Find Us On Social Media :

Tak Hanya dari Zaman Penjajah, Banjir Bahkan Sudah Melanda Jakarta Sejak Zaman Raja Purnawarman

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 22 Mei 2018 | 19:30 WIB

Intisari-Online.com – Rupanya banjir sudah melanda Jakarta bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pada akhirnya siapa pun orangnya, gubernur-lah yang ditantang untuk mengatasi banjir seperti yang selalu mereka janjikan saat kampanye.

Benarkah aliran kali Cakung dibelokkan untuk menanggulangi bahaya banjir di kota kerajaannya yang terletak di sekitar Priok ?

Meskipun sudah lewat beberapa bulan, kenangan (pada banyak orang tentunya kenangan pahit) pada banjir besar pembuka tahun 1977 ini belum juga berlalu dari ingatan kita.

Dan belum lama ini Bang Ali yang mengecam janji kampanye salah satu golongan, — bahwa jika mereka menang tahun depan Jakarta tidak akan banjir, — menyatakan bahwa tahun depan Jakarta tetap masih banjir.

Baca juga: (Video) Seperti Dunia Bawah Laut, Banjir di Sungai Crystal Clear Ini Menakjubkan

Memang rupa-rupanya bukan saja tahun kemarin, tahun ini dan tahun depan Jakarta kebanjiran, tetapi juga  di jaman penjajahan tempo dulu, bahkan mungkin dalam abad ke 5 Masehi !

Mungkin sekali raja Purnawarman penguasa kerajaan Tarumanagara juga harus menanggulangi banjir yang melanda kerajaannya

Prasasti pada batu bulat telur yang ditemukan di desa Tugu dekat Tanjung Priok merupakan catatan tertua di bumi Indonesia tentang suatu karya pengairan.

Prasasti yang berbahasa Sansekerta itu menyebutkan sebatang sungai bernama Candrabhaga, yang dahulu digali oleh Raja Segala Raja, Sang Guru yang berlengan kuat, dan mengalir ke kota yang mashur sebelum bermuara di laut.

Inskripsi itu juga menyebutkan sungai yang disebut Gomati yang panjangnya 6122 busur, yang digali oleb sang purnawarman yang gemilang dalam waktu 21 hari pada tahun  pemerintahannya yang ke 22.

Baca juga: Duh, Bahaya! Nekat Terjang Banjir, Seorang Pengendara Wanita Malah Terperosok ke Saluran Air

Sungai ini yang pernah membelah (ada yang menterjemahkan "melanda", "menghancurluluhkan") daerah perkemahan Sang Nenekda sang Pendeta.

Piagam yang terdiri dari beberapa baris kalimat itu masih belum jelas benar apakah yang dimaksud dengan Raja Segala Raja, Sang Guru, Sang Nenekda Pendeta itu, masing-masing raja Purnawarman sendiri ataukah ayahnya dan neneknya.

Di samping itu tidak jelas apa hubungan sungai Candrabhaga dengan yang ke dua (Gomati). Pula tidak terang di mana kedudukan "kota yang mashur" dan "daerah perkemahan" itu.

Prasasti ini sekarang disimpan di dalam Museum Pusat, dahulu ditemukan di sebuah kampung bernama Batu Tumbuh. Nama ini mungkin berasal dari posisi batu bertulis itu, yang terbenam hampir seluruhnya ke dalam tanah, sehingga yang nampak hanya 10 cm saja.

Sebelum dipindahkan ke museum dalam tahun 1911, batu ini menjadi obyek pemujaan setempat, sehingga seharusnya sudah lama sekali terbenam di kampung itu, atau memang tak pernah dipindah-pindahkan sejak jaman Taruma.

Baca juga: Jika Masih Nekat dan Memaksa Menerabas, Ini Ketinggian Genangan Banjir yang Aman Dilewati Sepeda Motor

Dalam tahun enampuluhan di tempat bekas batu itu tertanam masih ada sebuah gubuk yang masih dikenal sebagai "kramat" dengan bekas-bekas sesajen. Letaknya sebelah utara kampung Batu Tumbuh, berbatasan dengan tepi Barat sungai Cakung yang mengalir ke arah Timurlaut ke arah Tugu. Jaraknya kira-kira 750 m dari gereja Tugu.

Menurut penelitian sarjana Belanda J. Noorduyn dan H. Th. Verstappen, terbukti dari foto udara bahwa kali Cakung tadinya mengalir berkelok-kelok ke arah utara dan bermuara sekitar Lagoa di sebelah Timur Tanjung Priok.

Sekarang kali itu membelok agak lurus ke arah Timurlaut lalu bermuara di Marunda. Letak kampung Batu Tumbuh ternyata tepat di sudut pertemuan antara daerah aliran yang lama dan yang baru kali Cakung ini.

Ini menimbulkan dugaan, bahwa aliran baru dari Batu Tumbuh (Tugu) ke arah Marunda itu sengaja digali untuk membelokkan sungai ke arah Timurlaut. Prasasti Tugu menyebutkan bahwa jarak yang digali 6122 dhanus atau busur.

Dengan ukuran sekarang ini diperkirakan hampir 7 mil atau 11 km. Jarak aliran baru ke arah Marunda jauhnya paling banyak 7 km. Mungkin di jaman itu pantai daerah itu lebih jauh ke laut, yang belakangan makin berkurang oleh pengikisan, sehingga jarak 11 km itu memang masih mungkin.

Baca juga: Jangan Sampai Tertipu, Inilah Ciri-ciri Mobil Bekas Banjir

Sekiranya dugaan ini benar, di mana letak "kota yang mashur" yang tak diberi nama dalam prasasti Tugu itu? Kalau Kali Cakung memang sungai yang dulunya mengalir ke arah Priok yang dinamakan Candrabhaga, maka seharusnya kota itu terletak pada aliran sungai itu, sekitar Tanjung Priok sekarang.

Dan kalau memang benar aliran sungai sengaja dibelokkan untuk menanggulangi banjir di daerah hilir, cukup masuk di akal bahwa kota lama itu terletak di bilangan ini.

Keadaan sekitar Tanjung Priok, di mana gugus karang yang terbenam memungkinkan ada tanah yang kering dan keras untuk perumahan, air minum yang cukup baik, dan pangkalan laut yang terlindung dekat muara kali Cakung dan kampung Lagoa, rupanya cukup menarik sebagai daerah permukiman kuno.

Namun pembangunan pelabuhan Tanjung Priok seratus tahun yang lalu tentunya telah membinasakan segala sisa-sisa kota Purnawarman, sekiranya memang benar pernah ada di sana. (Siswadhi – Intisari Mei 1977)

Baca juga: Diterjang Banjir, Longsor, dan Angin Kencang, Yogyakarta Dinyatakan dalam Kondisi Siaga Daurat Bencana