Find Us On Social Media :

Hassan Shadily, Di Balik Kamus Inggris - Indonesia yang Fenomenal

By Agus Surono, Senin, 20 Maret 2017 | 20:40 WIB

Hassan Shadily, tokoh di balik kamus Inggris - Indonesia yang fenomenal

Intisari-Online.com - Hampir semua pelajar kenal dengan Kamus Inggris Indonesia ini. Warna birunya yang dominan dengan setrip warna kuning – hijau – merah sudah begitu familiar. Saking terkenalnya, buku bajakan kamus ini dengan mudah diperoleh. Bahkan ada yang menjajakannya di pinggir jalan.

(Ingin Beli Smartphone yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)

Namun, kamus dwibahasa karya John M Echols dan Hassan Shadily ini bisa saja tak tercipta andai Hassan menjadi dokter seperti yang diidamkannya.

Kamus Inggris-Indonesia ini tidak saja menjadi senjatan andalan pelajar Indonesia. Di Amerika Serikat dan negara-negara lain, seperti Australia dan Malaysia, kamus Inggris-Indonesia — dan Indonesia-Inggris — dari Echols dan Shadily juga sudah dianggap kamus standar oleh mereka yang mempelajari bahasa Indonesia. Bahkan, penerbitannya yang pertama kali sebenarnya bukan dilakukan di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, oleh Cornell University Press.

(Kamus Mini Istilah Perkomputeran.)

Kalau saja ia tak pernah bertemu dengan John Echols, mungkin sekarang kita tak mengenal Hassan Shadily sebagai seorang ahli leksikografi, ahli perkamusan. Hassan sedang belajar sosiologi ketika ia bertemu dengan guru besar linguistik itu di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1952. Walau tiga tahun kemudian ia meraih gelar master dalam sosiologi, tapi selanjutnya Hassan lebih banyak sibuk mengurusi kamus dan ensiklopedi.

Ini semua gara-gara Prof. Echols meminta bantuan Hassan melaksanakan proyek penyusunan kamus Indonesia-Inggris. Meski Hassan sama sekali belum berpengalaman dalam soal ini, Prof. Echols percaya pada kemampuannya. Selain menguasai bahasa Indonesia, Hassan juga dapat berbahasa Inggris dengan baik. Pengalaman Hassan sebagai bekas wartawan yang sering menulis dalam Pelita Rakyat dan Trompet Masyarakat juga menjadi pertimbangannya.

Dalam tahun 1952 itu juga mereka mulai bekerja sama. Kamus Indonesia-Inggris selesai dalam waktu dua tahun, dalam masa tinggal Hassan di Cornell; sedang kamus lnggris-lndonesia yang disusun belakangan digarap lebih dari enam tahun, pada waktu Hassan sudah kembali ke Indonesia. Karena itulah kerja sama lalu lebih banyak dilakukan dengan cara surat-menyurat. Selesai penyusunan kedua kamus itu, yang masing-masing diterbitkan pertama kali tahun 1961 dan 1975, tidak berarti berakhir pula kerja sama di antara kedua penyusunnya. Hassan di Jakarta dan John Echols di Cornell terus mengumpulkan kata-kata baru untuk makin melengkapi kamus mereka.

 “Waktu itu saya hampir saja kehilangan semangat mengumpulkan kata-kata baru yang biasanya saya diskusikan dengan John.” - Hassan Shadily

Malah hubungan kerja sama yang awalnya bersifat formal, lambat laun berubah menjadi hubungan persahabatan yang erat, tidak hanya di antara keduanya, tapi juga di antara kedua keluarga mereka. “Kalau ke Indonesia John pasti menginap di rumah saya. Begitu pula kalau saya ke Cornell,” Hassan menceritakan eratnya persahabatan mereka. Kerja sama dan persahabatan ini terus berlangsung seumur hidup, sampai meninggalnya Prof. Echols tahun 1984, 32 tahun sejak saat ia pertama kali berkenalan dengan Hassan.

Masuk akal jika kematian ini membuat Hassan sangat berduka cita. “Waktu itu saya hampir saja kehilangan semangat mengumpulkan kata-kata baru yang biasanya saya diskusikan dengan John.”

Setelah rampungnya proyek kamus Inggris-Indonesia yang dibiayai oleh Twentieth Century Funds dan Ford Foundation, mulai tahun 1962 Hassan juga sibuk dalam berbagai proyek penyusunan ensiklopedi. Sampai saat ini sudah tiga buah ensiklopedi rampung tersusun berkat keahlian dan ketekunannya. Ini tidak bisa dibilang prestasi yang kecil, kalau mengingat lamanya waktu yang diperlukan untuk menggarapnya. Bukan luar biasa kalau sebuah ensiklopedi baru rampung setelah dikerjakan selama sepuluh tahun.

Ketiga ensiklopedi itu adalah Ensiklopedi Umum (satu jilid), yang diterbitkan oleh Yayasan Kanisius (1972); Ensiklopedi Indonesia, yang diterbitkan oleh PT Ichtiar Baru dan Van Hoeve (1980); dan Ensiklopedi Tari dan Musik, yang penyusunannya merupakan proyek dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Naskah ensiklopedi yang disebut terakhir ini, yang menurut Hassan bisa dijadikan enam jilid, sampai sekarang belum dipublikasikan.