Advertorial
Intisari-Online.com -Sebagai perempuan pejuang, SK Trimurti "beruntung" berumur panjang dan menjadi saksi mata sejarah bangsa ini: mulai proklamasi hingga reformasi. la wafat di usia 96 tahun, juga bisa disebut "beruntung" sebab tepat saat bangsa kita memperingati seabad Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008.
Namun sebagai pejuang, perempuan bernama panjang Surastri Karma Trimurti ini tidak selamanya beruntung.
la beberapa kali masuk penjara pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Bahkan ia terpaksa membawa bayinya yang masih menyusui ikut "masuk penjara".
Di masa lampau, karier para pemimpin bangsa memang kerap melompat "dari penjara ke kabinet (beda dengan kini yangtrend-nya justru melompat "dari kabinet ke penjara).
Hal lain yang istimewa pada diri Trimurti adalah kedudukannya sebagai satu dari sedikit orang yang hadir langsung saat Presiden Soekarno membacakan naskah Proklamasi, 17 Agustus 1945.
Saat Merah Putih hendak dikibarkan, sempat diusulkan agar pengibaran itu dilakukan oleh Trimurti.
Namun Trimurti dengan rendah hati menyerahkan tugas itu kepada anggota Pembela Tanah Air (PETA) yang memang sudah terbiasa mengibarkan bendera.
Trimurti juga menonjol sebagai insan pers. Soekarno ikut andil dalam mendorong Trimurti ke dunia tulis-menulis.
Putri Wedana itu awalnya ditantang menulis di surat kabar Fikiran Ra'jat yang dipimpin Soekarno.
"Kau bisa!" kata Bung Karno, ketika Trimurti mengelak dengan alasan belum punya pengalaman menulis di koran.
(Baca juga: Mengapa Tak Ada Satu Pun Koran yang Memuat Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI?)
Tak dinyana, dari sinilah justru kariernya sebagai penulis terus melaju.
Trimurti lahir di Boyolali, Surakarta, pada 11 Mei 1912, berayahkan seorang Wedana.
Setamat Sekolah Ongko Loro, Trimurti melanjutkan ke Sekolah Guru, Ia lulus dengan nilai terbaik dan diangkat sebagai guru, antara lain di Banyumas.
Di sinilah ia mulai berorganisasi dengan menjadi anggota Rukun Wanita dan mengikuti rapat-rapat Budi Utomo.
Pada Februari dan Maret 1933, Partindo yang dipimpin Soekarno aktif melakukan rapat umum di Jawa Tengah.
Trimurti bersama temannya, Suprapti yang juga guru, mesti berangkat naik dokar dari Banyumas ke Purwokerto untuk mendengarkan pidato Bung Karno.
Aksi Trimurti dan kawan-kawan rupanya membuat geram penjajah.
(Baca juga: Meski Ada Tiang Besi, Suhud Mengibarkan Bendera Proklamasi Pertama Di Tiang Bambu. Ini Alasannya!)
Sayuti Melik teman seperjuangan yang kelak jadi teman hidup
Sejak Juli 1933, Pemerintah Hindia Belanda melarang pegawai pemerintah menjadi anggota Partindo dan PNI-Baru (Pendidikan).
Apa boleh buat, demi perjuangan, Trimurti muda memilih berhenti menjadi guru, lalu ia mengikuti kursus kader Partindo di Bandung.
Sejak itu, namanya mulai masuk daftar pengawasan PID (polisi rahasia kolonial).
Ketika Soekarno ditangkap Belanda pada 1 Agustus, Fikiran Ra'jat berhenti terbit.
Bersama Sanusi Pane, Trimurti kemudian mengajar di Perguruan Rakjat di Pasirkaliki, Bandung.
Namun di sini pun ia terkena larangan mengajar. Pemerintah Kolonial Belanda menuduhnya sebagai penghasut para murid.
Trimurti yang gerah terus di rumah, lalu menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Bedug, kemudian berganti nama menjadi Terompet.
Merasa tak bebas bergerak jika terus tinggal di rumah orangtua, Trimurti pindah ke Yogya.
Bersama temannya, Sri Panggihan, ia mendirikan majalah Suara Marhaeni.
Saat itu ia mulai menambahkan nama Trimurti di belakang namanya sehingga menjadi S.K Trimurti.
Tahun 1936, karena membuat pamflet antipenjajahan, Trimurti dipenjara 9 bulan di Penjara Bulu, Semarang.
Di dalam bui ia merasa sebal, menyaksikan perbedaan perlakuan antara bumiputera dengan orang Eropa.
Pada 1937 Trimurti berkenalan dengan seorang pejuang eks Digul, Sayuti Melik yang kelak menjadi suaminya dan menikah menikah di Solo pada 19 Juli 1938.
Belakangan, Sayuti Melik diingat orang sebagai pengetik naskah Proklamasi.
Sebelum Jepang mendarat di P. Jawa, Trimurti bekerja di surat kabar Sinar Selatan yang dipimpin seorang warga Jepang.
Masalah muncul ketika Trimurti memuat artikel kiriman seseorang yang dianggap meresahkan, bertajuk "Pertikaian Tentara Jepang dan Tiongkok".
Menyusui bayi dari balik penjara
Pada 11 April 1939 lahir putra pertama mereka.
Saat putranya hampir berumur 5 bulan, barulah datang surat keputusan pengadilan untuk mengeksekusi Trimurti.
Tak ada pilihan, ia terpaksa membawa bayinya ikut "masuk penjara". Belakangan diketahui, penulis artikel itu adalah Sayuti Melik.
Bulan Juni 1942 putra kedua lahir. Pada masa pendudukan Jepang ini, Sayuti sempat ditangkap karena menerbitkan majalah Sinar Baru.
Setelah itu Trimurti menyusul masuk bui, keduanya sempat merasakan siksaan tentara Jepang. Baru setelah Jepang kalah, Trimurti dan suaminya bebas.
Pascakemerdekaan, Trimurti ditugasi oleh Komite Nasional Indonesia untuk menggelorakan semangat rakyat di Semarang.
Trimurti menjadi Menteri Perburuhan di Kabinet Amir Sjarifuddin, setelah sebelumnya memimpin Partai Buruh.
Trimurti dikenal kritis dan berwawasan jauh ke depan. Ir. Setiadi.
Tulisan-tulisan Trimurti pun selalu berpihak kepada perempuan dan rakyat miskin.
Ia memutuskan kuliah lagi di Fakultas Ekonomi Ul, meski ketika itu usianya sudah merambah 41.
Tahun 1959 Soekarno hendak menunjuk Trimurti menjadi Menteri Sosial.
Namun di luar dugaan, Trimurti menolak dengan alasan ingin berkonsentrasi menyelesaikan kuliah.
Sebuah penolakan yang jarang terjadi, apalagi jika kita melihat dewasa ini para politisi justru ramai memperebutkan kursi menteri.
Pada awal masa Orde Baru, Trimurti menjadi pengurus Dewan Harian Angkatan '45 dan mendirikan majalah kebatinan Mawas Diri.
Di masa Orde Baru pula, persisnya pada 1980, S.K Trimurti ikut menanda tangani "Petisi 50".
Sejak itu, geraknya jadi sangat dibatasi. Sementara itu, di era reformasi, ia aktif menghadiri berbagai kegiatan.
Begitulah Surastri alias S.K Trimurti. Sepanjang hidupnya, ia bak tak pernah mengenal kata menyerah.
Demi perjuangan, ia rela kehilangan status sebagai pegawai pemerintahan kolonial.
la pun tidak takut keluar masuk penjara.
Lalu menerima tawaran menjadi Menteri Perburuhan, walaupun dengan gaji lebih rendah daripada penghasilannya sebagai penulis pada beberapa surat kabar.
Sedangkan di episode yang lain, ia malah menolak jabatan Menteri yang ditawarkan Presiden Sukarno karena lebih memilih memilih berkonsentrasi menyelesaikan studi.
Idealismenya tak pernah mati. "Terdapat pemimpinpemimpin yang baik, pentimpin- pemimpin yang kurang baik, dan pemimpin-pemimpin yang tidak baik, yang bukan menguntungkan rakyat, akan tetapi malah merugikan rakyat.'
(Asvi Warman Adam / Sejarawan LIPI)