Find Us On Social Media :

Siapa Sebenarnya Tionghoa Peranakan?

By Tjahjo Widyasmoro, Selasa, 10 Juli 2018 | 18:03 WIB

Kelima, warga Tionghoa yang mempunyai corak bahasa dan budaya yang khas, hasil percampuran dari semua tanpa menjadi salah satu darinya.

BACA JUGA: Tidak Sembarangan, Ternyata Perbedaan Ukuran di Makam Tionghoa Punya Alasan Tersendiri

Mereka tidak terasimilasi menjadi “pribumi” lokal (misalnya Jawa); tidak hidup berkiblat ke Eropa; tidak peduli dengan leluhur Tiongkok; tidak juga bersemangat nasionalis lebih dari warga biasa.

“Mungkin kelompok kelima ini yang paling cocok disebut ‘peranakan’,” duga Ariel. Mereka adalah sosok sosial yang sangat campur-aduk dengan sebuah sosok identitas yang khas dalam bidang berbusana, masak-memasak, bahasa, perabot, dan tata-gaul.

Jumlah Peranakan jenis kelima ini relatif besar pada paruh pertama abad 20. Namun kini mereka nyaris punah. Yang menarik, kepunahan budaya Peranakan Tionghoa dalam setengah abad terakhir, terjadi bersamaan dengan semakin gencarnya hibridisasi identitas pada lingkup global.

Semua orang di mana pun semakin menjadi peranakan, dalam pengertian berselera budaya gado-gado, campur-aduk, blasteran atau hibrid.

Begitu cuplikan ulasan Ariel Heryanto yang ditulisnya dalam buku Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya yang diterbitkan Komunitas Lintas-Budaya Indonesia dan Intisari.

Buku ini adalah edisi ketiga setelah sebelumnya pernah terbit edisi pertama pada 2009 dan kedua (berbahasa Inggris) pada 2012.

Buku ketiga yang terbit tahun 2018 ini, merupakan edisi yang diperbarui dan diperluas. 

Akan diluncurkan di Semarang Contemporary Art Gallery (Galeri Semarang), Semarang pada Jumat (13/8) pukul 17.30. Dibuka oleh Gubernur Jawa Tengah (terpilih) Ganjar Pranowo dan Walikota Semarang Hendrar Prihadi.

BACA JUGA: Ketika Orang-orang Tionghoa Mulai Mempersenjatai Diri, Belanda pun Menjawabnya dengan Pembantaian Kali Angke 1740