Advertorial

Inggris Boleh Berantakan, Tetapi Ratu Harus Tetap Bertahan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Bulan April 1996, bangsa Inggris merayakan ulang tahun Ratu Elizabeth II yang ke-70. Rakyat tetap hormat dan khidmat, walau citra keluarga Istana Buckingham kini tak lagi lndah. Zaman memang telah berubah.

Hampir tak ada bangsa lain di dunia yang rasa menduanya sebesar Inggris. Dasawarsa 1970-an, ketika semangat republik melanda, sangat banyak orang menghendaki agar monarki bubar saja.

Namun di sisi lain, mereka tak mau kehilangan rasa bangga sebagai bangsawan, juga enggan dibilang tidak aristokrat. Pun peristiwa belakangan, ketika tabloid gencar mengusik-usik kehidupan penghuni istana, mereka senang bukan kepalang.

Padahal mereka pun tahu, penyelewengan dan perceraian juga terjadi di banyak tempat. Tapi masyarakat tak mau menerima jika hal itu terjadi di kalangan penghuni istana. Dalam hati kecil mereka bahkan berharap, semoga gonjang-ganjingnya Istana Buckingham tak sampai mempengaruhi kepemimpinan Ratu Elizabeth II.

Baca juga: 65 Tahun Berkuasa, Begini Anggunnya Ratu Elizabeth II Ketika Dinobatkan Menjadi Ratu Inggris

Sang Ratu, bagi orang Inggris, memang masih membanggakan dan jadi pusat kebanggaan. Biarpun perkawinan anak-anaknya berantakan, biarpun istana dilanda kebakaran, biarpun hak-hak istimewa warga istana berkurang, rasa hormat kepadanya tak pernah lekang.

Bisa jadi itu tak terlepas dari caranya membawa dan menempatkan diri sebagai pemimpin tertinggi salah satu monarki tertua di Eropa. Makin lama makin sempurna, dan tahun ini, di saat usianya 70 tahun, menjadi momentum paling mengesankan dari 44 tahun masa kepemimpinannya, atas bangsa yang sedang mengalami perubahan besar di banyak bidang.

Tertutup bagai misteri

Citra Sang Ratu sangat terjaga. Kalau dapur rumah tangga anak-anaknya bisa terbuka dan diketahui umum, tidak demikian halnya Ratu Elizabeth II. Kalaupun sesuatu tentang dia terberitakan, pastilah secara tak langsung, dan selalu mengenai hal yang baik.

Itulah yang diceritakan William Shawcross dalam beberapa artikel di The Sunday Times, sekitar ulang tahun ke-70 Ratu Elizabeth II. "Ciri paling istimewa dalam politik Inggris," tulis Shawcross, "adalah terdapatnya semacam misteri di pusat kekuasaan. Walau sesungguhnya perdana menteri punya peranan besar, Sang Ratu adalah tokoh yang paling banyak dibicarakan."

Pada artikel yang berbeda Shawcross menceritakan betapa mustahilnya meminta pendapat mengenai Ratu Elizabeth II dari para mantan perdana menteri, yang pasti tahu karena setiap Selasa sore menghadap Ratu.

Baca juga: Hak Istimewa Ratu Elizabeth: Punya Mesin ATM Pribadi Hingga Kebal Hukum 100%

"Sir Edward Heath, Lord Callaghan, maupun Baroness Thatcher, semuanya menolak dengan halus. Ada semacam konspirasi di sekitar Ratu yang bersepakat bungkam."

Ribuan foto, cerita, film, dan pembicaraan tentang dirinya telah ada. Tapi semua tak pernah berdasarkan keterangan langsung dari dia. Orang tak pernah tahu secara persis mengenai diri, perasaan, atau pikirannya.

Cukup banyak yang heran atau bahkan gusar, "Kenapa Ratu tak pernah mau berwawancara, sementara pemimpin dunia lain melakukannya?" keluh beberapa penulis yang dikutip Shawcross.

Douglas Hurd, mantan menteri luar negeri Inggris, punya kesan, "Di muka publik, Ratu bagaikan sphynx." la benar-benar berada di atas menara gading; "tak tersentuh".

Hurd menambahkan, sejak Ratu Elizabeth II naik tahta, 1952, tak kurang dari 1.400 perbincangan Selasa sore dengan perdana menteri telah dilakukannya. Hebatnya, tak sekali pun pembicaraan itu bocor ke luar. "Itulah kekuatannya."

Baca juga: Pantas Anjing-anjing Ratu Elizabeth II Disebut 'Anjing Paling Beruntung di Dunia', Menu Makanannya Saja Sangat Mewah

Tak mau mengulangi kesalahan ayahnya

Kendati demikian, Ratu Elizabeth II bukanlah makhluk kaku tanpa dinamika. Dari tahun ke tahun ia berubah mengikuti zaman. Tak seperti penguasa sebelumnya yang selalu serius di muka umum, ia banyak tersenyum kendati tak terlalu mengumbar.

"Itu bisa dimengerti, karena seorang ratu bukanlah penampil (performer)," kata Robert Lacey, penulis buku Majesty. "Itu pun sebuah perubahan besar, jika diingat, Raja George V bersikukuh dengan pendiriannya, 'Kami, pelaut, tidak tersenyum selagi bertugas'."

Ratu Elizabeth memang mengerti betul tempat bagi dirinya, baik bagi bangsa Inggris sendiri, bagi 51 bangsa persemakmuran, juga bagi dunia. Sebuah konsistensi besar dan berjangka lama, dilihat dari saat pertama kali naik tahta, 2 Juni 1952 pada usia 26 (ia lahir pada 21 April 1926, pukul 02.40 dini hari).

Ada juga keluwesan tertentu untuk menyesuaikan dengan zaman, selain memang kecerdasannya yang cukup tinggi, membuat Elizabeth Longford, penulis The Queen -The Life of Elizabeth 11 (1983) terkagum-kagum.

"Daya ingatnya di atas rata-rata, sehingga selalu punya pertimbangan yang berimbang akan suatu masalah, dan diputuskan dengan kompetensi tinggi," kata Longford.

Baca juga: Putri Margaret, Adik Ratu Elizabeth II yang Kisah Cintanya Tak Seberuntung Kakaknya

Constantine, bekas raja Yunani yang diasingkan dari negaranya dan sekarang bermukim di Inggris, menambahkan, "Hanya dengan menilai sesaat, ia segera bisa tahu bahwa sesuatu keterlaluan atau tidak."

Presiden Republik Ceko, Vaclav Havel, punya kesan, "Saya kagum akan kemampuannya menggabungkan martabat tahtanya (dignity of throne) dengan cara menghadapi sesuatu secara tulus menurut kemampuannya."

Sedangkan sejarawan Inggris David Cannadine punya kesimpulan, "Selama berabad-abad monarki menjadi tujuan dan identitas orang Inggris, sekarang monarki lebih terefleksikan dalam sikap tenang; itu berkat kepemimpinan Ratu."

Ketenangan, kecerdasan, sekaligus hasratnya menegakkan monarki sesuai dengan tuntutan zaman, kata Cannadine, antara lain terbukti saat Perang Malvinas. Perdana Menteri Margaret Thatcher yang begitu emosional untuk segera menyerbu, sempat ditenangkan Ratu.

Bukan untuk ditolak, melainkan disarankan untuk meyakinkan kembali kemampuan Angkatan Bersenjata Inggris, agar kalaupun perang haruslah demi kemenangan.

Baca juga: Setelah Rebut Pangeran Charles dari Putri Diana, Beginilah Perlakuan Ratu Elizabeth pada Camilia, Sungguh Tak Terduga!

Banyak analisis atas keberhasilan Ratu Elizabeth II memimpin "monarki internasional" (istilah ini dicetuskan oleh Frank Prochaska, pengarang buku Royal Bounty, antara lain karena cakupannya atas negara-negara persemakmuran).

Masing-masing bisa saling berhubungan, sebagaimana tercermin dalam komentar atau pujian tadi.

Ratu Elizabeth II benar-benar memisahkan urusan politik dengan kemasyarakatan. Kata Douglas Hurd, Ratu tidak mau merigulangi kesalahan mendiang ayahnya yang terlalu mencampuri urusan politik ketimbang seremonial.

Raja George VI ingin identik dengan kebijakan politik PM Chamberlain. Padahal sejarah membuktikan, langkah itu justru merugikan pamor raja sendiri.

Sejarawan juga mencatat, sejak pemerintahan Raja George III, keluarga kerajaan lebih identik dengan bidang sosial seperti pengabdian dan penyantunan. Pada akhir abad XVIII, misalnya, keluarga kerajaan tercatat menyantuni 18 lembaga.

Baca juga: Jadi Wanita Terkaya di Dunia, Inilah Isi Brankas Ratu Elizabeth II

Saat Ratu Victoria wafat (1901), jumlah lembaga semacam itu mencapai 1.200 buah. Sekarang, jumlahnya tak kurang dari 3.500 badan, baik yang dilindungi, disantuni, maupun diurusi langsung.

Memang, seperti dibilang Frank Prochaska, kerajaan menjadi semacam kawasan penyangga antara pusat pemerintahan dengan rakyat. Itubisa terjadi karena dikehendaki Ratu Elizabeth II.

Saling membungkukkan badan

Sang Ratu tidak dengan sendirinya bebas dari kritik. Apalagi kalau dilihat fakta yang terjadi, hampir setiap tabloid tak pernah melewatkan cerita tentang istana.

Kalaupun ketertutupan dan misterinya adalah sebuah kekurangan yang tak bisa diapa-apakan, toh setiap kali bisa pula ditafsirkan sebagai upaya untuk menutupi kelemahan. Seorang kawan wanitanya pernah menyampaikan kesan kepada Shaweross, "Ratu adalah pemberi nasihat yang baik, tetapi bukanlah pribadi yang hangat."

Dalam kunjungan ke luar negeri pun, tak setiap kali Ratu disambut hangat. Ketika berkunjung ke Kanada tahun 1964, contohnya, ia dikecam habis oleh warga Kota Kuba.

Baca juga: (Foto) Manisnya Kisah Cinta Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip: Usia Pernikahan Mereka Sudah 70 tahun tapi Masih Saling Mencintai

Kritik yang selalu muncul dari waktu ke waktu datang dari kaum republikan, mereka yang menganggap pemerintahan monarki parlementer tak cocok lagi. Bahkan tak sedikit kaum ekstrem yang menyarankan, bubarkan saja kerajaan.

Kita tahu, bangsawan Inggris terdiri atas pelbagai jenis dan strata. Ada yang memang melekat pada diri seseorang karena faktor keturunan, ada pula yang tituler seperti halnya Baroness Thatcher.

Bagi sementara orang, gelar mungkin sesuatu yang sangat berarti. Namun bagi kaum republik, itu bisa berarti simbol penyerahan diri kepada nilai-nilai feodal.

Tony Benn, tokoh tua republikan mengecam, "Inggris adalah negeri paling tidak egaliter dan sangat memaksakan pola itu kepada rakyatnya. Apa-apan itu? Jika Anda seorang Mister atau pria biasa, Anda harus membungkukkan badan kepada seorang knight.

Jika Anda seorang knight, Anda harus membungkukkan badan demi seorang baronet. Kemudian baronet membungkukkan badan kepada baron, baron kepada viscount, viscount kepada earl, earl kepada marquess, marquess kepada duke, dan semuanya kepada orang yang bertahta."

Baca juga: Yuk Intip dan Jangan Sembrono, Ini Aturan Wajib Saat Makan Bareng Ratu Elizabeth II

Memang, kenyataan yang terjadi tidaklah sekarikatural yang diungkapkan Benn. Masyarakat umum melihat, setengah abad belakangan ini, yang 44 tahun di antaranya diperintah oleh Ratu Elizabeth, pola penghormatan bagi bangsawan banyak berubah.

Lagi pula para bangsawan makin sadar mereka cumalah manusia biasa, bukan patung lilin di menara gading.

Peranan Ratu sebagai pemimpin tertinggi gereja dan angkatan bersenjata makin tak menonjol. Sejak pemerintah mengeluarkan Options For Change Plans (1991), banyak perubahan terjadi. Ratu Elizabeth membayar pajak.

Anggota kerajaan yang digaji dengan uang rakyat hanyalah Ratu, Pangeran Philip, dan Ibu Suri. Pada sisi lain, pengaruh dunia juga membawa dampak. Selewat era Perang Dingin, tentara kerajaan - yang pada 1950-an berjumlah 800.000 orang - sekarang tinggal 300.000 saja.

Rencananya, sampai akhir abad ini jumlahnya akan jadi 200.000 saja.

Baca juga: Bukan Ratu Elizabeth II, Inilah Keluarga Kerajaan Terkaya di Eropa

Dewasa ini, Kerajaan Inggris dirumuskan para ahli tata negara sebagai Welfare Monarchy alias monarki kesejahteraan.

Rakyat pun rupanya menerima. Mereka tak lagi mudah dipengaruhi suara kaum republikan yang dulu sering memerahkan telinga. Perbandingan survai The Sunday Times menyajikan bukti: kalau pada tahun 1984 77% orang menduga Inggris akan lebih buruk jika monarki dihapus, sekarang tinggal 34%.

Yang mengherankan, popularitas Ratu tetap bertahan di angka 74 - 75%, bagaikan tak terpengaruh ada tidaknya monarki.

Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Pangeran Charles, misalnya. Kalau tahun 1990 83% orang Inggris yakin Charles akan jadi raja yang baik, sekarang tinggal 41% saja.

Kelakuan anak-anaknya menjadi masalah berat

Menurut William Shawcross, 2 hal penting yang membebani Ratu dalam tahun ke-44 tahtanya kini adalah perubahan luar biasa masyarakat dan kelakuan anak-anaknya. Keduanya bisa menjadi sebab sekaligus akibat, saling mempengaruhi.

Baca juga: Ratu Elizabeth II Ketemu Philip Pertama Kali Waktu Masih Ngompol

Ada kemerosotan moral yang melanda, dan itu sebetulnya juga terjadi di seluruh dunia. Perceraian, penyelewengan, dan semacamnya, adalah kasus yang jumlahnya terus meningkat. Sementara itu, anak-anaknya juga terlanda masalah yang sama.

Ratu dipaksa harus memahami, bahwa segala hal yang terjadi di luar berlangsung juga di dalam keluarganya. Ini sesuatu yang sesungguhnya tak dikehendaki rakyat.

Suasana menjadi pelik manakala keretakan Duke dan Duchess of York berlangsung pada saat kehidupan pribadi warga istana makin transparan di mata masyarakat, jauh lebih rumit ketimbang saat perceraian Putri Anne – Mark Philips dulu.

Belum lagi usikan bertubi-tubi terhadap pasangan Wales, yang harus melalui liku-liku sebelum pisah.

Tentu saja keduanya berbeda. Jika Andrew --Sarah, yang cerai awal April lalu, masih bisa saling berhubungan sebagai teman, tidak demikian halnya dengan Diana - Charles. Selain ada embel-embel calon pewaris tahta bagi putra sulung pasangan ini, keduanya hampir mustahil berhubungan lagi dalam bentuk apa pun.

Baca juga: Inilah 9 Hadiah Unik Untuk Ratu Elizabeth II. Bukan Tas Mewah, Melainkan Hewan Peliharaan Langka yang Eksotis!

Pada saat yang sama, masyarakat tak kunjung jera mencari tahu perihal gosip-gosip sekitar istana. Lagi-lagi Ratu harus mengintervensi kehidupan pribadi anak-anaknya, menentukan bagaimana mereka harus bersikap terhadap media.

Daripada peristiwa kebakaran yang melanda Istana Windsor tahun 1992, yang kemudian dirangkai dengan berbagai persoalan dalam negeri lain menyebabkan Ratu menyebut saat itu adalah "Tahun Mengerikan", persoalan anak-anaknya jauh lebih pelik.

Padahal, terhadap dunia luar, Ratu harus menampilkan citra diri yang tidak terpengaruh oleh segala kejadian itu. Sungguh terasa bebannya ketika buku tentang Diana karya Andrew Morton terbit, 1992, ia tengah berada di Prancis.

Tahun 1994, saat buku mengenai Pangeran Charles karya Jonathan Dimbleby terbit, Ratu sedang berkunjung ke Moskwa.

Untung bagi Ratu, masyarakat di dua tempat dan pada saat yang berbeda itu berbalikan dengan masyarakatnya sendiri di Inggris. Jika di dalam negeri orang tertarik pada skandal anaknya, di Prancis dan Rusia orang lebih tertarik kepada dirinya.

Begitulah. Pamor Sang Ratu bagaikan tak surut oleh segala keruwetan yang melanda anak-anaknya. Maka, bisalah itu ditafsirkan sebagai keberhasilannya mengatasi krisis, melampaui salah satu ujian kepemimpinan.

Sampai kapan ia akan bertahan, dan bilamana pandangan orang atas dirinya tak lagi sebaik sekarang, waktu yang akan mengujinya. (SL – Intisari Juli 1996)

Baca juga: Panjang Umur, Apa Sih yang Dimakan dan Diminum Ratu Elizabeth ketika Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam?

Artikel Terkait