Advertorial
Intisari-Online.com – Dokter asal Surabaya ini memilih jalan hidup yang mungkin tidak lazim, yakni meninggalkan kemapanan untuk didedikasikan sepenuhnya bagi kemanusiaan.
Setiap hari dia blusukan ke ratusan kawasan kumuh di berbagai daerah untuk memberikan pengobatan gratis.
Semua demi menyenangkan hati Tuhan.
Siang yang terik, sebuah mobil sehat diparkir di antara dua blok rumah susun Randu, Kenjeran, Surabaya.
(Baca juga: Kata Dokter, Berhentilah Menggunakan Tisu Toilet dan Gantilah Dengan Tisu Basah, Ini Alasannya…)
Sebuah kawasan rumah susun yang dihuni oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Tampak masyarakat setempat antre dengan tertib menunggu giliran diperiksa oleh para dokter.
Sementara bagi anak-anak yang sehat, tersedia sebuah mobil pintar berisi berbagai macam jenis buku dan diajak bermain oleh para relawan.
Di mobil sehat, tampak dr. Michael Leksodimulyo, MBA, M.Kes, sedang menempelkan stetoskop di tubuh bayi yang tengah digendong ibunya.
Sang dokter bahkan begitu sabar mendengarkan keluhan ibu yang bayinya sedang demam.
Usai pemeriksaan, Michael mempersilakan pasien mengambil obat dari seorang perawat yang mendampinginya.
“Beginilah aktivitas saya dan teman-teman sehari-harinya. Kami memberikan pelayanan kesehatan tanpa memungut biaya sepeserpun,” kata Michael mengawali percakapan sambil duduk di sebuah kursi plastik.
Beberapa dokter umum, dokter gigi, serta perawat tampak mendampinginya bekerja, di bagian belakang mobil yang sudah disulap menjadi kamar obat.
(Baca juga: Rumah Sakit Identik Warna Putih, Kenapa Dokter Di Ruang Operasi Mengenakan Baju Hijau?)
Kiprah dokter asli Surabaya ini tak beda jauh dengan dokter Lo di Solo.
Bagai malaikat bagi kaum marginal, hampir setiap saat dia bersama timnya blusukan ke kawasan-kawasan padat penduduk, terminal sampai di tempat pembuangan sampah di Surabaya untuk memberi pengobatan gratis.
Sudah sekitar sembilan tahun ia menjalaninya.
Karena kepeduliannya itu, Michael sampai mendapat julukan sebagai ”Dokter Gelandangan”.
“Sudah menjadi sumpah saya, kalau jadi dokter maka dari ujung rambut sampai ujung kaki hidup akan saya abdikan untuk masyarakat miskin,” katanya penuh semangat.
Orangtua bangkrut
Kisah Michael menjadi pelayan kesehatan bagi kaum papa, sangat berliku dan pernuh warna.
“Rumah saya di Surabaya itu di jantung kota, setiap berangkat dan pulang sekolah dari SD-SMA di pinggir-pinggir jalan banyak sekali gelandangan. Saya lalu berpikir bagaimana nasib mereka ini, untuk makan saja susah, harus mengemis. Bagaimana kalau sakit?” kata Michael kecil.
(Baca juga: Dokter Aznan Lelo, 'Dokter Ikhlas' yang Tak Pernah Sekalipun Pasang Tarif untuk Para Pasiennya)
Sejak itu terpatri dalam hatinya, kelak setelah tamat SMA dia akan kuliah di kedokteran supaya setelah lulus bisa berbuat sesuatu untuk para gelandangan.
Mendengar itu, orangtuanya gembira. Siapa sih, yang tidak berbahagia punya anak yang bercita-cita jadi dokter.
Tapi cita-cita Michael tidak mulus. Menjelang tamat SMA, toko sepatu di Pasar Turi, milik orangtua yang menjadi sumber penghasilan satu-satunya ludes terbakar.
Musibah itu membuat perekonomian keluarga oleng, bahkan sampai jatuh miskin karena tidak punya penghasilan apa-apa lagi.
Kemiskinan yang membuat orangtuanya tak yakin bisa biayai kuliah.
Meski dihimpit kemiskinan, Michael tidak mau menyerah dengan keadaan dan tetap ngotot ingin jadi dokter.
Dalam doanya, ia berjanji kelak kalau bisa menjadi dokter, maka dari ujung rambut sampai ujung kaki akan dibaktikan pada orang tidak mampu.
(Baca juga: Patut Ditiru, Dokter Gigi Ini Luncurkan Program Membeli Kembali Permen Halloween dari Anak-anak)
Naik kapal barang
Karena keinginannya menjadi dokter sangat kuat, kedua orangtuanya tidak bisa melarang ketika ia berangkat ke Manado untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).
“Pertimbangan saya, karena kalau saya daftar ke Unair Surabaya kansnya lebih kecil untuk bisa diterima,” dalih Michael.
Dengan uang pas-pasan, ditambah gelang emas ibunya (hadiah pernikahan) yang bisa dijual kalau kepepet, dia naik kapal barang menuju Manado.
“Kalau naik kapal barang ‘kan murah. Jadi selama dua minggu saya tidur di dek kapal atau kamar mesin,” paparnya.
Ada kejadian di luar nalar yang tak bisa dilupakannya sampai saat ini. Begitu turun dari kapal dia bingung mencari tempat kos mengingat dirinya sama sekali tak pernah tahu kota Manado.
Saat berjalan kaki tak tentu arah, dilihatnya sebuah rumah kuno besar di pinggir jalan.
Iseng Michael mengetuk pintunya, siapa tahu bisa kos murah di tempat tersebut.
“Tapi begitu pintu dibuka yang keluar oma-oma tua yang cerewet dan marah-marah karena ketukan pintu saya dianggap menganggu istirahatnya,” kata Michael yang akhirnya bergegas pergi.
Di saat makan siang di warung kaki lima tiba-tiba itu muncul dorongan kuat agar dirinya kembali ke rumah Oma yang sempat dia datangi tadi.
Ia juga tidak mengerti, tapi seolah ada bisikan kuat saya harus kembali ke sana. Padahal, dalam hatinya takut, karena barusan kena semprot.
Oma yang cerewet
Dugaannya tak meleset, begitu kembali dan mengetuk pintu si Oma keluar lagi dan makin naik pitam.
Tapi Michael, dengan wajah agak ketakutan memberanikan diri untuk menjelaskan tentang latar belakang dan tujuannya ke Manado.
Bahkan dia menyampaikan kalau memang boleh bertempat tinggal disana dia sehari-hari bersedia untuk membantu apa saja.
Mendengar jawaban itu, Oma mulai melunak. Meski dengan wajah tidak bersahabat akhirnya dia disuruh masuk.
“Benar ya, kamu mau membantu di sini, kan?” kata Oma.
Begitu masuk halaman Michael langsung diantar ke sebuah gudang di sebelah rumah sebagai tempat tinggal.
Namun yang membuat dia heran, begitu masuk gudang kotor dan tak terawat itu di dalamnya terdapat rak-rak buku yang semuanya buku kedokteran.
“Saya tidak tahu itu rumah siapa. Malam itu saya tidur di lantai beralaskan kardus bekas.”
Keesokan harinya dia menuju Unsrat untuk mendaftarkan diri menjadi mahasiswa fakultas kedokteran.
Di saat mengisi formulir, petugas heran dengan alamat tinggalku di Manado. “Anda kok beralamat di sini, Anda ini siapa?,” kata petugas pendaftaran.
“Anda tahu tahu enggak ini adalah rumah mendiang Prof. Dr. Kandouw, pendiri Fakultas Kedokteran Unsrat yang meninggal beberapa bulan lalu,” kata sang petugas yang membuat Michael tercengang karena tak menyangka.
Mungkin dianggap masih kerabat atau ada hubungan personal dengan Prof. Dr. Kandouw semua berjalan lancar.
Tak hanya diterima, bahkan perlakuan fakultas sangat baik dengannya.
“Saya akhirnya bertahun-tahun tinggal disana bersama Oma, sampai Oma meninggal dunia. Tugas utama saya sehari-hari seperti layaknya pembantu membersihkan rumah, ” imbuhnya sambil tersenyum.
Yang membuat dia sangat bersyukur, selama kuliah dia tidak perlu lagi membeli buku. Sebab, dia memakai buku-buku kedokteran milik mendiang Prof Kandouw yang masih ada di tempatnya.
“Kegiatan saya sehari-hari kalau siang saya kuliah tetapi kalau malam saya jadi MC di acara-acara atau bermain musik di kafe-kafe,” kenang Michael.
Talenta Michael dalam bermusik memang sangat kuat. Ia bisa bermain hampir semua alat musik, termasuk gamelan dan tari jawa.
Uang dari hasil bermusik itu digunakannya untuk makan dan bayar kuliah yang waktu itu sangat murah.
Dokter serba bisa
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Michael sangat bahagia karena berhasil lulus menjadi dokter.
Seperti lulusan dokter pada umumnya dirinya kemudian harus mengabdi kepada masyarakat menjadi Kepala Puskesmas di pedalaman Berau, Kalimantan Selatan.
Selama tiga tahun ia mengabdi di puskesmas yang membawahi 32 desa itu.
Selama di Berau, momen membahagiakan adalah karena dia bisa bersentuhan dengan masyarakat pedalaman secara langsung.
“Ilmu saya berguna semua. Karena saya dokter satu-satunya di sana sehingga kadang menangani persalinan sampai mencabut gigi saya lakukan sendiri,” katanya bangga.
Usai mengabdi di Berau, ia kembali ke Surabaya dan menjadi dokter di RS. Gotong Royong.
Di tempat inilah ia pertama kali mendapat pelajaran tentang manajemen rumah sakit. Rumah sakit itu sendiri dibangun oleh dr. Supit yang memiliki jiwa sosial tinggi.
Di Surabaya itu pula, Michael akhirnya bertemu dengan Herlina (47) yang kemudian menjadi istrinya serta tiga anak perempuan: Cielo (17), Cella (15) dan Cellino (13).
Michael hanya sekitar setahun di RS. Gotong Royong. Kemudian ia bekerja di sebuah rumah sakit swasta ternama di Surabaya.
Karena kemampuan berkomunikasinya dianggap bagus, ia ditempatkan di bagian marketing. Di sanalah ia berkesempatan untuk berkuliah S2 di Universitas Airlangga dengan beasiswa.
Karena selama bekerja Michael menunjukkan kinerja yang baik, kariernya semakin hari makin meningkat.
Bahkan, akhirnya masuk dalam jajaran direksi. “Bukan hanya saya, ketiga anak saya sejak lahir sudah mendapat fasilitas istimewa dari tempat kerja saya,” katanya mengenang.
Secara jujur Michael mengakui, selama menjadi pejabat di rumah sakit, dirinya silau dengan kenikmatan dunia.
Kenikmatan yang menutup mata batinnya dari cita-cita untuk menjadi dokter demi kemanausiaan.
“Materi itu membuat mata saya jadi ‘katarak’ dan tidak ingat janji saya semula,” katanya sambil tertawa.
Namun nikmat duniawi itu mendadak berubah 180 derajat. Michael yang semula begitu bahagia dengan materi berlimpah, semua ditinggalkannya dan benar-benar mengabdi untuk kemanusiaan.
Sebuah kejadian membuat jalan hidup Michael berbalik drastis. Suatu ketika dia dihubungi Hana Amalia Vandajani (73), seorang pengusaha.
Hana, sebenarnya ibu rumah tangga biasa yang kebetulan memiliki usaha kitchen set. Namun istimewanya, Hana memiliki jiwa sosil luar biasa dan sangat mencintai kaum papa.
“Dokter Michael, Anda mau saya ajak melayani orang di bawah jembatan? Kalau mau nanti setelah makan siang ikut ya,” tanya Hana yang langsung disanggupi Michael, mengingat ia belum pernah melakukannya.
Bertemu “malaikat”
Saat berangkat ke lokasi bakti sosial, Michael naik mobil bersama Hana. Di dalam perjalanan, tiba-tiba di pinggir jalan ada seorang pengemis jalannya ngesot.
Melihat pemandangan itu, Hana yang berpakaian rapi dan wangi spontan minta agar sopir memberhentikan mobilnya.
Begitu pintu mobil terbuka, Hana yang ketika itu masih berkebaya rapi karena baru saja datang dari acara bersama Gubernur Jatim, berlari mendekati orang tersebut.
Setiba di depannya, kemudian si pengemis tersebut dipeluk, dicium, dan diusap wajahnya yang kotor, lusuh dan bau dengan ujung bajunya yang bersih dan wangi dengan penuh kasih sayang.
Sambil memeluk, Hana menoleh kepadanya sambil berkata, “Dokter Michael kalau Anda menyenangkan hati orang ini maka sama halnya Anda menyenangkan Tuhan.”
“Jujur, pemandangan itu menyentak batin saya. Saya seolah dibangunkan dari tidur. Dalam batin saya berkata, ‘seharusnya yang melakukan seperti itu bukan Bu Hana tetapi saya, karena saya dulu pernah berujar kalau jadi dokter akan membaktikan diri untuk orang miskin’,” kata Michael.
Sepulang dari acara tersebut ia mengaku selalu termenung bahkan terkadang menangis. Melihat keganjilan itu, istrinya kemudian bertanya.
“Saat itu saya berterus terang kepada istri termasuk rencana untuk keluar dari rumah sakit untuk total mengabdi untuk kaum papa,” paparnya.
Mendengar rencana tersebut, istrinya yang terlahir dari kalangan kaya itu spontan menolak.
“Saya mau jadi istrimu dulu maksudnya kelak mendapat kenikmatan, bukan untuk ngurusi orang gelandangan seperti ini,” katanya dengan nada ketus.
Karena sudah bertekad bulat, Michael kemudian mengajukan pengunduran diri dari tempatnya bekerja.
Kemudian ia pindah ke Yayasan Pondok Kasih (YPK) yang didirikan Hana, yayasan yang khusus melayani kaum marginal.
Agar bisa bekerja dengan nyaman, Michael setiap hari berusaha melakukan pendekatan kepada keluarga.
Salah satunya, mengajak anak dan istrinya ikut acara ta’jil di kawasan kumuh selama bulan puasa.
Istrinya memasak, sedang anak-anak membagikannya. “Karena dilakukan setiap hari, lama kelamaan anak istri saya bisa menerima pilihan hidup saya,” papar Michael.
Ingin memberi contoh
Bekerja dalam sebuah kegiatan sosial, tentu penghasilan jauh menurun.
Karena itu saat ini Michael mencari penghidupan dari hasil praktik dokter umum di rumahnya, mengajar keperawatan di sebuah PTS swasta, serta menjadi pembicara di berbagai seminar.
Akan tetapi yang membuat Michael amat bahagia, doktrin darinya sudah meresap ketiga anaknya.
Sebab, semua ingin bercita-cita ingin menjadi dokter. “Saya ingin menjadi dokter gelandangan seperti papa,” kata Michael menirukan ucapan anak-anaknya.
Saat awal merintis memberikan layanan kesehatan ke ratusan komunitas orang miskin di berbagai sudut kota Surabaya bukan berarti tanpa tentangan.
Yang sering terjadi, Michael bersama tim dianggap mau menyebarkan paham agama yang dianutnya.
“Sering saat saya membagikan obat, malah dilempar balik ke muka saya. Mereka mengira kedatangan saya untuk mengajak masyarakat pindah agama yang saya anut,” cerita Michael sambil tertawa.
Bagi Michael yang kini bergiliran mendatangi 190 lokasi kantung kemiskinan, aktivitas ini murni sosial.
Bahkan sekarang YPK bekerja sama dengan berbagai pondok pesantren di berbagai daerah.
Beberapa perawat yang membantu di YPK juga perawat siswa dari berbagai pondok pesantren di Jatim.
“Syukurlah, saat ini hambatan tersebut sudah tidak ada lagi,” ujar Michael yang kini menjabat sebagai board of manager serta head division social humanitarian di YPK.
Michael ingin jejaknya diikuti dokter-dokter lain. Tidak perlu seluruh waktu, cukup sekian persen untuk melayani orang tidak mampu.
“Karena dalam sumpah seorang dokter ada hak kaum miskin yang menjadi bagiannya yang harus dia tunaikan,” kata Michael yang gembira karena salah seorang juniornya, dr. Jimmi, kini ikut membantu kiprahnya di YPK.
Perjuangannya sebagai seorang pekerja sosial tak sia-sia. Selain mendapat berbagai penghargaan dari beberapa lembaga di Indonesia, pada puncaknya Michael pernah mendapat penghargaan dari WHO karena pengabdiannya terhadap orang miskin.
(Ditulis oleh Gandhi Wasono M. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2017)
(Baca juga: Kok Ada Orang yang Banyak Makan, tapi Tak Pernah Gemuk? Begini Penjelasannya)