Find Us On Social Media :

Tidak Heran Kita Terpecah Belah, Sebab Kita Memang Lebih Suka Membangun Tembok Pemisah

By Tika Anggreni Purba, Jumat, 10 Februari 2017 | 19:02 WIB

Lebih baik membangun kebaikan ketimbang membangun tembok pemisah karena perbedaan.

Intisari-Online.com—Dunia gempar dengan kebijakan presiden AS, Donald Trump yang terkesan anti-imigran dan anti-Islam. Walau dikatakan alasannya demi keamanan negara AS, kebijakan tersebut tetap memicu berbagai reaksi dari belahan dunia.

Terlepas apapun alasannya, kita bisa mempelajari sesuatu dari situasi ini. Yaitu, mengenai tembok pemisah perbedaan yang dibangun Trump terhadap imigran dan tujuh negara Islam tersebut kini menambah riuhnya isu SARA di dunia.

Tak hanya di AS sana, negeri kita dan negara-negara lain juga sebetulnya mengalami hal yang sama. Tanpa kita sadari, semakin hari semakin banyak orang yang membangun tembok pemisah yang semakin tinggi karena perbedaan. Kondisi ini paling jelas terlihat di dunia maya, di mana orang saling beradu karena perbedaan pendapat dan karena perbedaan-perbedaan lainnya. Akibatnya adalah perpecahan sudah menanti.

(Bersatu dalam Perbedaan)

Persoalan ”membangun tembok pembatas/pemisah” ini menarik untuk direnungkan sebab nyatanya kita memang lebih tertarik untuk memperkuat perbedaan ketimbang meningkatan persatuan dan rasa saling memiliki. Seperi kata Isaac Newton, kita lebih banyak membangun tembok pemisah ketimbang jembatan pemersatu.

Bukan, wacana ini bukan ditilik dari segi agama, suku, ras, atau perbedaan-perbedaan itu. Namun, dari segi psikologis, manusia memang cenderung untuk membuat tembok pembatas terhadap orang lain yang berbeda dengannya. Kita cenderung memilih “jarak” ketimbang “terhubung” dengan orang yang berbeda dengan kita.

Contohnya saja, ketika kita duduk bersampingan dengan orang asing di tempat umum. Jarang sekali kita langsung merasa nyaman dengan kehadiran mereka. Sebisa mungkin, kita berupaya tidak berkomunikasi dengannya. Banyak faktor, bisa jadi karena takut dan merasa tidak aman. Namun yang jelas kita tidak sepenuhnya langsung bersikap baik pada orang lain.

Menurut pemantauan Jonathan Haidt, seorang psikolog moral di AS, orang-orang kini menjadi lebih agresif terhadap perbedaan. Hal ini terbukti melalui suasana di media sosial yang panas. Orang saling menghujat, saling menyalahkan, saling menuduh, bahkan saling memutuskan hubungan pertemanan di media sosial. Jika kita terlibat dalam hal ini, lalu apa bedanya kita dengan Trump? Jika Trump membangun tembok dalam skala besar, kita membangun tembok perbedaan dalam diri kita sendiri. Perbedaannya cuma pada skalanya saja.

Semakin kita menganggap kalau orang lain yang berbeda dengan kita adalah musuh, maka semakin tinggi tembok yang kita bangun untuk berhubungan dengannya. Jika diteruskan, semakin besar pula kemungkinan perselisihan akan terjadi. Sebab tembok itu tidak hanya mengalangi hubungan, tapi juga bisa menyebabkan miskomunikasi dan mispersepsi.

Runtuhkan tembokmu!

Lalu bagaimana caranya meningkatkan kepedulian akan persatuan dan rasa kepemilikan di era perpecahan ini? Itu tergantung bagaimana kita dalam diri kita sendiri tidak terjebak dalam tren “membangun tembok” tadi. Jika kita terus menerus membuat batas dan menolak perbedaan, kita tidak akan bisa merasa saling memiliki sebagai sesama warga bumi atau lebih mengerucut lagi, sebagai sesama warga negara.

Jangan biarkan situasi sosial politik dunia, bahkan situasi negeri kita mempengaruhi cara pandang kita dalam menghadapi perbedaan. Belajar dari ilustrasi yang terjadi beberapa hari setelah malam inagurasi Trump, ketika tiga orang kulit putih dari Texas singgah di sebuah kafe penuh pengunjung, Busboys and Poets, di Washington DC.