Ingin Memacu Adrenalin? Ini Beberapa Olahraga Ekstrem yang Menantang Maut

Mentari DP

Penulis

Banyak cara untuk mengisi hidup dan mengusir kebosanan. Salah satunya dengan olahraga ekstrem. Dan ini pun membuahkan prestasi di Asian Games 2018.

Intisari-Online.com – Banyak cara orang mengisi hidup dan mengusir kebosanan.

Tapi golongan manusia yang satu ini termasuk "ekstremis", sesuai dengan jenis olahraga baru yang mereka tekuni: olahraga ekstrem. Macam apa dan mengapa?

Pernahkah Anda melompat dari tebing gunung ke lembah di bawah dengan parasut di punggung?

Kenikmatan melayang-layang di udara, itu yang Anda cari. Nama olahraga itu paragliding.

Baca juga: Emas Ketujuh! Cabang Paralayang Kembali Sumbang Medali Emas Asian Games 2018

Lalu barangkali, Anda pernah menjadi "peluru" yang ditembakkan dari ketinggian ± 90 m, untuk kemudian terayun-ayun di udara seperti yoyo, sampai akhirnya tergantung persis di atas muka air?

Yang ini disebut bermain "katapel", kebalikan bungee-jumping.

Atau bisa juga, Anda berselancar, bukan di permukaan es, bukan pula di permukaan air, tapi ... di udara, mengikuti arus angin? Ini namanya parasurfing.

Istilah "para" di sini sudah tentu berkaitan dengan parasut yang mesti digunakan si atlet untuk mendarat dengan selamat dalam keadaan utuh.

Jenis hobi berbahaya lain bisa dilakukan penyelam, seperti yang dilakukan John Boyle (43), yaitu memberi makan ikan hiu.

Sebagai pengaman, ia mengenakan pelindung dari rantai besi. Dengan demikian ketika si hiu mencaplok tangan dan sikunya, ia masih bisa menyelamatkan diri.

Pengacara dari Inggris yang mau jauh-jauh pergi ke Kepulauan Bahama untuk bertatap muka dengan hiu ini merasa hobinya itu selingan yang sangat menyegarkan dari kegiatan sehari-hari keluar-masuk ruang sidang.

Baca juga: Anthony Ginting Cedera Saat Bertanding, Ini 6 Cedera yang Paling Sering Menimpa Atlet Bulutangkis

Banyak orang muda di Amerika dan Eropa kini tengah kecanduan olahraga berisiko tinggi semacam itu.

Kata mereka, setelah berhasil menghadang bahaya yang taruhannya maut, mereka merasakan euphoria, perasaan bahagia yang bukan alang kepalang seperti layaknya orang lagi jatuh cinta.

Contoh lain, Sarah Pool (23) yang sehari-hari berprofesi sebagai perawat hewan.

Penduduk Helmsley, Yorkshire Utara, Inggris, ini suka berbagai hal yang membuat adrenalinnya melonjak.

Tebing-tebing terjal di gunung, gua-gua gelap, atau tebing tinggi membuat darahnya "naik".

Padahal pemicunya sederhana saja. la hampir celaka dalam suatu tabrakan berantai.

Gara-gara pengalaman pahit itu, ia tiba pada kesimpulan, "Betapa penuh risikonya hidup sehari-hari.”

Maka bahaya malah disongsongnya. Setelah merasakan ketakutan yang luar biasa, semangat hidupnya maIah semakin terpompa.

Barangkali gairah berkobar-kobar macam ini salah satu yang membuatnya ketagihan untuk terus menantang maut.

Baca juga: Jangan Memaksakan Diri, Ini Tips Agar Olahraga Tak Berakhir Celaka

Semakin ekstrem

Pool termasuk dalam kelompok pengambil risiko ekstrem yang kini tengah menjamur di Inggris.

Sekitar 250.000 orang mengisi waktu luang dengan berbagai kegiatan yang cukup menciutnya nyali, dari bungee-jumping sampai lomba arung jeram.

Olahraga yang dulu sudah dianggap cukup “seram” seperti mendaki gunung, naik perahu kayak, pelbagai olahraga di udara, dan menyelam, kini terus berevolusi ke bentuk-bentuk yang semakin berbahaya.

Skate-board berkembang menjadi olahraga street lunging, yakni meluncur dari bukit yang tinggi sampai berbaring di atas papan slancar dengan kecepatan 120 km/jam.

Bungee-jumping berkembang menjadi “katapel”.

Orang Jerman memperkenalkan scad diving, yakni terjun dari atas derek ke jala tanpa diikat tali.

Baca juga: Jajal Adrenalin dengan Terbang Bak Burung di 3 Tempat Wisata Paralayang Keren Ini

Dari cabang terjun bebas, lahir terjun bebas tandem.

Terjun tandem dianggap lebih aman bagi pendatang baru dibandingkan dengan terjun bebas standar, karena dia tinggal membonceng instrukturnya.

Di Inggris pada tahun 1996 ada 7.000 terjun macam itu dari 250.000 terjun payung.

Orang-orang yang paling terampil dan nekal memilih berselancar udara. Ia naik papan selancar di ketinggian 4.500 m, lalu terjun bebas sebelum membuka parasut.

Sementara di darat, variasi olahraga yang ekstrem mulai digelar. Menggelinding di dalam bola tanpa kendali menuruni lereng gunung dengan kecepatan tinggi atau diombang-ambingkan arus jeram yang disebut zorbing

Rap-jumping adalah kebalikan dari panjang tebing dan lebih mengerikan. Wajah atletnya nyungsep ke bawah saat ia menuruni bangunan tinggi dengan tali.

Jumlah orang Inggris yang ikut olahraga panjat gunung dengan gaya bebas (tanpa bantuan alat-alat), panjang tebing, dan bouldering (melakukan manuver yang rumit dekat dengan tanah), kini menjadi 150.000 orang.

Menurut Jerome Smail, editor Majalah Xtreme, majalah bagi kelompok manusia "berjantung kuat”, fenomena ini cuma reaksi dari orang yang kehidupannya sudah amat nyaman. Terlalu nyaman barangkali.

"Hobi menantang maut ini merupakan jalan keluar dari kehidupan kerja rutin yang membosankan," ujarnya.

Baca juga: Gunakan Parasut Paralayang, Pasukan Khusus Korut Rencanakan Serangan Senyap ke Korsel

Gen penantang maut

Meskipun menghabiskan banyak uang, olahraga risiko tinggi ini menarik minat berbagai status sosial, mulai dari makelar sampai tukang bangunan.

Nick Jones (24), sopir truk dari Romford, Essex, contohnya.

"Saya tak pernah kapok, begitu juga rekan-rekan satu klub saya, yang profesinya karyawan kantor. Kami semua selalu tak sabar menanti datangnya akhir minggu," tuturnya berapi-api.

Hobi Jones ber-bungee-jumping di seluruh dunia, berkano di arus jeram, dan terjun bebas memang mahal.

Tetapi, kantungnya tidak terlalu kedodoran, berkat keanggotaannya di klub tersebut.

Biaya terbesar "paling-paling" sekitar Rp 5,2 juta, ketika ia ke Monaco untuk kursus mengendarai mobil balap Formula 1.

Diakuinya, meski saat pertama kali mencoba ia merasakan ketakutan yang bukan main, setelah mencoba bungee-jumping untuk keempat kalinya, ia sudah kehilangan rasa takut itu, sehingga hilang pula kenikmatannya.

Kini baginya bungee-jumping sudah tak menarik.

Baca juga: Sedang Mudik ke Malang? Yuk, Melihat Kota Batu dengan Paralayang dan Paculah Adrenalin Anda

"Saya harus mencari yang lebih seram, seperti lompatan jungkir-balik atau menyelam," katanya.

Psikolog berpendapat, hasrat mencari pengalaman yang berbahaya sebenarnya normal dan sehat. Dulu gaya hidup nenek moyang kita juga demikian.

Menurut Prof. Barry Gunter dari Universitas Sheffield, "Dulu manusia hampir setiap hari harus berjuang menghadapi bahaya hanya untuk memuaskan rasa lapar dan haus.

Kini kita mencari tantangan untuk memuaskan diri."

Tapi dorongan mencari hiburan dengan menantang maut ini tidak terdapat pada setiap orang.

Buktinya, ilmuwan AS berhasil mengidentifikasi gen khusus yang ada pada orang-orang yang selalu butuh sensasi ekstrem tersebut.

Baca juga: Bertanding di Albania, Tim Nasional Paralayang Indonesia Justru Temui Banyak Mobil Berpelat “Magelang”

Gen itulah yang mengirim instruksi ke bagian otak yang berfungsi untuk merasa nyaman. Mereka yang punya gen macam itu akan melakukan olahraga ekstrem untuk mempertahankan kadar dopamin yang tinggi.

Dopamin tinggi menyebabkan rasa senang.

Menurut Gunter, salah satu pertanda bahwa kita butuh stimulasi dan ketegangan yang tinggi, “Jika kita senang berlibur ke lokasi-lokasi yang sulit, mencoba makanan yang aneh-aneh, menikmati musik heavy rock, atau film horor.”

Namun toleransi akan risiko makin turun dengan bertambahnya usia. Hal itu bisa dilihat dari catatan, bahwa kecelakaan mobil paling sering dialami oleh pria berusia 18 – 25 tahun.

Meski begitu, menurut Prof. Tim Wheeler dari Southampton Institute, perkembangan teknologi memungkinkan para olahragawan menghadang bahaya yang makin besar.

Jadi tambah semangat

Wheeler pun percaya, banyak orang yang berhobi berbahaya sebenarnya cuma mencari selingan dari hidup yang membosankan.

Soalnya, mereka mengalami perasaan senang, bahagia, yang berkobar-kobar selama berhari-hari setelah pengalaman mereka bisa diatasi.

Akibatnya rasa ketakutan terlupakan, malah tidak sabar untuk mengulanginya! Efek semacam itu bahkan dapat mengubah kehidupan seseorang.

(Stuart Wavell/Als – Intisari September 1997)

Baca juga: Manfaat Olahraga Untuk Anak Juara, Belajar dari Lalu Muhammad Zohri

Artikel Terkait