Find Us On Social Media :

Kisah Pilu Mantan Seorang Jugun Ianfu Setelah 50 Tahun: Oh Tuhan, Jangan Biarkan Mereka Membawaku!

By Intisari Online, Rabu, 25 Juli 2018 | 07:00 WIB

Berbareng dengan masuknya Jepang, hidupku hancur berantakan. Tiga setengah tahun berikutnya, bersama ibu dan kedua adik perempuan, kujalani hidup bersama-sama ribuan wanita dan anak-anak Belanda di dalam kamp tahanan Jepang. Kami diinternir di kamp besar di Ambarawa.

Ketika tiba di kamp kami digeledah. Semua uang, perhiasan, dan benda-benda berharga lainnya disita.

Tiga setengah tahun lamanya 3.000 wanita ditahan bercampur baur dalam ruangan bau, kotor, banyak tikus, serta comberan air limbah. Hidup serba kekurangan dan penuh hinaan.

Kami tak berhak atas privasi, harus kerja keras, selalu kurang makan, sering dipukuli, dan menderita penyakit.

Setiap hari kami wajib apel dan berjam-jam dijemur di terik matahari. Kepala harus tunduk setiap kali dihitung. Untuk orang tua, hal ini tentu sangat melelahkan.

Selama dalam tahanan, kami selalu mendambakan pangan. Semakin lama perang, semakin kurang makanan. Kami makan apa saja yang kami anggap tidak mematikan: tanaman belukar, bekicot, tikus, sampah, dan bahkan kucing sang komandan kamp Jepang!

Amat jamak apabila bak sampah Jepang sering kami jarah, mencari sisa makanan.

Semua tahanan wanita dipaksa kerja berat, mencakup membersihkan kakus dan mengosongkan sumur septik yang luber, memotong kayu bakar, mengangkut beban berat, menggali lubang, dan sebagainya.

Berkali-kali ada inspeksi. Barak kami kerap digeledah selama apel, untuk mencari uang ataupun benda-benda berharga lainnya.

Obat-obatan sangat kurang. Pil kina kami tukar dengan apa saja. Beberapa benda sehari-hari yang sangat biasa, tiba-tiba menjadi sangat bernilai. Misalnya sepotong sabun, pensil, kertas, jarum, kapuk, korek api, dan lilin.

Anak laki-laki bila berusia 13 tahun harus berpisah dengan ibunya. Lalu dikirim ke kamp tahanan pria di suatu tempat yang tak diketahui.

Diseleksi dan dipisahkan