Intisari-Online.com – Upaya menangkal banjir di ibukota sudah terekam sejak zaman Kerajaan Tarumanegara di abad ke-12. Tapi mengapa sampai sekarang, banjir masih saja menenggelamkan Jakarta? Kuncinya, jangan tempatkan sungai sebagai halaman belakang. Untuk mencegah banjir Jakarta, jadikan sungai sebagai halaman depan.
--
Simak petikan kabar di awal tahun 1918, ketika hujan turun terus-menerus sejak Januari - Februari, membuat Batavia terendam banjir. Awal Februari, kampung di Weltevreden terendam selama beberapa hari, sampai-sampai penduduknya mengungsi. Rumah-rumah di Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang ikut terendam. Konon penyebabnya selokan yang terlalu kecil, sehingga air tak bisa mengalir.
Di sepanjang Jin. Molenvliet Barat dan Timur (kini Jln. Gajah Mada dan Jln. Hayam Wuruk) rumah-rumah dibuka untuk menampung pengungsi. Gemeente (kotapraja) pun membuka tempat-tempat pengungsian untuk orang kampung. Jumlah pengungsi mencapai ribuan orang. Mereka mendapat sumbangan dari Thaliafonds berupa uang f 300, dari Tuan Tjie Eng Hok (beberapa puluh karung beras), serta tiga peti ikan asin dari Tuan Lauw Soen Bak (Sin Po, 20 Februari 1918).
Banjir itu mendorong Gemeente Raad (kini DPRD, Red) menggelar rapat pada 19 Februari 1918. Rapat yang dipimpin buurgemeester (walikota) Bischop itu dihadiri 11 lid (perwakilan) Eropa dan 3 lid Bumiputera. Lid Tionghoa dan Arab absen. Dalam rapat itu walikota menyatakan telah menyediakan dana memadai untuk para korban banjir.
Rapat juga memutuskan, pemerintah menyediakan tempat pengungsian di bangsal Royal Standard Biograph di Pasar Baru, gedung Sekolah Dokter Jawa di Salemba, dan los-los di kota ilir dan Tanah Abang. Untuk menjaga segala kemungkinan, pemerintah meminta kampung-kampung dikosongkan, karena air masih mungkin meninggi, sehingga berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan.
Sejak Tarumanegara
Berdasarkan temuan arkeologis, banjir di Jakarta dapat ditelusuri lewat tulisan pada batu tulis Tugu yang ditemukan di dekat Tanjung Priok. Batu tulis itu memuat berita tentang penggalian sebuah "kali yang permai dan berair jernih". Penggalian itu diadakan dalam waktu 21 hari dan dilakukan oleh para brahmana, yang diberi hadiah 1.000 ekor sapi. Pekerjaan itu dilakukan pada tahun ke-22 Raja Purnawarman bertahta.
Tujuan penggalian disebutkan untuk mengairi sawah dan menahan banjir (Abdurrahman Surjomihardjo; Perkembangan Kota Jakarta; Jakarta: 1973). Jika mengacu angka tahun 1133 pada batu tulis Tugu, berarti masalah banjir sudah jadi perhatian sejak zaman Kerajaan Tarumanegara.
Sedangkan peta "Jayakarta" yang dikeluarkan Dr. JW Ijzerman (1917) menunjukkan upaya VOC mengurangi banjir dengan meluruskan Sungai Ciliwung. Selain untuk melancarkan transportasi,
juga memperlancar aliran sungai ke Batavia.
Setelah kemenangan Jan Pieterzoon Coen atas Jayakarta, dan mengubah namanya jadi Batavia, kedudukan VOC semakin mantap. Untuk memperlancar transportasi dari dan ke Batavia dibangunlah kanal-kanal. Setiap pembangunan kanal selalu dibarengi dengan pembangunan pintu air. Dengan pintu-pintu air itu, debit air sungai yang melewati kota dapat diatur.
Kanal Molenvliet (1648) misalnya, yang menghubungkan kota dengan kawasan selatan, dibangun atas permintaan Poa Bingam. Saluran ini diperuntukkan bagi pengangkutan hasil hutan di bagian selatan. Kanal yang semula bernama Bingamsgracht itu diubah menjadi Molenvliet pada 1661. Molenvliet dimulai dari daerah Glodok terus ke selatan, diapit oleh Jln. Gajahmada dan Jln. Hayamwuruk. Tepat di tenggara Benteng Rijswijk (Harmoni) saluran berbelok ke timur, diapit Jln. Ir. Juanda dan Jln. Veteran, dan membelok ke selatan memasuki kompleks Masjid Istiqlal.
Di kompleks masjid, terdapat jalur Sungai Ciliwung yang berbelok ke timur. Sedangkan tepat di sebelah timur terdapat pintu air Willemsluis. Pintu ini untuk mengatur debit air yang akan dialirkan ke Molenvliet. Aliran Ciliwung berbelok ke timur ke arah Pasar Baru, sejajar dengan Jln. Pos dan Jln. Dr. Sutomo, lalu berbelok ke utara sejajar dengan Jln. Gunung Sahari yang merupakan saluran pengalihan ke arah timur pada 1699, kemudian bertemu dengan Ciliwung melalui Jembatan Merah ke arah barat pada Jln. Raya Mangga Besar.
Namun pengendapan lumpur di kanal-kanal semakin cepat sejak meletusnya Gunung Salak (1699), sehingga debit air Ciliwung yang masuk ke kota semakin kecil. Pada 1732 Gubernur Diederik Durven memerintahkan pembuatan saluran baru Mookervaart untuk menambah debit air ke kota. Penggalian ini mengakibatkan timbulnya wabah penyakit, tewasnya para kuli, dan bencana banjir bagi Batavia. Akibat erosi, terjadilah endapan di muara-muara dan paya-paya jadi penuh air sehingga menjadi sarang nyamuk.
Melihat kondisi yang tidak sehat, kota pun dipindahkan ke selatan, yaitu ke Weltevreden (kawasan Monas sekarang) pada 1830-an. Dari sinilah kota mengalami perkembangan.
Kota sudah pindah ke Monas, tapi banjir terus mengikuti. Pada awal 1893, kawasan Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran tergenang air. Banjir juga mengakibatkan Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran, Kebon Jeruk, Tangki Belakang, Tanah Sereal, Tanah Nyonya, Kampung Kepal, Tanah Tinggi, Kemayoran Sawah, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam 1 m. (Fitri R. Ghozally (penyunting); Dari Batavia Menuju Jakarta; Jakarta: 2004).
--
Tulisan ini ditulis oleh Restu Gunawan dan pernah dimuat di Intisari edisi Februari 2008.