Peringatan 17 Agustus di Kapal Asing dengan Makanan Khas Indonesia yang Jarang Dimakan di Kapal

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pengalaman para awak kapal merayakan peringatan 17 Agustus di atas kapal asing yang bisa memakan makanan khas Indonesia yang jarang mereka makan.

Intisari-Online.com – Untuk memberi kesempatan kepada para awak kapal guna merayakan hari besar itu, selama setengah jam semua kegiatan dan pelayaran di kapal mewah Volendam dihentikan.

Mari kita simak bagaimana Upacara 17 Agustus di Kapal Asing yang ditulis oleh S. Sudarto seperti yang tertuang dalam Majalah Intisari edisi Agustus 1987.

Bulu kuduk saya merinding tatkala melihat para perwira Belanda yang berseragam putih, berjajar rapi dan memberi hormat pada bendera Merah Putih yang dikerek naik ke atas.

Betapa tidak, saya teringat waktu saya masih muda di zaman sebelum perang, mana mungkin orang-orang Belanda sudi memberi hormat pada sang Merah Putih seperti yang mereka lakukan sekarang ini.

Baca juga: Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Tanggal 17 Agustus, pagi-pagi benar kapal pesiar mewah Volendam milik Holland America Line yang penuh dengan wisatawan sudah sampai di P. Bermuda. Jumlah ABK (anak buah kapal) sebanyak 350 orang, pimpinannya dipegang oleh 20 orang Belanda termasuk sang nakhoda.

Di kapal itu juga ada kira-kira seratus orang berkebangsaan campuran, ada Filipina, Inggris, Amerika, Jerman. Mereka bekerja di kapal itu sebagai koki, pegawai toko, rombongan musik, cruise director dan entertainment, dokter serta juru rawat dll.

Lebih dari separuh seluruh ABK adalah berkebangsaan Indonesia, termasuk saya. Memang bangsa kita di kepal itu tergolong mayoritas, tapi posisi dalam pekerjaan ada di paling bawah: kelasi, houseman, bell boy, deck boy dan steward, yaitu para pelayan kabin dan kamar makan.

Kira-kira hanya sepuluh orang dari bangsa Indonesia yang bisa mendapat promosi menjadi mandor, clerk, supervisor, beadsteward dan seorang bootsman. Kedudukan mereka di kapal semacam mandor atau istilah lain 'bintara', bahasa kapal mengatakan petty officer.

Baca juga: Cerita-cerita Unik di Balik Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945

Seorang bootsman ini di luar jabatan resminya merangkap sebagai kepala unit KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia). Semua ABK Indonesia yang bekerja secara legal di kapal asing mau tidak mau harus masuk organisasi menjadi anggota KPI yang telah direstui pemerintah Indonesia.

Sebelum berangkat berlayar, mereka sudah ditatar dan sudah harus membayar uang iuran setahun penuh. Di bawah naungan KPI memang besar faedahnya.

Segala persoalan yang ruwet di kapal tentang hukum-hukum internasional dan politik ditangani secara hati-hati. Majikan asing dan para perwira kapal tidak mau menyinggung soal politik, salah-salah bisa menyerempet bahaya.

Karena itu mereka sangat hati-hati, tidak sembarangan memerintah dan menindas buruh-buruh bawahannya. Namun, mengenai tugas dan disiplin kerja mereka bertindak keras dan tegas.

Baca juga: Lewat Teknologi Ini, Anda Bisa Hadir Langsung di Upacara 17 Agustus di Istana Negara

Terlambat masuk jam kerja berulang-ulang atau malas, pasti dipecat dan dipulangkan, tidak pandang bulu, biar orang asing atau bangsa Belanda sendiri juga dikenakan tindakan yang sama.

Pesta makan di tengah laut

Bangsa Indonesia yang bekerja di kapal banyak disenangi para turis, karena ramah dan murah senyum, pintar meladeni apa maunya, sehingga banyak uang tips masuk ke kantung mereka.

Perusahaan kapal pun senang menggunakan tenaga kerja Indonesia, karena upahnya rendah. Kalau tenaga kasar di kapal itu semuanya diganti dengan orang Belanda misalnya, tentu mereka menuntut standar gaji yang berlaku di negaranya, gaji pokok + 1.000 dolar sebulan, sedangkan tenaga kerja Indonesia cukup dengan 200 dolar.

Baca juga: Tepat 17 Agustus, Relawan Mer-C Muhammad Husein Menikahi Gadis Gaza

Buat kita gaji pokok sebesar itu lumayan, lagi pula dapat mengurangi pengangguran di tanah air.

Hari Rabu, 17 Agustus 1983, pukul 07.00, kapal Volendam sudah merapat di Pelabuhan St. George di Pulau Bermuda. Pukul 09.30 kami akan memperingati Hari proklamasi.

Sebulan sebelumnya kami telah berkumpul dan membentuk panitia 17 Agustus. Mereka yang ditunjuk lalu diberi tugas masing-masing dan menyanggupinya. Kemudian dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok yang satu mengatur pesta dan hiburan di malam hari dan kelompok yang lain mengatur program upacara pada waktu detik-detik proklamasi.

Baca juga: Terbit 17 Agustus 2014, Inilah Penampakan Uang NKRI Pecahan Rp100 Ribu

Pesta di malam hari sangat meriah. Anak-anak Indonesia yang bisa masak-memasak bersedia membantu dan akan membaur dengan koki resmi di kapal khusus untuk mengolah masakan ala Indonesia yang jarang bisa diperoleh di kapal.

Jatah makanan harian di kapal membosankan, meskipun bahan-bahannya sangat mewah dan bermutu. Di kapal tidak ada ikan asin, sambal terasi, tahu dan tempe serta gado-gado.

Karena itu sekali-sekali dalam pesta peringatan hari kemerdekaan kami harus bisa menikmati makanan khas seperti di rumah, kami sangat ketagihan dan ... suara bulat setuju.

Tiga hari sebelumnya, ketika kapal masih di New York, dua orang diberi tugas untuk belanja bahan-bahan mentah di Chinatown. Tidak dikira, di toko-toko Cina itu banyak bahan makanan yang bisa cocok dengan selera dan lidah Indonesia.

Baca juga: Tak Banyak yang Tahu, Inilah Alasan Sebenarnya Laksamana Maeda Mengizinkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi

Di sana ada dijual tahu mentah, telur asin, ketela, buah mangga dari Haiti, daging bakso dalam kemasan, sambal tabasco, sambal pecal kemasan dan sambal botolan buatan Hong Kong, rempah-rempah dan buah kelapa.

Pokoknya, mau bikin sayur lodeh, bisa; mau bikin opor, bisa; mau bikin sate ayam, bisa; mau bikin kolak pisang, bisa; mau bikin singkong goreng, bisa. Pesta makan pada hari kemerdekaan di negara asing dan di tengah laut itu benar-benar seperti makan di kampung, nikmat, hingga spontan ingat anak-istri yang jauh di rumah.

Para perwira kapal, termasuk si nakhoda, menyadari adanya keharusan betapa pentingnya merayakan hari besar masing-masing negara. Mereka tidak bisa melarang, karena ini menyangkut politik.

Mereka tidak bisa mengalangi kehendak kami untuk merayakan hari nasional. Malahan dalam kenyataannya mereka justru menaruh simpati dan bersedia membantu.

Baca juga: Aidit ketika Diwawancarai Intisari pada Maret 1964: ‘Puncak Perjuangan Politik Saya adalah Proklamasi Kemerdekaan, Entah Nanti...’

Buktinya, para koki dan alat musik untuk hiburan dipinjamkan kepada kami untuk suksesnya perayaan 17 Agustus itu, bahkan bahan-bahan baku mentah seperti beras, kentang, daging dan ayam yang mestinya jatah untuk para turis, dikurangi untuk disumbangkan kepada kami secara cuma-cuma.

Acara detik-detik proklamasi

Lokasi yang digunakan untuk memperingati hari proklamasi ini adalah geladak kapal tingkat tengah, yaitu dalam ruangan terbuka di atas jembatan yang lantainya telah dilapisi dengan karpet model rumput-rumputan hijau.

Tiang bendera tidak ada, jadi terpaksa dipasang tali menjulur ke bawah dari jalur kawat yang melintang terpasang di atas. Pengeras suara dan sarana-sarana lain untuk keperluan upacara telah dipersiapkan sejak dini.

Baca juga: Mangil, Kepala Polisi Pengawal Bung Karno yang Ternyata Tak Tahu Jika Proklamasi akan Dibacakan

Pukul 09.30 seluruh ABK Indonesia telah berkumpul memadati sekeliling ruangan terbuka dengan seragam pakaiannya masing-masing.

Sepuluh menit kemudian telah datang utusan panitia yang menyongsong nakhoda bersama staf para perwira yang diundang, antara lain para mualim, kepala kamar mesin, dokter, manajer hotel bersama kepala-kepala bagian hotel.

Mereka mengambil posisi berdiri berjajar berhadapan dengan seluruh bangsa Indonesia di kapal yang siap merayakan hari besar kemerdekaan RI. Lima menit kemudian muncul bootsman kita yang merangkap jadi kepala unit KPI selaku inspektur upacara.

la diiringi dua orang 'ajudan' secara protokoler. Aba-aba siap dan beri hormat kepada inspektur upacara diserukan dan di saat itu saya terpesona melihat para perwira kapal dan nakhoda turut memberi hormat kepada bootsman.

Baca juga: Mulai dari Bendera dari Kain Seprei Hingga Bung Karno yang Tak Puasa, Inilah 5 Cerita Unik Sekitar Proklamasi

Terang wajah si bootsman tersipu-sipu menerima salut lebih dulu dari para perwira yang mestinya adalah atasannya itu. Ia seperti tersudut dalam dilema, namun ia jenaka dan gagah melaksanakan tugas mewakili Negara kita yang sedang memperingati 17 Agustus.

Acara meningkat pada penaikan sang Merah Putih yang dikerek pelan-pelan ke atas diiringi gendering dan lagu Indonesia Raya, yang dinyanyikan dengan gegap gempita oleh segenap ABK bangsa Indonesia.

Di saat itulah bulu kuduk saya berdiri, ketika ikut menyanyi sambil melirik tingkah para perwira Belanda yang tegap sambil memberi hormat dan menatap sang saka Merah Putih terus-menerus sampai berakhir di puncak tali bendera.

Setelah pembacaan teks proklamasi, penata acara meminta agar inspektur upacara beserta 'ajudan' mendatangi barisan perwira dan nakhoda untuk mengucapkan rasa terima kasih atas kesempatan bisa merayakan dengan baik hari kemerdekaan RI di kapalnya.

Baca juga: SK. Trimurti, Saksi Mata Proklamasi yang Pernah Menolak Menjadi Menteri dan Pernah Menyusui dari Balik Bui

Saat-saat saling bersalaman antara nakhoda dan wakil Indonesia yang kalau dalam tugas sehari-hari hanya sebagai bawahannya yang kecil itu, sekonyong-konyong terdengar tepuk tangan gemuruh yang datang dari atas, di sun-deck, yaitu geladak terbuka paling atas kapal.

Tidak disangka, ternyata banyak orang berdesak-desakan melongok dari atas.

Mereka adalah para penumpang turis asing yang tidak turun ke darat, mereka sengaja mengintip ingin menyaksikan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia, karena sehari sebelumnya lewat siaran daily program yang terbit tiap hari dari percetakan di kapal, telah diumumkan kalau selama setengah jam, mulai pukul 09.30 - 10.00, tanggal 17 Agustus, semua kegiatan dan pelayanan di kapal dihentikan, karena seluruh crew Indonesia akan merayakan peringatan hari kemerdekaan.

Baca juga: Meski Ada Tiang Besi, Suhud Mengibarkan Bendera Proklamasi Pertama Di Tiang Bambu. Ini Alasannya!

Artikel Terkait