Penulis
Intisari-Online.com - Memiliki penglihatan yang tajam hingga kakek-nenek tentu diinginkan tiap orang. Namun, tak semua orang beruntung mendapatkannya. Kini setidaknya 285 juta penduduk dunia mengalami masalah penglihatan. Parahnya lagi, 39 juta jiwa (14 persen) mengalami kebutaan. Sisanya menderita gangguan low vision. Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Prof. Nila F. Moeleok, angka kebutaan nasional telah mengalami peningkatan 0,9 persen dalam 60 tahun terakhir, berdasarkan survei pada tujuh provinsi.
“Bahkan, ada satu daerah yang mencapai 4 persen. Padahal Vision 2020 menargetkan 0,5 persen” jelasnya dalam konferensi pers “Hari Penglihatan Dunia 2016”, di Jakarta, Jumat (7/10).
Vision 2020 merupakan inisiatif dari WHO untuk menghilangkan yang bisa dihindari pada 2020. Sebelumnya, program ini sudah dilakukan sejak 1996 yang diikuti lebih dari 20 organisasi internasional. Selidik punya selidik, sebenarnya penglihatan tak hanya menyoal kesehatan mata saja.
Gangguan mata juga bisa memberikan rentetan pada masalah lainnya. Sebut saja pekerjaan hingga kecelakaan lalu lintas. Menurut WHO, gangguan penglihatan bisa memungkinkan kita untuk tiga kali lipat kehilangan pekerjaan dan kecelakaan. Bahkan, juga bisa meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan.
Untuk tahun ini, Menkes akan memfokuskan pada penyakit katarak dan refraksi. Umumnya, seseorang akan menderita katarak di usia 60 tahun. Namun, di Indonesia penderitanya lebih muda. Yakni, minimal berusia 45 tahun. Kok bisa? Usut punya usut, hal ini disebabkan pancaran sinar UV yang lebih banyak pada negara tropis. Sinar UV inilah yang mempengaruhi daya tangkap mata.
Sebenarnya gangguan mata seperti katarak bisa disembuhkan kok. Asal, terdekteksi dini dan segera ditangani. Makanya, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter bila ada keganjilan dengan mata Anda. Kita juga tak perlu repot-repot ke rumah sakit atau doktes spesialis. Berkunjung ke Puskesmas saja juga cukup kok.
“Dokter di sana (puskesmas) sebagai gatekeeper, dokter tahu bedanya penyakit mata yang perlu dirujuk atau cukup diobati sendiri,” jelas Menkes
Lain katarak, lain pula refraksi. Menurut dr. Ari Djatikusomo, dari Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, gangguan penglihatan mata yang berhubungan dengan penggunaan kacamata ini, telah menarik perhatian ahli medis. Sebab menurut WHO pada 2006, 13 juta dari 153 penderita refraksi adalah anak-anak berusia 5-15 tahun. "Sebagai orangtua, sebaiknya memperhatikan kebutuhan anak dimana nilai yang jelek bukan berarti anak tidak pintar, tapi bisa saja karena ada gangguan penglihatan," imbuhnya.