uang kita pun turun dari waktu ke waktu.

Pecahan sen diganti rupiahan tunggal, lantas puluhan, kini ratusan pun hanya sesekali digunakan.

Transaksi lebih banyak memakai ribuan, jutaan, bahkan miliar rupiah. Di satu sisi ini mencerminkan kemakmuran, namun di sisi lain juga menunjukkan kebijakan ekonomi yang tak pernah tuntas.

Telah sembilan kali kejutan keuangan kita alami sejak kemerdekaan, namun nilai tukarnya terhadap mata uang asing tak pernah membaik. Bahkan dihitung dari tahun 1950-an, depresiasi rupiah terhadap dolar AS mencapai sepersejuta alias 100 juta persen!

Tulisan berikut ini disarikan dari Majalah Intisari edisi Mei 1983, Rupiah Kita dari Maret 1946 – Maret 1983, dan edisi Januari 1999, Sejak Dulu Rupiah Sudah Bikin Resah.

Baca juga: (Foto) Alami Hiperinflasi, Anda Harus Bawa Sekoper Uang Hanya untuk Beli Popok di Venezuela

Berikut ini kronologi sejarah moneter Indonesia, yang membuat kepanikan sebagian masyarakat waktu itu.

Satu rupiah menjadi tiga sen, 6 Maret 1946

Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI (Allied Forces in Netherland India) menyatakan berlakunya uang NICA sebagai alat pembayaran yang sah, pengganti uang Jepang. Satu rupiah Jepang sama dengan tiga sen uang NICA. Uang NICA berlaku di daerah yang diduduki Sekutu.

Seratus rupiah Jepang = satu rupiah ORI, 23 Oktober 1946

Baca juga: Inflasi Venezuela Capai 4.115%, Negara Kaya Minyak Itu Berada di Tepi ‘Spiral Kematian’

Keputusan dikeluarkan tanggal 1 Oktober 1946, tapi uang ORI mulai beredar tanggal 23 Oktober 1946. Kurs penukaran dengan uang Jepang untuk Pulau Jawa dan Madura 1:50, sedangkan untuk daerah lain 1:100.

Artinya, 1 rupiah ORI = 100 rupiah Jepang. Tujuannya, untuk menarik kembali uang Jepang yang mengalami inflasi hebat, yang makin menyulitkan kedudukan Republik. Sebab uang dari daerah pendudukan mengalir ke pedalaman yang Republik.

Sebab uang dari daerah pendudukan mengalir ke pedalaman yang Republik.

Gunting Sjafruddin, 19 Maret 1950

Baca juga: Tarif Pulsa Ponsel Jadi Salah Satu Penyumbang Inflasi Januari 2017

Semua uang kertas Javasche Bank dan uang NICA dari pecahan lima rupiah ke atas digunting jadi dua. Bagian kiri masih berlaku sebagai alat pembayaran sah sampai tanggal 9 April 1950 pukul 18.00 dengan nilai 50% dari nilai semula.

Guntingan yang sebelah kanan serta simpanan di bank yang tertahan dapat ditukar dengan obligasi negara dengan bunga 3% per tahun dan akan dibayar dalam jangka waktu 40 tahun.

Gunting Syafruddin menyebabkan banyak orang menjerit. Lagi pula ternyata tak mampu mengatasi masalah dalam jangka panjang.

Pengebirian uang, 25 Agustus 1959

Baca juga: Ini Gambaraan ketika Venezuela Semakin Makmur tapi Masalah Sosial Mulai Timbul

Uang kertas pecahan Rp1.000,00 dan Rp500,00 diturunkan nilainya menjadi 10% dari nilai semula. Rupiah didevaluasikan dari Rp11,40 untuk 1 dolar Amerika menjadi Rp45,00. Semua simpanan dalam bank yang melebihi Rp25.000,00 dibekukan. Maka cerita pilu pun bermunculan.

Ternyata perekonomian Indonesia tak juga lepas dari keterpurukan. Tahun 1961 – 1962 harga-harga melonjak 400%. Pemerintah giat mencetak uang, sehingga terjadi hiperinflasi.

Di saat luka belum pulih akibat berbagai gejolak polik, termasuk G-30-S/PKI 1965, pemerintah memberlakukan uang baru.

Seribu jadi seperak, 13 Desember 1965

Baca juga: 'Doyan Ngutang', Orang Amerika Sudah 'Terlilit' Utang Hingga Ratusan Juta Rupiah di Usia Belasan Tahun

Pemerintah menetapkan mengeluarkan uang baru dan menarik uang lama. Nilai Rp1.000,00 uang lama dapat ditukar dengan Rp1,00 uang baru.

Keparahan ekonomi ini terlihat dari nilai AS$1 yang mencapai Rp10.000,00 uang lama atau Rp10,00 uang baru.

Praktiknya, harga-harga tak uma dikonversikan melainkan naik. Pada Januari 1966 harga BBM naik. Tikus bus kota Jakarta naik dari Rp200,00 uang lama menjadi Rp1,00 uang baru yang berarti naik 5 kali lipat. Tiket kereta malam kelas ekonomi Jakarta – Surabaya naik dari Rp14.200,00 menjadi Rp113.600,00 uang lama atau Rp113,60 uang baru alias naik 8 kali lipat!

Pendapatan rata-rata terasa makin kecil karena daya beli menurun drastis akibat inflasi tinggi. Maka idiom G-30-S muncul lagi dalam versi baru bernada jerita, B-30-S, menunjuk beras yang harganya memang Rp30,00 sekilo.

Baca juga: Mata Uang Turki Terjun Bebas, Begini Efeknya Terhadap Rupiah

Devaluasi rupiah, 23 Agustus 1971

Rupiah didevaluasikan sebesar 10%. Nilai satu dolar Amerika sama dengan Rp415,00.

Minyak bumi dijadikan senjata ampuh untuk mendongkrak perekenomian. Namun, kesalahan pengelolaan dan hantu-hantu korupsi mulai bergentayangan. Walhasil, nilai mata uang hanya bisa bertahan sesaat. Pada Oktober 1978 AS$1=Rp418,00.

Kenop 15, 15 November 1978

Baca juga: Elly Sugigi Bisa Raup Puluhan Juta Rupiah dalam Sebulan dari Bisnis Penonton Bayaran, Kok Bisa?

Devaluasi rupiah sampai sebesar 50%. Satu dolar AS dari Rp415,00 naik menjadi Rp625,00. Nilai rupiah mulai saat itu tidak dikaitkan dengan dolar Amerika dalam bentuk kurs tetap, sebagaimana yang berlaku sejak tahun 1971 sampai 15 November 1978, tetapi dapat menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya mata uang asing yang lain.

Jadi nilai tukar rupiah dibuat mengambang secara terkendali atau istilahnya managed floating.

Orang miskin makin menjerit karen aharga barang langsung melonjak. Logam mulia naik dari Rp2.950,00 menjadi Rp4.500,00 segram. Harga bahan bangunan naik 30%, obat-obatan impor naik 25%, harga makanan naik 40%.

Daging sapi dari Rp1.350,00 menjadi Rp1.650,00 per kg. Telur ayam negeri berubah dari Rp524,00 menjadi Rp700,00 per kg.

Baca juga: Pernah Jadi Negara Kaya, Venezuela Bangkrut Karena Terlalu Baik pada Rakyatnya

29 Maret 1983

Rupiah didevaluasikan lagi. Harga beli satu dolar AS, dari Rp700,00 naik menjadi Rp970,00 (kurs tengah). Nilai tukar rupiah tetap dibuat mengambang secara terkendali, seperti halnya kebijakan pasca Kenop 15, dalam jangka panjang tetap tak bisa dikendalikan.

Dolar AS menyodok ke angka Rp1.000,00-an terus naik dan tidak turun lagi. Karena impor kita berkisar 30 – 40%, kenaikan harga pun dalam kisaran persentase itu.

Pakto 88, Oktober 1988

Baca juga: Ngerinya Krisis di Venezuela, Harga Daging 9,5 Juta, Popok 8 Juta

Pakto 88, kependekan dari Paket Oktober 1988, berupa deregulasi perbankan dan upaya peningkatan kegairahan berinvestasi, dalam jangka pendek berhasil mendongkrak pertumbuhan.

Namun, rakyat kebanyakan hanya bisa menyimpulkan deregulasi tak lebih dari pengukuhan kejutan keuangan dua tahun sebelumnya, saat dolar AS melonjak ke angka Rp1.600,00-an.

Sejalan dengan kebijakan mengambangkan rupiah secara terkendali (managed floating), pemerintah menetapkan depresiasi tahunan sebagai pengganti devaluasi yang makin terasa sebagai “hantu”. Angkanya berkisar 5% - 7% per tahun.

Dunia usaha memperoleh angka pasti, pengekspor memperoleh insentif, tapi orang awam tetap melihat dolar AS makin lama makin mahal.

Baca juga: Sudah Tak Ada Harganya, Uang Venezuela Diubah Jadi Barang Kerajinan sehingga Punya Nilai Lebih Mahal

Oktober 1997, rupiah terjun bebas

Sejak Oktober 1997, rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar. Benar saja, dolar AS naik dari Rp2.300,00, ke Rp3.100,00, ke Rp4.000,00, melompat ke Rp5.500,00, dan seterusnya.

Pengamat pasar uang Theo Francisco Toemion mengistilahkan “rupiah terjun bebas” karena depresiasi puluhan persen tak lagi dalam kurun tahunan atau bulanan, melainkan harian.

Puncaknya adalah ketika AS$1 bernilai Rp17.200, pada April 1998, berarti rupiah terdevaluasi 750% dalam setahun. Terbayang akibat kejutan ini, orang makan ayam goreng beserta kentang impor dan sayurannya harus membayar Rp100.000,00 walau jika didolarkan tak lebih dari AS$6.

Baca juga: Waspada Inflasi Jika Harga BBM Naik!

Jangankan kurs setinggi itu. Dengan nilai Rp11.000,-- saja tergambar carut-marutnya kebijakan keuangan kita, menyebabkan depresiasi 1.000 kali sejak 1952. Kalau sanering “seribu-seperak” 13 Desember 1965 dihitung, penurunannya terhadap dolar AS menjadi sangat absurd: sejuta kali alias 100.000.000%!

Kurs yang relatif stabil pada kisaran Rp7.500,00 per AS$1 sejak November 1998 memang memberi kepastian, walau kenaikan harga barang sampai tiga kali lipat tetap memilukan.

Memang, dengan turunnya nilai rupiah, para pengekspor seolah-olah memperoleh wind-fall. “Tapi itu hanya jangka pendek dan bukan cermin dari kekuatan sebenarnya,” kata Anggito Abimanyu, pengajar FE-UGM dan MM-UGM.

Ekspor adalah salah satu sektor ideal kalau kita ingin memperbaiki ekonomi. Yang tak kalah penting adalah perbankan dan pembenahan sektor riil. “Tapi sektor riil sekarang mati karena kebijakan suku bunga tinggi” tambah dokter ekonomi industri dan lingkungan lulusan University of Pennsylvania (1993) ini.

Baca juga: Merdeka! Gaji PNS Akhirnya Naik Lagi, Berikut Penjelasan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani

Anggito menunjuk contoh Filipina yang punya tradisi kemandirian bank sentral, sehingga dampak kritisnya tak separah Indonesia. “Di Malaysia, Australia, dan banyak negara lain bank sentral punya otoritas tinggi dalam mengawasi perbankan, serta menjaga stabilitas suku bunga dan mengontrol laju inflasi.

Segala langkah harus dilakukan secara serempak, namun harus sabar karena hasilnya tak bisa seketika.

Lagi pula, kita telah melihat bukti, langkah reaktif tak pernah membawa hasil dalam jangka panjang. Salah-salah justru kebijakan ekonomi berdampak langung pada pergantian kepemimpinan politik.

Soal ini, memang telah dua kali terjadi. Semoga tak berulang kembali.

Baca juga:Kelaparan, Rakyat Venezuela Serang dan Mutilasi Sapi dan Kucing yang Mereka Temukan

Artikel Terkait