Find Us On Social Media :

2017, Tantangan Meredam Kekerasan Seksual dan Korupsi

By Ilham Pradipta M., Senin, 30 Januari 2017 | 18:05 WIB

Di India, Jumlah Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Terus Meningkat

Intisari-Online.com - Berbagai kejadian tindakan kriminal yang terjadi di Indonesia tak henti-hentinya membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Mulai dari penculikan anak, perdagangan manusia, pencurian dan perampokan, hingga pembunuhan. Namun, di tahun 2016, setidaknya ada tiga tindak kriminal yang menarik perhatian khalayak, yakni kekerasan seksual, pembegalan, dan korupsi.

(Cara Penjara Norwegia Cegah Narapidananya Kembali Lakukan Kejahatan Ini Bisa Dicontoh Indonesia)

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah guna meminimalkannya, bahkan mengeliminasi ketiga kejahatan itu. Mulai dari memperberat sanksi hingga membuat bentuk hukuman baru yang dinilai memiliki efek jera yang tinggi. Contohnya mengebiri pelaku pemerkosaan, atau memiskinkan para koruptor. Meski dalam pengkajiannya, menimbulkan banyak pro-kontra diberbagai kalangan.

Darurat kekerasan seksual

Mei 2016, siswi SMP di Desa Kasie Kasubun, Bengkulu ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Setelah diselidiki, gadis itu telah menjadi korban kekerasan seksual.Kasus pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap Y (14)  yang memilukan itu, tak ayal menarik perhatian banyak publik. Mirisnya, Y diperkosa sepulang sekolah oleh 14 orang secara bergilir. Sebelumnya, Y juga menerima kekerasan fisik hingga membuatnya pingsan.

(Kesombongan Akun Rich Kids di Instagram Justru Ungkap Kejahatanyang Dilakukan Orangtua Mereka)

Y merupakan satu dari banyak korban kekerasan seksual yang terjadi di sepanjang 2016. Berdasarkan data Komnas Perempuan dan 33 lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia, setidaknya 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Mulai dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan.  

Nahasnya, tak sedikit anak-anak yang menjadi korban. Menurut Komnas Perempuan, sebanyak 42-58% kasus kekerasan pada anak adalah kasus kekerasan seksual, terutama pemerkosaan.“Ini bukan persoalan  rok mini, tapi otak mini!” tegas kriminolog sekaligus kolumnis, Maman Suherman.Menurutnya, ihwal ini tak bisa lagi dianggap sebagai permasalahan perempuan saja, tapi suatu yang lebih besar. Yakni, masalah kemanusian. 

Maman menambahkan, seharusnya tiap orang yang tidak menginginkan peristiwa ini berlanjut, mesti harus berani bersuara. Sebab kalau dibiarkan, maka pelaku kekerasan seksual tak akan pernah merasa bersalah. Bahkan, semakin menjadi-jadi.

Nah, sayangnya tak banyak orang dengan sukarela atau berani melaporkan peristiwa ini. Apalagi bila pelakunya merupakan orang terdekat. Orangtua, paman, kakak, atau suadara, misalnya. Bila fenomena gunus es ini terlaporkan, tentu bisa menyumbang angka kekerasan seksual yang lebih tinggi lagi.

Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa menyebabkan banyaknya kasus kekerasan seksual. Namun, yang paling utama adalah persoalan mindset (pola pikir) terhadap kaum perempuan. “Selalu ada persepsi  kalau perempuan itu lemah, perempuan itu makhluk privat bukan makhluk publik”.

Bahkan, masih ada saja yang mendefinisikan perempuan yang tidak baik adalah perumpuan yang keluar di malam hari. “Karena dia perempuan yang tidak baik , jadi boleh diperlakukan tidak baik,” jelas Maman. Nah, persepsi-persepsi bias gender inilah yang perlu diubah.

Perlunya pendidikan seksual  

Kekerasan seksual juga telah menjadi tindak kriminal yang paling menonjol. Sampai-sampai sejumlah kalangan menilai bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Maman pun berpikir demikian. Makanya tak heran kalau banyak orang meminta sanksi yang berat bagi para pelakunya. Sanksi yang memiliki unsur penjeraan di dalamnya.

Di balik polemik dalam mengkaji bentuk saksi yang efektif, ada satu hal yang tak boleh terlupakan. Yaitu, penanganan korban pascatrauma. “Itu yang kadang terabaikan, padahal korban kekerasan seksual, korban perkosaan itu traumanya seumur hidup, susah dihilangkan,” kata pria lulusan Kriminologi Universitas Indonesia ini.

Pembuat jera pelaku kekerasan seksual memang penting. Namun, pemulihan korban tak hanya bisa sekadar ditebus oleh lamanya hukuman terhadap pelaku. Sebab guncangan jiwa yang timbulkan akibat kekerasan seksual itu sangat luar biasa. Nah, bila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, hal ini dapat menggerogoti kesehatan mental korban.

Kata Maman, ada sebuah cara yang mungkin ampuh untuk meminimalkan peristiwa ini. Yakni, memberikan pendidikan seks yang komprehensif pada anak. Nah, sayangnya cara ini sering kali dianggal tabu bagi para orangtua atau guru. Padahal, pendidikan seks semestinya sudah diajarkan sejak dini.

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Boyke Dian Nugraha mengatakan, memberi pendidikan seks sejak dini bisa melindungi anak dari pelecehan seksual. "Anak-anak kita tidak mendapat pendidikan seksual sejak dini. Sementara orang yang mengincar anak ada di sekelilingnya. Ketika terjadi pelecehan seksual, anak yang tidak tahu menganggap hal itu bukan masalah," terang Boyke seperti dilansir dalam Kompas.com(2016).

Jikalau mindset publik terhadap perempuan masih keliru, dan pendidikan seks tidak berjalan dengan benar, Maman khawatir kalau kekerasan seksual di tahun 2017, tak ubahnya dengan tahun sebelumnya.