Find Us On Social Media :

Iring-iringan Kereta Hayam Wuruk ke Segenap Pelosok Jawa Timur Ternyata Menggunakan Nama Tumbuhan Khas Indonesia

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 3 Agustus 2018 | 18:00 WIB

Intisari-Online.com - Bagaimana iring-iringan Kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada kembali ke Ibukota, dituliskan A.S. Wibowo dalam Majalah Intisari edisi Mei 1967, dengan judul asli Negara Kertagama: Menyaksikan Iring-iringan Kereta Hayam Wuruk.

--

Musim hujan tahun 1359 telah berlalu. Jalan raja yang selama ini berlumpur telah mengeras dan sungai-sungai mulai surut sehingga mudah diseberangi. Saat yang paling baik untuk mengadakan perjalanan atau tamasya.

Di suatu tempat bernama Kapulungan, sebuah daerah yang dianggap merupakan titik pusat dari emperium Majapahit, nampak kesibukan-kesibukan luar biasa. Dari segala arah kereta-kereta  dan pedati-pedati berdatangan.

Baca juga: Rasa Buah Maja Ternyata Tidak Sepahit Akhir Kisah Majapahit yang Porak-poranda

Sapi-sapi jantan penarik pedati-pedati menguak sahut-menyahut, diseling dentang-dentang  roda-rodanya beradu dengan batu-batu jalanan.

Derap kaki-kaki kuda yang mendambakan irama tertentu, bunyi pecut sais yang kadang-kadang menggeletar di udara, teriakan pawang-pawang gajah ditingkah oleh ringkik kuda sambung-menyambung, semuanya menambah hiruk-pikuknya suasana.

Hijau pohon-pohon yang bergoyang ditiup angin, berbaur dengan warna-warni panji-panji dan umbul-umbul serta aneka macam warna pakaian para penunggang kuda, para sais, para penumpang kereta-kereta terbuka dan warna kereta-kereta itu sendiri.

Keadaan serupa itu semua dllukiskan oleh Prapanca dalam kitabnya Nagarakertagama yang digubah dalam tahun 1365, ketika ia mengisahkan perjalanan raja Hayam Wuruk ke segenap pelosok daerah Jawa Timur.

Baca juga: Begini Asal Muasal Tradisi Mudik, Ternyata Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Susunan iring-iringan

Di tempat start bernama Kapulungan itu sudah barang tentu disediakan sebuah daerah yang luas. Seluruh kendaraan-kendaraan peserta berikut pengiring-pengiring serta pengawal-pengawal yang berjalan kaki, dikumpulkan kelompok demi kelompok, yang semuanya ada 6 kelompok.

Tiap-tiap kelompok mempergunakan tanda-tanda sendiri agar mudah dikenal. Tanda-tanda yang dipergunakan bukanlah tulisan yang indah-indah ataupun lambang-lambang yang rumit, akan tetapi tanda-tanda yang sederhana, mudah dikenal oleh penduduk, namun mengandung arti yang dalam, yaitu: tumbuh-tumbuhan. Suatu ciri khas Indonesia.

Dalam kelompok yang pertama dalam iring-iringan misalnya ialah kelompok Mahapatih Gajah Mada, dengan jumlah kendaraannya sebanjak 400 buah, tanda yang dipakai adalah bunga Pulutan putih.

Kelompok kedua yang mengiring Rajapatri di Pajang, Putri Isywari, yaitu adik perempuan sang raja Hayam Wuruk, mempergunakan tanda Handiwa, yaitu sejenis pohon palem.

Baca juga: Inilah Celengan Majapahit Tertua di Dunia, Bukti Abad 14 Telah Menggunakan Koin

Dalam kelompok Bibi sang raja, yaitu kelompok keempat, digunakan sebagai tanda bunga yang bernama Sadaliakusuma, dengan warna hijau dan kuning-emas.

Kelompok keenam adalah kelompok sang raja Hayam Wuruk sendiri. Kelompok ini dibagi menjadi tiga sub-kelompok, yaitu: sub-kelompok isteri-isteri  dan selir-selir raja beserta segenap dayang-dayang dan inang pengasuhnya, sub-kelompok sang raja sendiri dan sub-kelompok para abdi dalem kerajaan beserta para pengawal raja.

Tanda bagi kelompok ini adalah buah Maja, dengan warna untuk kelompoknya: merah, emas, merah-putih, dan hitam-putih.

Arti tanda dan warna

Tanda dan warna yang dipakai untuk masing-masing kelompok tidaklah sembarangan saja dipilih, sebab tanda dan warna dipandang dari segi simbolisme mengandung arti yang dalam yang berhubungan erat dengan alam semesta sebagai kosmos.

Baca juga: Musik Krumpyung, Musik yang Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit, Namun Kini Miskin Penerus

Karena manusia pun sebagian dari kosmos, maka tanda dan warna itu dapat mempengaruhi kehidupan manusJa.

Bunga Pulutan putih (Urena lobata)  menurut kepercayaan dahulu dianggap sebagai tempat semayamnya Dewa Gana, yaitu dewa diantara para gajah. Disini jelas sekali apa sebabnya kelompok Gajah Mada mempergunakan tanda bunga Pulutan putih.

Handiwa atau sejenis “sugar palm" adalah pohon Aren (Arengapinnata Merr.). Kecuali daun bunganya yang disadap dijadikan minuman keras, dan buahnya yang dimakan sebagai kolang-kaling, daun pohon Aren pun kadnag-kadang dipakai sebagai piring untuk makan.

“Piring” semacam ini disebut adjang. Analogi dengan bunyi “ajang” inilah sebabnya Handiwa dipergunakan untuk tanda bagi kelompok Pajang.

Baca juga: Reog Ponorogo, Sebuah Tarian Pemberontakan yang Ditujukan untuk Majapahit

Sadahakusuma sebagai tanda bagi kelompok Kadiri sebenarnya cukup jelas, sebab nama lain untuk Kadiri adalah Daha (dan juga Panjalu).

Buah Maja sebagai tanda bagi kelompok Hayam Wuruk sudahlah jelas pula. Maja yang dimaksud disini adalah dari jenis yang pahit rasanya (Aegle marmelos), yang mempunyai bentuk benar-benar bundar.

Bentuk maja yang bundar ini melambangkan pusat segala kekuasaan emperium Majapahit. Sebagai pusat segala kekuasaan maka kedudukan sang raja berada di tengah-tengah kosmos; karena itulah ia berhak mempergunakan macam-macam warna: merah, emas, merah-putih dan hitam-putih.

Cara mengatur perjalanan

Baca juga:Meski Tampak Gersang dan Tak Semegah Borobudur, Majapahit Ternyata Punya Tinggalan di Tapanuli dan Begini Penampakannya

Betapa panjangnja iring-iringan karavan Majapahit ini dapat!ah dibayangkan. Pimpinan perjalanan sudah barang tentu ada ditangan Gajah Mada sendiri: jumlah kelompoknya sebanyak 400 buah kendaraan tentunya yang terbesar pula, sedangkan kelompok yang lain hanya disebutkan dengan istilah “banyak” saja.

Andaikata kelompok yang lain itu rata-rata terdiri dari 50 kendaraan, maka kelompok kedua sampai keenam berarti 250 kendaraan. Jumlah seluruh, iring-iringan dengan demikian ada kira-kira 650 buah kendaraan.

Misalkan panjang tiap-tiap kereta, panjang kuda ataupun lembu penariknya, dan jarak antara  satu kendaraan dengan lainnya rata-rata 2,50 meter, maka panjang seluruh karavan ini ada kira" 4,50 kilo meter!

Belum terhitung gajah-gajah kebesaran sang raja beserta para pawangnya, pasukan-pasukan  atau pengiring-pengiring berjalan kaki, dan para pengawal berkuda.

Baca juga: Ada Jejak Kubilai Khan dalam Lahirnya Kerajaan Majapahit di Bumi Nusantara

Inilah sebabnya mengapa start tidak dilakukan di Ibukota Majapahit, untuk menghindari kemungkinan timbulnyja kericuhan-kericuhan ataupun kerusakan-kerusakan di Ibukota. Gajah Mada sebagai pemimpin perjalanan benar-benar seorang organisator yang ulung.

Menentukan rute perjalanan, menentukan tempat-tempat untuk menginap, mengatur makan dan minum bagi para peserta Yang berjumlah seribu lebih berikut hewan-hewan penariknya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.

Sebab bila tidak dipersiapkan lebih dahulu, maka seluruh persediaan makanan yang ada didesa tempaT menginap rombongan pastilah akan habis dimakan oleh anggota rombongan saja.

Karavan bergerak diatur selambat mungkin untuk menghindari banjaknya debu-debu yang mengenai rombongan dibelakang. Axya Mahadhikara, seorang Pendeta kerajaan yang dianggap mengetahui segala gejala-gejala alam, terus mendampingi Gajah Mada untuk menentukan  kapan iring-iringan harus berhenti diluar waktu yang telah ditentukan.

Baca juga: Benarkah Majapahit Pernah Menguasai Seantero Nusantara? Arkeolog: Itu Omong Kosong!

Waktu yang sudah ditentukan untuk berhenti adalah siang hari; jadi kendaraan-kendaraan bergerak menjelang senja, berhenti sebentar waktu sendhyakala . (=magrib), berangkat lagi sepanjang malam hingga keesokan harinya.

Hal itu dilakukan untuk menghindari teriknya matahari di siang hari, karena gerak iring-iringan terpaksa amat lambat.

Ekses-ekses selama perjalanan

Apa yang mungkin dapat terjadi diantara sesama anggota  rombongan selama perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu terutama dalam saat-saat berkemah atau menginap, tidak usah dituturkan lagi.

Baca juga: Benarkah Keberadaan Tulisan Arab pada Nisan Kerajaan Majapahit Bisa Jadi Bukti Gajah Mada Muslim?

Banyak anggota-anggota rombongan yang keluar dari rombongannya, dengan perhitungan bahwa ketinggalan beberapa kilometer jauhnya pun mereka akan sanggup menyusulnya, karena gerak iring-iringan yang amat lambat itu.

Pengawasan yang seksama tentunya tidak mungkin dilaksanakan, mengingat banyaknja jumlah peserta anggota rombongan “ngluyur", masuk ke desa-desa yang ada disekitarnya, menjarah, merampas dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya lagi yang tidak dapat dihindari oleh penduduk desa yang tidak berdaya.

Rupa-rupanya kejadian serupa itu terjadi, berulang-ulang selama perjalanan, sehingga sang raja Hayam Wuruk sendiri terpaksa “turun tangan". Suatu ketika sang raja berpidato dihadapan para peserta rombongan, yang isinya merupakan wejangan dan petunjuk mengenai akhlak yang baik.

Pernah pula sekali kejadian sebagai berikut: Karavan sampai disuatu daerah yang agak jauh dari pedusunan. Hari telah menunjukkan waktu sandhyakala, waktu untuk berhenti istirahat sementara. Akan tetapi senja itu matahari tertutup oleh awan, dan hal itu merupakan pertanda tidak baik untuk malam yang bakal mendatang.

Baca juga: Jangan Salah, Peninggalan Majapahit Tak Hanya di Jawa, di Tapanuli pun Ada

Sang Pendeta Arya Mahadhikara memutuskan agar iring-iringan berkemah dan menginap ditempat itu juga. Timbullah masalah yang rumit.

Persediaan  makanan dan minuman jelas tidak memcukupi, letak rumah-rumah penduduk terlalu jauh disekitarnya, dan tempatnya pun kurang cocok untuk bermalam, begitupula anggota-anggota rombongan yang biasa binal menjarah ke desa-desa telah  habis “dikuliahi" sang raja sebelumnya.

Namun putusan sang Pendeta adalah mutlak! Keadaan segera diatur seperlunya; kelompok demi kelompok dicarikan tempat yang sesuai. Ada yang tetap tidur dikereta, ada yang menggeletak dibawah pedati dan ada pula yang berbaring diudara terbuka.

Ketika malam mulai mendatang, terdengar kentongan dipalu sahut-menyahut di kejauhan dengan irama yang tertentu dan sama. Suatu ciri khas kepribadian Indonesia pula: salah seorang penduduk rupanya ada yang melihat peristiwa itu dari kejauhan.

Baca juga: Cing Cing Goling, Upacara Adat Gunung Kidul yang Terinspirasi dari Kisah Pelarian Prajurit Majapahit

Segera ia memiberitahukan orang-orang didesanya dengan perantaraan kentongan, Dan berduyun-duyunlah para penduduk didesa-desa yang letaknya jauh terpencar disekitar situ menuju ketempat perkemahan rombongaan karavan kerajaan; ada yang membawa buah-buahan, makanan, minuman dan Iain sebagainya untuk… dijual!

Dan  di tengah-tengah perkemahan yang mula-mula sunyi, yang dikelilingi oleh hutan=hutan sunyi pula, terjadilah semacam pasar malam, yang baru berakhir setelah hampir menjelang pagi.

Eksea lainnya lagi yang timbul ialah akibat dari kegemaran bangsawan-bangsawan anggota rombongan akan bertooru; berburu sebagai semacam intermeso dari kepenatan sebagai akibat lambatnya karavan bergerak, dapatlah dimengerti.

Hanya “warisan" yang mereka tinggalkan yang sungguh menyedihkan. Barisan-barisan pengawal dikerahkan sambil membawa kentongan atau bunyi-bunyian serta tabuh-tabuhan lainnya, menyebar di hutan-hutan sambii membunyikan alat-alatnya masing-masing.

Baca juga: Candi-Candi Padanglawas, Bukti Penjajahan Majapahit di Tapanuli

Suara hiruk pikuk segera terjadi. Binatang-binatan keluar dari tempat persembunyiannya, terutama kijang, dan mulailah alang-alang dan rumpun-rumpun dibakar. Binatang-binatang segera lari bertemperasan menuju ke tempat-tempat terbuka, di mana ujung-ujung tombak dan ujung-ujung anak panah telah menanti.

Perburuan berhasil dengan baik, binatang-binatang bergelimpangan mati dan kepuasan anggotaanggota rombongan terpenuhi. Rombongan karavan bergerak kembali perlahan-lahan, meninggalkan padang alang-alang, rumpun-rumpun, dan hutan-hutang hangus terbakar menyedihkan.

Tujuan perjalanan

Kalau boleh meminjam istilah yang populer dewasa ini, maka tujuan utama perjalanan sang raja beserta rombongan ke segenap pelosok Jawa Timur itu ialah untuk “turba”.

Baca juga: Membaca Nasib Majapahit dari Lereng Kelud

Letak ibukota Majapahit sebagai pusat pemerintahan ada di pedalaman. Daerah-daerah kekuasaannya yang terpencar diperintah oleh para Gubernur atau Adipati, yang bertindak sebagai wakil raja di daerahnya masing-masing.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Adipati itu setiap kali harus datang menghadap ke Ibukota, baik dalam upacara-upacara resmi yang secara berkala diadakan, maupun pada waktu mengantarkan upeti-upeti atau persembahan-persembahan.

Hadir atau tidaknya para Adipati dalam acara-acara tersebut menjadi barometer kesetiaan (daerah yang dipimpin) mereka.

Untuk mencapai Ibukota tentunya akan memakan waktu berhari-hari, baik perjalanan itu dilakukan melalui darat maupun melalui sungai-sungai. Dengan demikian maka upeti-upeti ataupun persembahan-persembahan yang dibawa tidaklah mungkin sebanyak yang diharapkan; apalagi sebagai suatu Negeri yang agraris, upeti-upeti itu tentunya “in natura”.

Baca juga: Cerita Majapahit Sudah Salah Kaprah

Gajah Mada sebagai pelaksana tampuk pemerintahan menyadari hal tersebut. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharap-harapkan baik di pihak para Adipati maupun di pihak Pemerintah Pusat, dilakukanlah perjalanan turba itu.

Upeti-upeti atau persembahan-persembahan yang biasanya di antara ke Ibukota, dapat dipungut di sepanjang perjalanan; inilah sebabnya kelompok Gajah Mada membawa kendaraan dengan jumlah paling besar, guna memuat semua upeti-upeti dan persembahan-persembahan tersebut.

Pejabat-pejabat kerajaan yang lain dapat melakukan inspeksi menurut bidangnya masing-masing. Pejabat-pejabat keagamaan melakukan kontrol terhadap wakaf=wakaf keagamaan yang bertugas menurus bangunan-bangunan suci kerajaan.

Begitu pula para anggota-anggota keluarga kerajaan mempunyai kesempatan untuk melakukan ziarah ke candi-candi tempat pemakaman para nenek moyang kerajaan.

Baca juga: 640 Tahun Terlambat ‘Menyusul’ Rombongan Hayam Wuruk yang Tengah Pesiar

Akan tetapi lebih penting dari itu ialah: Anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat pemerintahan dapat secara langsung melihat kehidupan rakyat jelata di desa-desa, rakyat pun dengan demikian merasa memperoleh berkah karena sang Raja yang dicintainya sudi berkunjung ke tempat mereka.

Dengan kata-kata singkat, perjalanan turba ini sekaligus telah menyelesaikan beberapa pekerjaan dan tugas-tugas penting.

Setibanya di tempat tujuan terakhir, rombongan disambut dengan segala kebesaran, upeti-upeti diserahkan, persembahan-persembahan dihaturkan, dan pesta pun diselenggarakan guna menghormat sang raja.

Sesudahnya rombongan “dibubarkan” untuk kemudian berkumpul kembali pada waktu yang telah ditetapkan guna kembali ke Ibukota.

Baca juga: Bunyi Teks d Kitab Negarakertagama Inilah yang Jadi Bukti Mahapatih Gajah Mada Tidak Beragama Islam

Dan dalam perjalanan kembali ke Ibukota, yang mengambil rute lain daripada ketika berangkat, terulanglah kembali apa-apa yagn pernah dialami ketika berangkat.

Hiruk pikuk ketika berkumpul untuk berangkat, tugas-tugas  yang harus dijalankan di sepanjang jalan, gerak iring-iringan yang lambat, kepenatan dan kelesuan yang diseleng dengan macam-macam intermeso, macam-macam ekses yang timbul selama perjalanan, hingga akhirnya tiba kembali di Ibukota dengan selamat.

Bagi mereka yang menyukai perjalanan ini tentunya mengharap lekasnya datang masa perjalanan berikutnya. Sedangkan mereka yang tidak menyukainya, mungkin dalam hati bertanya: Kapan semuanya ini akan berakhir?

Baca juga: Pertumpahan Darah di Kerajaan Mataram Gara-gara Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama