Penulis
Intisari-Online.com – Kisah ini diambil dari Buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Bagian I, yang ditulis sendiri oleh Fatmawati, PT Jayakarta Agung Offset, 1978.
Seorang pamanku dating ke rumahku dua atau tiga minggu setelah adanya pameran sekolah. Paman mengajakku untuk bermalam di rumahnya yang terletak di Pasar Ikan Malborough.
Paman ini sangat dekat denganku, seperti aku ini anaknya saja. Sebab semenjak kecil aku sudah biasa bergaul dan ditimangnya. Berangkatlah kami bersama-sama ke Pasar Marlborough.
Setelah beberapa hari di rumah paman, pada suatu kesempatan aku diajak bertandang ke rumah salah seorang keluarga. Aku dan tanteku disambut dengan ramah oleh seorang ibu yang ternyata adalah orangtua dari pemuda yang tempo hari kulihat waktu ada pameran.
Baca juga: Saat Bung Karno Batal Dibunuh Dengan Cara Keji: Dilempar dari Pesawat
Setelah cukup lama kami bertamu, kami minta diri. Keesokan harinya kami pulang ke rumah kami di Pasar Minggu. Akhirnya aku tahu bahwa misi tanteku ialah menyampaikan keinginan orangtua pemuda yang kulihat di pameran tempo hari hendak mengambilku sebagai menantu. Jadi waktu itu aku diajak sebetulnya karena snag ibu ingin melihat wajahku dan sopan santunku.
Hal ini aku ketahui dari ibu yang mendapat keterangan dari paman. Ayah dan ibuku menyarankan kepadaku untuk minta nasihat dari Bung Karno bagaimana baiknya menghadapi lamaran yang akan tiba itu.
Di samping itu tentunya beliau tahu sifat pemuda itu karena beliau kenal baik dengan orangtuanya. Atas saran ini aku terima dengan senang hati, karena lebih baik teliti daripada ceroboh dalam menerima lamaran maupun calon suami. Pemuda itu ternyata telah menaruh hati padaku sehingga waktu pameran sangat sopan sekali.
Kebetulan sebelum aku berangkat ke rumah Bung Karno beliau sudah datang ke rumah untuk menyerahkan foto-foto pernikahan anggota family kami yang berlangsung beberapa waktu yang lalu.
Baca juga: Bukan Dikawal Pasukan Khusus, Bung Karno Malah Dikawal Anggota Yakuza Ketika di Jepang
Bung Karno datang jam 10.00 pagi. Kebetulan aku sendiri yang menyambut kedatangan beliau.
Satu demi satu foto yang dibawa Bung Karno kuperhatikan. Setelah aku puas melihat foto, aku mencari waktu yang baik untuk minta pendapat Bung Karno dalam masalah peminangan atas diriku.
“Pak, Fat ingin minta pendapat Bapak serta pandangan Bapak tentang seoran gpemuda yang ingin meminangku. Bagaimanakah sifat dan tingkah laku pemuda itu sehari-hari? Apakah sekiranya tidak ada hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan sesuatu yang tidak baik nantinya? Kami ketahui Bapak hubungannya dekat dengan keluarga pemuda itu,” kataku.
Mendengar pernyataanku yang demikian itu Bung Karno diam saja. Karena beliau diam aku menjadi bingung. Kenapa diam saja? Apakah sakit? Atau ada sesuatu persoalan yang sedang dipikirkannya? Pikirku. Aku jadi serba kikuk. Mau mengulangi pertanyaan segan.
Baca juga: Kisah Cinta Fatmawati dengan Bung Karno dalam Buku Harian yang Ditulisnya Sendiri
Bung Karno diam saja, kemudian menundukkan mukanya di atas meja beberapa menit. Melihat hal ini akhirnya aku beranikan diri bertanya pada Bapak.
“Pak, apakah Bapak sakit kepala? Atau kurang enak badan?”
Bapak mengangkat kepalanya. Matanya ternyata berkaca-kaca, akhirnya berliau berkata, “Fat, sekarang terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Dengarlah baik-baik.”
Tanpa menunggu jawabanku Bapak melanjutkan pernyataan, “Begini Fat, sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu pertama kali aku bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali. Saat itu kau terlalu muda untuk menerima pernyataan cintaku. Oleh sebab itu aku tidak mau mengutarakannya.
Baca juga: Terkenal Gagah Berani, Bung Karno Ternyata Tidak Tegaan Melihat Binatang Tersiksa atau Diburu
Nah, baru sekarang inilah aku menyatakan cinta padamu, Fat.” Bapak diam sejenak dan terus memandangku dengan penuh perasaan, bertanya, “Apakah kau cinta padaku?”
“Bagaimana Fat cinta pada Bapak, bukankah Bapak mempunyai anak dan isteri?” jawabku sambil dirundung keheranan dan emosi.
“Aku tak mempunyai anak. Aku sudah 18 tahun kawin dengan Inggit, dan aku tak dikaruniai seorang anak pun jua. Isteriku pertama bernama Sundari, puteri dari Bapak Tjokroaminoto. Dalam keadaan suci Sundari kukembalikan pada orangtuanya, sedangkan Ratna Juami adalah anak saudara perempuan Inggit, dia sejak kecil kita ambil Fat, jadi tegasnya ia anak angkat kami,” demikian Bung Karno berkata.
Hal-hal dan keterangan ini belum pernah kuketahui dan belum pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
Baca juga: Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka
Bung Karno mendesak, “Fat, kau cinta padaku?”
Aku berpikir Bapak mempunyai isteri, aku jadi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Aku hanya mampu berkata, “Fat kasihan sama Bapak,” dengan singkat.
“Aku tak mau Fat kasihan padaku, tetapi kau harus katakana bahwa kau cinta padaku. Ketahuilah Fat aku bingung menjawab pertanyaan ibuku di Blitar, berulang kali beliau menyurati kapan ia diberi cucu lelaki.”
Dikatakannyalah bahwa mbakyunya sudah mempunyai 4 orang putera. “Aku dalam pembuangan. Hanya kaulah seorang jadi penghiburku. Jika aku berada di Jakarta dapat aku berunding dengan Moh. Husni Thamrin atau Mr. Sartono dan lain-lainnya. Siapa yang akan memiliki buku-buku yang kau lihat di kamarku itu?
Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores
Aku ingin satu anak laki-laki, satu saja, kalaupun lebih, syukur alhamdulilah. Aku seorang pemimpin rakyat yang ingin memerdekakan bangsanya dari Belanda, tapi rasanya aku tak sanggup meneruskan jika kau tak menunggu dan mendampingi aku.
Kamu cahaya hidupku untuk meneruskan perjuangan yang maha hebat dan dahsyat….” Rayuan maut.
Di Bengkulu ada beberapa cendekiawan Indonesia, yang menjadi pejabat karesidenan, tapi rapat bergaul dengan kalanganku dan keluarga Bung Karno, antara lain Dr. Warorountu seorang dokter hewan, dan seorang dokter lain, yaitu Dr. Jamil.
Setelah aku menceritakan pernyataan cinta Bung Karno, aku tak dapat mengetahui tanggapan orangtuaku. Aku sendiri terlibat pikiran dan perasaan yang tak menentu.
Setelah dipikirkan matang-matang oleh ayah, ayah mengambil keputusan akan minta nasehat dari orang tua-tua. Tapi tekadku sendiri bulat. Andakata pun pinangan akan diterima, aku baru akan dapat menyetujui apabila Bung Karno bercerai baik-baik dengan ibu Inggit.
Aku tidak dapat menerima poligami. Aku tak akan mau dimadu.
Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno