Find Us On Social Media :

Puasa, Media Introspeksi Agar Kepentingan Lahiriah Tak Lagi Bertentangan dengan Hati Nurani

By Agus Surono, Sabtu, 27 Mei 2017 | 18:00 WIB

Puasa sebgai Pengendali Diri

Berpuasa dengan motivasi keimanan dan ketulusan hati - lantaran dijamin bisa menenangkan nafsu muthmainnah atas nafsu-nafsu lainnya - sebenarnya potensial buat mengendalikan berbagai macam nafsu atau bahkan menetralisasi setiap bentuk emosi yang bersifat destruktif.

Pakar terdahulu di bidang psikologi, Sigmund Freud, telah menganalisis jiwa manusia atas tiga elemen, yaitu Id, Ego, Superego. Id (naluri) merupakan bagian jiwa yang memberi motivasi alamiah pada perilaku manusia.

(Baca juga: Sesekali Kita Perlu Puasa Media Sosial)

Id terletak di alam tak sadar. Ego atau "keakuan" kita merupakan bagian mental yang setia melaksanakan perintah id. Letak ego di alam sadar. Sementara superego (hati nurani) terbentuk setelah manusia berkembang mental dan moralnya melalui studi ilmu pengetahuan atau agamanya.

Jadi, orang yang berpuasa (apa pun agama yang dianutnya) berarti memberikan kekuatan konstruktif untuk dirinya sendiri.

Mengendalikan nafsu sepanjang siang hari dari makan-minum-koitus, yang sasarannya tak lain menenangkan superego atas kecenderungan id dan ego yang bisa melampaui batas.

(Baca juga: Polisi Muda Ini Ubah Lokasi Prostitusi Dan Miras Jadi Tempat Mengaji Dengan Uang Pribadinya)

Latihan spiritual berpuasa itu merekayasa jiwa sedemikian rupa agar kondisi kehidupan kita menjadi proporsional, sehingga kepentingan lahiriah kita tak lagi bertentangan dengan hati nurani. Sebab itulah, ibadah puasa boleh dibilang sebagai ibadah introspeksi.

Sebagai PNS atau aparat pemerintah, misalnya, bisa mempertanyakan pada diri sendiri, "Apakah diriku sudah benar-benar tidak mengorupsi uang rakyat?" Sebagai pedagang yang maunya untung besar, mempertanyakan, "Apakah diriku tidak seenaknya menaikkan harga barang untuk menghadapi Lebaran?" Sebagai wakil rakyat, mengintrospeksi diri, "Apakah diriku sudah benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat?"

Setiap ibadah yang diwajibkan Islam (shalat, puasa, zakat, haji), semuanya sarat dengan dimensi sosial. Bahkan ditegaskan bahwa ibadah yang dilakukan tidak berpahala jika mengabaikan kemanusiaan. Shalat, misalnya, baru bernilai jika mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. (Intisari)