Penulis
Intisari-Online.com -Tak hanya Donald Trump, fakta menunjukkan, ternyata banyak juga yang membenci Hillary Clinton, calon presiden AS dari Partai Demokrat itu. Ia bahkan dituduh terlibat dalam kontroversi dan beberapa kasus konspirasi.
“Ia berbohong, penipu, perempuan narsistik yang tak layak mendapat apa pun kecuali penjara seumur hidup,” ujar Emily Longworth dari Negara Bagian Georgia. Komentar perempuan 25 itu bisa kita temukan di Facebook maupun YouTube.
Emily menjadi juru bicara kelompok yang berjualan kaos bertuliskan, “Penjarakan Hillary”. Menurut kelompo ini, patut dipenjarakan untuk kontroversi investasi properti Whitewater di tahun 1990-an.
Hillary pernah dianggap bertanggungjawab untuk serangan terhadap area diplomatik Amerika di Benghazi, Libya tahun 2012, ketika ia menjabat Menteri Luar Negeri. Istri mantan Presiden Bill Clinton itu juga dianggap bersalah menggunakan server surat elektronik pribadi ketika sedang menjabat.
Banyak warga AS yang sepakat Hillary tercemar oleh kontroversi ini, dan mungkin bisa menjelaskan masih banyak yang tak suka pada dirinya. Namun kebanyakan pengkritiknya menahan diri dari bahasa seperti yang dipakai oleh Emily Longworth, yang akhirnya diblok oleh Facebook karena melanggar “standar kepantasan komunitas”.
Orang seperti Longworth tidak banyak, tetapi berisik. Di beberapa kesempatan kampanye Trump, beberapa pendukungnya berteriak, “Penjarakan Hillary!” Beberapa lagi memakai kaos bertuliskan “Trump that Bitch”. Ada lagi yang menggambarkan Hillary sebagai “pengabdi setan” dan memakai tagar #Killary di media sosial.
Bersifatmisoginis
“Saya melihat kedua calon diserang berdasarkan karakter fisik mereka, kepribadian mereka, serta keputusan yang mereka ambil di masa lalu,” kata Jennifer Mercieca, sejarawan yang ahli dalam retorika politik AS. “Satu unsur yang membedakan keduanya adalah bahwa Hillary diserang soal fakta bahwa ia perempuan, dan Trump tidak pernah mengalami itu.”
Banyak serangan terhadap Hillary bersifat misoginis atau terkadang penggunaan kata “bitch” atau “sundal”. Satu lagi yang jadi serangan terhadap Hillary adalah skandal seks suaminya di tahun 1980-an dan 1990-an.
Tahun lalu bahkan Trump sendiri sempat menyampaikan ulang sebuah cuitan di Twitter, “Jika Hillary Clinton tak bisa memuaskan suaminya, apa yang bikin ia berpikir bisa memuaskan AS,” –meski pada akhirnya Trump menghapus status itu.
Beberapa pengkritiknya tetap curiga ia terlibat dalam skandal itu sebagai pengatur upaya membuat para perempuan yang terlibat itu diam, atau menjelek-jelekkan karakter mereka. Dalam sebuah film dokumenter berjudul Hillary's America: The Secret History of the Democratic Party, penulis konservatif Dinesh D'Souza bahkan berpendapat Hillary Clinton mendorong agar suaminya tidur dengan perempuan lain.
Teori konspirasi
Selama beberapa dekade keluarga Clinton berada di jabatan publik, polatisasi politik AS meningkat. Peningkatan ini sebagian disumbang oleh suara-suara radikal di internet dan acara bincang radio.
Trump sendiri ikut serta di dalam kontroversi itu dengan menyampaikan beberapa teori konspirasi untuk menyerang baik keluarga Clinton maupun Presiden Bacak Obama. November lalu misalnya ia menyatakan pemilu mungkin “sudah diatur” untuk memenangkan Hillary serta menuduh bahwa Hillary dan Obama adalah para pendiri kelompok yang menamakan diri negara Islam atau ISIS.
Sejak lama Trump menuduh Obama adalah seorang Muslim dan berkali-kali ia menyebut Hillary sebagai “setan”. Menurut Alexander Zaitchik, penulis buku Gilded Rage: A Wild Ride Through Donald Trump's America, pencalonan Trump ternyata membuat teori konspirasi “diterima” oleh orang-orang yang merasa politik mainstream sudah gagal.
Misalnya, penyiar radio dan pendukung Trump, Alex Jones, menuduh bahwa serangan 11 September dan pengeboman di Boston Marathon dirancang oleh pemerintah. Dalam beberapa siarannnya, Jones memasang video yang menyamakan Hillary dengan binatang pemakan bangkai hyena.
Menurut Jennifer Mercieca, retorika di pemilu kali ini sudah berbahaya. “Ketika kita memperlakukan politik seperti olahraga atau perang, kita membuat diri kita sendiri menjadi seperti penggemar atau prajurit,” kata Jennifer. “Kita akan bersorak mendukung atau mencemooh, atau semata menuruti perintah.”