Prajuritnya Dihukum Mati karena Tak Mau Turuti Perintahnya, Bung Karno Merasa Bersalah Seumur Hidup

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com -Di era pendudukan Jepang (1942-1945) yang berlangsung di Indonesia, untuk menghadapi serbuan pasukan Sekutu, Jepang membentuk pasukan lokal yang dinamai Pembela Tanah Air (PETA).

Sebagai pasukan yang direkrut dari para pemuda yang sudah lolos seleksi baik fisik maupun mental, para personel PETA kemudian dididik militer standar pasukan Jepang.

Para pemuda hasil didikan PETA yang di kemudian hari menjadi tokoh yang berperan dalam mengembangkan kekuatan militer Indonesia (TNI) antara lain Jenderal TNI Soeharto, Presiden kedua RI dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Kemampuan yang diperoleh dari pendidikan militer ala PETA, saat itu secara tidak langsung memang berhasil membuat para pemuda Indonesia memiliki ketrampilan bertempur.

Baca juga:Tiru Taktik Bertempur Gerilya Pejuang Indonesia di Perang Kemerdekaan, Viet Cong Sukses Bikin Babak Belur Pasukan AS

Para anggota PETA bahkan memiliki rasa nasionalisme dan semangat untuk memerdekakan bangsanya sehingga sesungguhnya para anggota PETA merupakan pasukan yang secara diam-diam anti kepada Jepang.

Soekarno (Bung Karno) sendiri yang saat itu dipercaya Jepang sebagai pemimpin yang bisa mewakili orang-orang Indonesia merasa senang atas terbentuknya PETA.

Bung Karno bahkan memiliki rencana besar jika Indonesia sudah merdeka.

Pasalnya para anggota PETA yang sudah terlatih itu sangat diperlukan ketrampilannya untuk mengawal proses kemerdekaan yang butuh waktu panjang.

Baca juga:Ternyata, Strategi Perang Gerilya Vietnam Saat Melawan Amerika Meniru Jenderal Seodirman

Indonesia yang sudah merdeka juga memerlukan banyak orang yang bisa memimpin dan kader kepemimpinan itu bisa diadapatkan dari para anggota PETA.

Tapi meski sampai membentuk PETA yang setiap personel pasukannya makin memiliki rasa nasionalisme untuk merdeka, Jepang tetap memperlakukan rakyat Indonesia sebagai bangsa jajahan yang terus menerus diperas sumber daya alam dan tenaganya.

Salah satu yang membuat pasukan PETA harus bertindak untuk melawan Jepang adalah banyaknya orang-orang Indonesia yang 'hilang' karena direkrut sebagai tenaga kerja paksa romusha dan perampasan hasil bumi sehingga makin menimbulkan kesengsaraan rakyat.

Perlakuan pasukan Jepang terhadap rakyat Indonesia itu akhirnya memunculkan kemarahan pada pasukan PETA dan mereka pun merencanakan pemberontakkan.

Baca juga:Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka

Bung Karno sebenarnya mengetahui rencananya pemberontak para prajurit PETA karena sewaktu berkunjung ke Blitar, ia sempat ditemui para pemimpin PETA, salah satunya adalah Supriyadi.

Bung Karno berusaha keras mencegah aksi pemberontakkan itu karena waktunya dianggap belum tepat dan pemberontakkan pasti bisa ditumpas militer Jepang.

Pasalnya saat itu militer Jepang masih kuat dan jika sampai pemberontakkan gagal, para pemimpin PETA bisa dikenai sangsi hukum militer berupa hukuman mati.

Selain itu, meski Bung Karno dipercaya Jepang sebagai tokoh yang bisa memimpin rakyat Indonesia, jika para pemimpin PETA ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, ia tidak bisa melakukan pembelaan.

Karena dalam kasus yang begitu sensitif itu, Bung Karno malah akan dianggap sebagai pendukung pasukan pemberontak.

Jika Bung Karno sampai diketahui mendukung aksi pemberontakan PETA, ia juga bisa dijatuhi hukuman mati sehingga cita-citanya untuk memerdekakan bangsa Indonesia akan menjadi kandas.

Pemberontakan para prajurit PETA memang meletus pada Februari 1945 dan yang paling terkenal adalah pemberontakan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi.

Tapi aksi yang oleh Bung Karno dianggap sebagai reaksi yang terlalu emosional dan kurang terencana itu segera bisa ditumpas militer Jepang dengan cara yang kejam.

Banyak para pemimpin PETA yang dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya, bahkan Supriayadi hingga saat ini tidak diketahui rimbanya.

Bung Karno sendiri sangat menyesali atas aksi pemberontakan PETA karena tidak berhasil mencegahnya. Bungkan Karno juga merasa bersalah karena tidak bisa melakukan pembelaan.

Perasaan bersalah itu bahkan terus menghantui Bung Karno seumur hidupnya seperti tertulis dalam buku otobiografinya,Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, Media Pressindo, 2014.

Baca juga:Hasni Disembunyikan di Balik Batu Selama 15 Tahun oleh Dukun, Kok Tidak Ada Warga yang Tahu?

Artikel Terkait