Penulis
Intisari-Online.com – Tanggal 30 April 1980, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-71, Ratu Juliana turun tahta.
Tanpa terasa sudah lewat 31 tahun sejak la menjadi ratu tanggal 6 September 1948. Mungkin itu adalah saat yang tepat untuk menengok ke belakang.
Sebetulnya pengumuman penyerahan tahta ini wajar saja. Semua orang Belanda sudah merasa bahwa waktu sudah dekat. Hanya saatnya yang tidak terduga-duga. Sudah bertahun-tahun orang berspekulasi bahwa Ratu Juliana akan turun tahta pada hari ini atau hari itu.
Ternyata meleset semua. Maka pengumuman yang dilakukan pada hari ulang tahunnya ke 42 Putri Beatrix tanggal 31 Januari yang lalu agak mengejutkan. Radio Hilversum mengubah semua acaranya pada hari itu untuk memberitakan dan mengulas hal ini.
Persiapan sebetulnya sudah lama dilakukan. Ketika seorang rekan pada musim panas tahun 1978 ke Den Haag, temannya mengajak ia lewat di muka istana Noordeinde yang waktu itu sedang direstorasi untuk dipersiapkan menjadi istana Ratu Beatrix kelak.
Untuk ukuran seorang ratu, istana itu sederhana, tetapi yang paling tua di Negeri Belanda. Letaknya agak terhimpit di antara rumah-rumah orang biasa. Rumah itu memang bukan khusus dibangun untuk dihuni kepala negara.
Tahun 1951 Louise de Coligny, janda Willem van Oranye masuk ke rumah itu dengan anak-anaknya sebagai "rombongan" pertama keluarga Oranye. Rumah itu sebetulnya dibangun oleh seorang penagih pajak yang kaya raya dan baru kemudian naik pangkat menjadi istana.
Namun sebelum istana ini menjadi tempat kediaman resmi Ratu Beatrix, gedung itu juga dimanfaatkan oleh Instituut voor Sociale Studies (Lembaga untuk penyelidikan sosial). Masa itu dinding dan langit-langitnya ditutup rapat untuk pelindung.
Perayaan pertunangan Ratu Juliana tahun 1936 juga dirayakan di situ. Yang mungkin menarik bagi kita: di situ ada ruangan yang disebut "Indische Zaal" (ruang Hindia Belanda) yang penuh kayu ukir-ukiran dari dinding sampai langit-langit.
Di atas tahta tinggi bersila patung-patung buddhis seperti Prajnaparamita. Sebuah lampu gantung dengan tigapuluh lampu dan lampu dinding melengkapi ruangan unik ini, hadiah dari Sunan Solo pada perkawinan Ratu Wilhelmina tahun 1901.
"Pacaran" di atas es
Menjadi anak tunggal dan sekaligus putri mahkota bukan tugas yang mudah. Hal ini dialami Juliana yang lahir tanggal 30 April 1909. Kedatangannya memang dinanti-nantikan oleh orangtuanya dan rakyat, karena sebelumnya mereka sudah dua kali dikecewakan.
Pada usia muda ia sudah dipersiapkan untuk tugasnya kelak. Sebagian besar dari waktunya diisi dengan pelajaran dari guru-guru yang dianggap kompeten yang ahli dalam bidangnya.
Ia sudah sering ikut dengan ayahnya atau neneknya untuk melakukan tugas resmi. Bagi seorang anak ini belum tentu peristiwa yang menyenangkan.
Namun konon saat yang paling dinanti-nantikan Juliaantje ialah musim dingin. Pertama karena di musim dingin, ia tidak terlalu menjadi bahan tontonan, sehingga ia bisa bergerak lebih bebas.
Tetapi juga karena ada "rahasia" lain. Pada saat itu ia boleh membeli pohon natal di Voorhout. Bersama ibunya ia naik kereta luncur yang ditarik kuda, main skate di belakang Istana "Huis ten Bosch" atau di lapangan es kelab es Den Haag.
Di tempat terakhir inilah si kecil bertemu dengan si "dia" yang bertopi putih bergaris biru. Saat itu musim dingin tahun 1916. Si dia itu sekepala lebih tinggi dari Juliaantje. Wajahnya terbuka dan penuh inisiatif.
Rupanya hubungan mereka cukup akrab. Mereka sering berlomba berdua di atas es. Setahun kemudian mereka bertemu lagi dan ingin main skate berdua sambil berpegangan tongkat. Mungkin pengasuhnya berpikir: Bolehlah, asal saya di tengah.
Bagaimana juga masa kanak-kanaknya berlalu cukup mengesankan. Kemudian disusul titik puncak ketika ia masuk Leidse Universiteit. Ketika itu ia bisa bebas bergaul dengan masyarakat dan teman-temannya.
la suka berjalan-jalan bersama mahasiswa lain. Satu pengalaman yang sering menjadi pembicaraan orang, ialah ketika dalam iring-iringan ia berjalan di depan dan salah seorang rekan di belakangnya berkata kepada teman lain: "Aduh tungkainya besar amat. Mirip tiang".
Mendengar kata-kata itu gadis di depan menengok ke belakang dan sambil tersenyum berkata: "Cocok. Jangan lupa. Ini tiang yang menopang wangsa Orange".
Baca juga: Pada PD II, Ternyata Ratu Elizabeth II Pernah Menjadi Anggota Militer dan Mekanik Truk
Setelah ayah dan neneknya meninggal, masa mudanya sebetulnya sudah berakhir. Sekitar tahta Oranye tinggal dua wanita. Keadaan sepi sampai Putri Juliana ketemu jodoh, Pangeran Bernhard. Mereka menikah tahun 1937 dan tak lama kemudian dikaruniai anak.
Lalu tiba tahun 1939, Perang Dunia II pecah. Tahun 1940 negeri Belanda diduduki Nazi. Ratu Wilhemina mengungsi ke Inggris dan putrinya sekeluarga ke Kanada. Rakyat Belanda dan ratunya mengalami masa yang sulit.
Setelah perang usai, kesehatan Ratu Wilhelmina mundur, sehingga ia seharusnya sudah turun tahta. Namun ia ingin menunggu sampai perayaan naik tahta 50 tahun. Tetapi sebelumnya dua kali ia menyerahkan pimpinan negara kepada putrinya untuk sementara, yaitu sebelum Juliana naik tahta sccara definitif tanggal 6 September 1948.
Anti jalan mundur
Pada masa pemerintahannya Ratu Juliana mengubah gaya pemerintahannya. la tidak lagi mau orang berjalan mundur menuruni tangga pada defile hari ulang tahunnya. Dulu orang tidak boleh berjalan biasa karena dianggap tidak pantas untuk membelakangi ratu.
Pegawai istana Soestdijk boleh memanggil nama kecil anak-anaknya. Kalau ratu melakukan kunjungan kerja rakyatpun boleh menyapanya.
Baca juga: Inggris Boleh Berantakan, Tetapi Ratu Harus Tetap Bertahan
Rupanya ini pengaruh perang. Ratu Wilhelminapun kembali dari Inggeris dengan sikap baru. La tidak mau langsung masuk istana setelah kembali ke Belanda, tetapi setahun lamanya ia tinggal di sebuah rumah golongan menengah di Scheveningen.
Ia merasa tidak pantas tinggal di istana ketika rakyatnya menderita.
Sejak itu Putri Juliana juga solider hidup sederhana. Ratu Juliana memang suka sikap tidak formal. Kalau ia mengunjungi malam sandiwara atau kabaret, tontonan kesayangannya, artis tidak langsung diusir setelah memberi salam.
la mengobrol dulu dengan mereka dan minum- minum. Di situ jelas bahwa ia tahu persis mengenai malam-malam pcrdana dan suka duka artis. Bisa dimengcrti karena dia sendiri juga suka main sandiwara di teater istana.
Scmua orang di Belanda juga tahu bahwa ia suka makanan camilan dan merokok. Ia sering menuangkan kopi sendiri untuk tamu dan waktu malam mempersiapkan makanan kecil sendiri di istana Soestdjik.
Baca juga: 65 Tahun Berkuasa, Begini Anggunnya Ratu Elizabeth II Ketika Dinobatkan Menjadi Ratu Inggris
Rupanya penyederhanaan dalam protokol dan modernisasi dalam kunjungan resmi juga mendapat perhatiannya. Ia seperti melakukan kampanye untuk hal itu.
Tahun 1977 di mana-mana, bahkan selama kunjungannya di luar negeri ia selalu naik Ford Granada biru, mobil yang "buruk" dibandingkan dengan limousine kerajaan lain. Pakaiannya juga tidak memberi kesan mewah.
Mungkin ia paling suka dikenang sebagai ratu sederhana, yang dekat di hati rakyatnya. Itu juga tercermin dari pidato pengumumannya untuk turun tahta yang seperti pernyataan seorang ibu kepada anak cucu.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1980)
Baca juga: Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia