Find Us On Social Media :

Heroiknya Sumiyo Bergulat dengan Petugas di Atas Rumah saat Tanahnya Digusur untuk Bandara Baru Yogyakarta

By Intisari Online, Senin, 23 Juli 2018 | 12:15 WIB

Intisari-Online.com - Warga yang terdampak Proyek Bandara Baru Yogyakarta alias New Yogykarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, DIY, terus melakukan perlawanan.

Salah satunya adalah Sumiyo (53).

Ia bahkan nekat mempertahankan rumahnya dengan menaiki atap dan berdiri di genteng rumah.

Seperti dilaporkan Kompas.com, ia menduduki genteng dan mengancam melempar genteng kepada semua aparat yang mencoba mendekat, sambil bertahan dengan memeluk tiang listrik pada atap.

Empat anggota dari Satuan Polisi Pamong Praja Kulon Progo dan seorang polisi Provos mencoba membujuk.

Baca juga: Pasrahnya Para Petani yang Lahannya 'Dibersihkan' untuk Pembangunan Bandara NYIA

Kelimanya menaiki atap rumah dengan bantuan belalai ekskavator.

Sumiyo tetap bertahan sebisanya melawan dengan menendang genteng-genteng.

Seorang anggota Satpol PP, Gita Haryana mengatakan, usahanya membujuk tidak berhasil.

"Saya bilang ke dia, bapak turun dan semua jadi lebih enak. Kita ini takutnya dia yang jatuh," kata Gita, Jumat (20/7).

Bujukan gagal. Pergulatan terjadi di puncak atap. Sumiyo melawan sekuat-kuatnya, sambil berpegangan pada tiang listrik atap rumah.

Perlawanan itu bahkan berlangsung hingga setengah jam.

Polisi dan empat anggota Satpol PP itu sampai harus mengikat tangan dan kaki Samiyo di atas rumah lantas menurunkannya dengan kuku bucket.

"Tenaganya kuat sekali," kata Dedi, salah satu anggota Satpol PP yang ikut menurunkan Sumiyo.

Setelah diturunkan, Sumiyo segera dilepas.

Penggusuran rumah-rumah warga yang memaksa bertahan di lahan pembangunan Bandara NYIA pada Jumat ini menyasar 33 rumah warga di izin penetapan lokasi (IPL) NYIA ini.

Lebih dari 30 kepala keluarga bertahan mendiami rumah.

Mereka bersikeras menolak semua solusi apapun dari pemerintah untuk meninggalkan IPL, meski status tanah sudah kembali ke negara.

Baca juga: Penggusuran Restoran Rindu Alam di Puncak Sudah Dinantikan Selama 35 Tahun

Angkasa Pura I (Persero) dan PP memutuskan memindahkan warga dari sana, memberi rumah tinggal sementara di rumah-rumah sewa, lantas menggusur rumah mereka di IPL.

Banyak ekskavator dikerahkan untuk mempercepat perobohan tidak hanya rumah, tetapi juga kandang sapi, pohon kelapa, melinjo, mangga, hingga pohon jati yang masih muda.

Upaya pembersihan lahan itu juga melibatkan ratusan orang, baik TNI-Polri, relawan angkat barang, hingga mobil truk.

Semua mendapat perlawanan dari warga yang menolak pembangunan bandara.

Penggusuran sebenarnya sudah berlangsung sejak Kamis (19/7) kemarin.

Sebanyak 17 dari 33 rumah sudah digusur sehari sebelumnya. Penggusuran kembali berlanjut hari ini.

Salah satu yang paling alot adalah rumah-rumah yang masuk Dusun Sidorejo, Desa Glagah, Temon.

Warga melawan dengan beragam cara, termasuk Sumiyo.

Tidak ikhlas Sumiyo mengaku rumah itu adalah peninggalan orang tuanya.

Di rumah itu, tinggal dua kepala keluarga, yakni Sumiyo dan salah seorang anaknya yang sudah berkeluarga.

Sebagai rumah peninggalan, ia berniat mempertahankan sebisanya.

"Intine niki griyo kulo, dibrukke ora iklas. Urip turun temurun kok dirampas. (Intinya ini rumah saya, dirobohkan tidak ikhlas. Hidup turun temurun kok dirampas)," kata Sumiyo tak lama setelah diturunkan petugas.

Sumiyo mengaku tidak akan menerima apa pun tawaran pemerintah untuk menyerahkan tanah dan rumahnya menjadi lahan bandara.

Karenanya, ia menilai pemerintah arogan dengan memaksa kehendak merobohkan rumah.

"Ini pembongkaran paksa. Sejak semula pilihannya hanya setuju atau menolak. (Bertahan) karena ini warisan orang tua," kata Sumiyo.

Baca juga: Penggusuran Lahan untuk Bandara di Yogyakarta: 'Ini Rumahku, Aku Tidak Ikhlas Sampai Tujuh Turunan'

Sumiyo mengaku tersakiti untuk kesekian kali. Satu bulan lalu, ia mempertahankan lahan garapan cabai yang juga berada di tengah IPL.

"Cabai tinggal petik dipanen, malah disorok (digusur)," katanya.

Sumiyo memastikan akan bertahan di situ. Ia akan mendirikan tenda, menitipkan barang-barang miliknya ke rumah tetangga, dan akan kembali bercocok tanam di lahannya.

Ia tidak menerima solusi apa pun dari pihak manapun, termasuk menerima ganti rugi.

"Kami akan berusaha bikin tenda. Ini hak dan tanah saya. Saya tak bersedia tinggal di situ (rumah relokasi)," katanya. (Dani Julius Zebua)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tolak Tanah Digusur untuk Bandara, Sumiyo Bergulat dengan Petugas di Atap Rumah".