Penulis
Intisari-Online.com -Dalam bukunya Never Stop Walking: A Memoir of Finding Home Across the World, Christina Rickardsson (35) dari Umea, Swedia, mengisahkan perjalanan hidupnya yang luar biasa—dan terkadang sangat kejam.
Buku ini mengisahkan kehidupannya dari seorang penghuni gua hingga mendirikan yayasan untuk anak jalanan dan anak yatim bernama Coelho Growth Foundation.
Lebih dari itu, ia juga mengisahkan kekagumannya terhadap Mamae, ibunya.
Perjalanan hidupnya ini ia tuturkan kepada Jane Ridley dari The Post.
***
Geraman itu cukup membuat ibuku dan aku gemetar ketakutan. Dan kemudian kami melihatkan—seekor jaguar persis di atas gua kami, sedang mencari mangsa.
Ini adalah satu-satunya momen di mana saya melihat kucing besar itu secara langsung dari tempat persembunyiannya yang juga menjadi “rumah” kami selama lima tahun.
Jaguar itu memang pemalu, tapi gigi-geliginya tetap saja mematikan, lebih-lebih saat ia sedang lapar atau merasa terancam.
Jaguar menjadi salah satu makhluk yang mengancam kehidupan kami di pinggiran kota Diamantina, di wilayah Minas Gerais, Brasil. Ular berbisa, laba-laba, dan kalajengking itu sudah biasa.
Aku biasa terbangun di tengah malam untuk melempar makhluk-makhluk beracun yang merangkak di atas tubuhku itu.
Ibuku, Petronilia namanya—yang aku panggil Mamae—membawaku ke gua pada April 1983 ketika aku berusia 15 hari. Sebelum itu, ia tinggal bersama saudara lelakinya yang kasar. Ayahku pergi entah ke mana.
Hidup di tepian peradaban adalah sesuatu yang normal terjadi. Aku mencintai tumbuhan dan hewan, karena warna, pemandangan, dan bunyinya yang ajaib.
Karena miskin, kami sering memakan burung-burung yang kami ketapel. Secara teratur kami akan pergi ke Diamantina untuk menjual daun dan bunga kering dan membeli beras. Kami melewati jalan berbatu yang panjang.
“Bisakah kita berhenti?” begitu aku akan memohon kepada ibu saat kakiku mulai berdarah karena tidak beralas. Tapi Mamae akan meneruskan perjalanan, menceritakan kisah-kisah tentang Tuhan, Yesus, dan semua orang-orang suci.
Kami nyaris kelaparan, tetapi aku sering melihat tahun-tahun itu sebagai tahun-tahun terbaikku.
Mamae selalu punya waktu untukku, dan aku mendapatkan semua cintanya. Kami berbincang selama berjam-jam, menikmati keindahan padang belantara, sementara kaki kami menjuntai di mulut gua.
Aku mendapatkan kepercayaan dari berburu dan mengais-ngais. Salah satu kebanggaan terbesarku adalah ketika bisa menangkap burung untuk pertama kalinya, yang kemudian kami panggang di atas lubang api yang kecil.
Itu membuatku bisa makan enak—bersanding dengan buah-buahan dan kacang-kacangan.
“Anda siap berburu jaguar sekarang, Christina?” canda Mamae, menyebut nama Brasilku.
Kemudian, suatu malam ketika aku berusia sekitar lima tahun, kami diusir dari rumah kami oleh sekelompok pria dengan anjing. mungkin mereka adalah pemilik tanah.
Yang jelas, mereka tidak menganggap kami, tapi Mamae sudah tahu bahwa sudah waktunya bagi kami untuk melanjutkan perjalanan.
Kami pergi ke Sao Paolo. Karena kami miskin dan ibuku masih berjuang mendapatkan pekerjaan, kami akhirnya mendarat di favelas, sebuah daerah kumuh di Brasil.
Di sana, kami meminta-minta makanan dan uang. Ada beberapa orang baik hati di sana. Ada pula yang meludahi dan menendang kami. Ada yang menyebut kami “kecoak” dan “tikus jalanan”.
Sementara yang lain pura-pura tidak melihat kami—mungkin bagi mereka kami tidak ada.
Dalam kondisi itu, ibu biasanya akan menghilang dalam waktu lama sementara aku akan belajar untuk menjaga diriku sendiri.
Aku mendekat ke anak-anak jalanan lain untuk meminta bantuan. Begitulah caraku mengenal seorang gadis kecil bernama Camile.
Ia akhirnya menjadi sahabatku. Kami melakukan semuanya bersama. Kami berbagi makanan yang kami temukan. Camile punya kemampuan menceritakan kisah-kisah dengan luar biasa, dan ia terpesona dengan kisah-kisah pangeran berikut putrinya.
Tokoh-tokoh itu menjadi obat pelipur lara, setidaknya untuk sementara.
Bersama-sama, kami bertahan hidup dengan mencuri di pasar makanan, mengobrak-abrik tumpukan sampah raksasa dan saling melindungi.
Suatu malam, ketika aku hampir berusia tujuh tahun, Camile dan aku memutuskan melarikan diri dari kebisingan dan penembakan malama di kota-kota kumuh dan tidur di daerah yang lebih nyaman dari Sao Paolo.
Terbangun dengan suara-suara, kami ketakutan tapi memutuskan untuk melihat di sekitar gedung. Kami melihat orang-orang—polisi militer—dengan senjata.
Lima anak berdiri berbaris di depannya. Kami tahu apa artinya itu. Semua anak jalananan melakukannya.
Salah satu pria melihat kami dan berteriak. “Di sana ada lagi, tangkap mereka!”
Camile dan aku lari tunggang langgang untuk menyelamatkan hidup. Btw, aku adalah pelari yang sangat cepat, sementara Camile tertangkap.
Aku berniat kembali untuk membantunya ketika mendengar Camile menangis. Tapi ia justru menyuruhku berlari.
“Lari!” teriaknya, dan aku pun menuruti sarannya.
Setelag yakin tidak lagi diikuti, aku kembali ke tempat kejadian. Mengintip dari belakangan bangunan lain, dan melihat Camile dikelilingi lima orang itu.
Saat aku mencoba mencari cara untuk menolongnya, sesuatu yang aneh terjadi padanya.
Sebuah peluru menembus dahinya, tubuhnya terjatuh ke tanah dengan cara yang paling aneh. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menutupi jeritan.
Aku berbalik dan berlari secepat yang aku mampu. Aku kehilangan teman baik, saudara perempuan, malam itu. Aku juga paham, betapa tidak berartinya hidup kami.
Di tengah kondisi yang kalut itu, aku sadar bahwa aku belum makan seharian. Aku kemudian mengais-ngais sampah dan menemukan sepotong roti tawar setengah matang dengan kacang goreng di dalamnya.
Ketika hendak memakannya, tiba-tiba ada suara yang memanggil.
“Berikan makanan itu padaku,” ia menuntut.
“Ini milikku. Aku yang menemukannya,” balasku. Ia memukul wajahku, dan kami saling berebut roti sisa itu. Kami bergulat hingga mendengar ada sesuatu yang berdenting, pecah. Ternyata sebuah botol kaca.
Aku lalu meraih pec ahan itu. Aku marah, sedih, tapi yang paling utama, aku merasa diperlakukan sangat tidak adil.
Saat bocah itu mengambil roti dan berjalan pergi, aku menjerit dan berlari ke arahnya dengan sekuat tenaga. Ia berbalik, dan tanpa pikir panjang, aku menusukkan potongan kaca itu ke perutnya sekesar yang aku bisa.
Awalnya aku tidak merasakan apa-apa, tapi lama-kelamaan tanganku merasa ada yang hangat.
Ternyata itu darah yang keluar dari perutnya. Aku mengambil roti itu ketika ia menjerit sejadi-jadinya karena kesakitan. Aku mulai memakannya. Awalnya baik-baik saja, tapi kemudian aku muntah.
Aku terbayang dengan apa yang baru saja aku lakukan. “Maafkan aku, Camile. Maafkan aku, Tuhan,”pikiranku bergemuruh.
Belakangan, aku mendengar beberapa bocah lain di lingkungan itu berbicara tentang seorang bocah yang ditemukan tewas di sebuah gang.
Orang-orang mungkin menuduhku, tapi aku hidup dengan cara begitu. Satu-satunya alasan aku dapat memaafkan diriku sendiri adalah bahwa aku tahu aku tidak pernah bermaksud membunuh bocah itu; aku hanya ingin makananku kembali.
Setiap hari di jalanan adalah pertempuran untuk bertahan hidup.
Aku tidak tahu berapa jam atau hari aku tinggal di bawah tangga tempat aku dan Camile dulu tidur. Akhirnya, ibuku menemukanku. Aku lalu menceritakan semuanya, dan ia bilang: “Christiana, berjanjilan padaku. Berjanjilan bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup, jangan pernah berhenti untuk melangkah!”
Waktu itu, Mamae punya bayi baru. Patriuque, namanya. Aku akan membawanya ke mana pun dengan kotak kardus yang sedikit lebih besar dibanding kotak sepatu, menggunakan lap untuk popok, dan surat kabar bekas untuk selimut. Aku mencintainya dengan sepenuh hati.
Ketika aku berusia 7 tahun dan Patrique 10 bulan, Mamae menitipkan kami di panti asuhan. Ia mengunjungi kami setiap minggu sampai, karena alasan tertentu, panti asuhan menolaknya.
Suatu hari, adakeributan kecil di depan panti asuhan. Mamae berteriak agar ia bisa bertemu denganku. Tapi petugas panti menolaknya. Aku yang tahu langsung berangsur ke depan untuk meraih tangan Mamae. Tapi upaya kami gagal.
Aku pun terpisah dengan Mamae.
Lalu pada Juni 1991, kami diadopsi. Umurku saat itu 8 tahun sementara Patrique hampir 2 tahun.
Dari 200 anak yang ada di sana, kami yang dipilih oleh pasangan kelas menengah Swedia, usianya pertengahan 40-an tahun, dan tidak punya anak. Meski kehidupan di panti tidak kalah brutal, tapi aku tetap takut ketika pertama kali masuk ke taksi bersama orangtua baru kami itu.
Kehidupan kami di Vindeln, Swedia, adalah kebalikan dari Sao Paolo. Hampir tidak ada kertas berserakan di jalanan, apalagi tumpukan sampah. Ada festival pertengahan musim, dan orang-orang menari-nari di sana denga gembira.
Meskipun di Swedia tampak indah, aku mengalami gegar budaya, culture shock kata orang antropologi.
Oleh orangtua baruku, Lilian-aan dan Sture Ricardsson, namaku diubah menjadi Christina. Mereka adalah seorang guru dan pedagang kayu. Aku belajar bahasa Swedia, bahkan sudah lupa bahasa Portugis hanya dalam hitungan bulan. Aku memanggil mereka ibu dan ayah sejak pertama kali.
Setelah bertahun-tahun berjuang bertahan hidup dan melawan kelaparan dan pelecehan, akhirnya aku punya harapan untuk masa depan.
Bertahun-tahun kemudian, untuk pertama kalinya aku terbang kembali ke Brasil. Setelah mencari ke sana ke mari, termasuk meminta bantuan panti asuhan tempat aku tinggal dulu, akhirnya aku menemukan ibu.
Mamae waktu itu sudah berusia 67 tahun dan telah menderita skizofrenia sepanjang hidupnya. Setidaknya selama 15 tahun ia mencariku dan Patrique, tapi tak seorang pun di panti asuhan yang memberi tahu keberadaan kami.
Oh iya, Patrique yang saat ini bekerja sebagai tukang las, langsung menyusulku menggunakan pesawat. Kami tidak memiliki apa-apa selain kekaguman terhadapa keberanian ibu. Sejak itu, kami rutin terbang ke Brasil untuk menengok perkembangan Mamae.
Tak lupa, aku juga mengunjungi gua dekat Diamantina, tempat tinggalku dulu bersama Mamae.