Intisari-Online.com – Upaya menangkal banjir di ibukota sudah terekam sejak zaman Kerajaan Tarumanegara di abad ke-12. Tapi mengapa sampai sekarang, banjir masih saja menenggelamkan Jakarta? Kuncinya, jangan tempatkan sungai sebagai halaman belakang. Untuk mencegah banjir Jakarta, jadikan sungai sebagai halaman depan.
--
Setelah itu, Batavia secara berturut-turut dilanda banjir. Pada 19 Februari 1909, menurut koresponden De Locomotief, hujan sangat deras sehingga kanal-kanal tidak mampu menampung air. Sebagai kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menangani banjir, De Locomotief menurunkan berita "Batavia Onder Water", disingkat menjadi BOW (Burgelijke Openbare Werken), sebuah kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk di dalamnya menangani banjir.
Setelah banjir, kampung-kampung bumiputera dalam waktu singkat akan kosong. Itu bisa berlangsung berhari-hari. Tapi di perkampungan warga Eropa sebaliknya. Mereka masih bisa menikmati pesta kecil. Dari atas trem listrik yang melewati permukiman, mereka bisa melihat rumah-rumah yang hanyut dan orang-orang berlarian menyelamatkan diri.
Alih fungsi lahan
Setelah kotapraja Batavia terbentuk pada 1905, masalah banjir masih menghantui, sehingga pada 1911 dimulailah penelitian secara menyeluruh terhadap sungai di Batavia, menyangkut sedimentasi dan pengaliran sungai, mulai dari Kali Angke, Pasanggrahan, Ciliwung, Krukut, Cisadane, dan Grogol.
Pemerintah menunjuk Herman van Breen, insinyur lulusan Technische Hooge School (sekarang ITB), untuk merencanakan tata air di Batavia yang lebih baik. Perencanaan tata air ini selain karena pembangunan kawasan Menteng, juga karena hampir selama dua abad, proses penggundulan di daerah Puncak terus berlangsung, akibat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan ten, sehingga menimbulkan ancaman banjir di Batavia. Hasil kerja van Breen itu berupa sebuah kanal penangkal banjir yang berada di luar kota.
Berdasarkan surat keputusan pemerintah kolonial tahun 1913, pembangunan pintu air Matraman (Manggarai) dimulai (1913 - 1919). Selain itu juga dibangun pintu air di Kampung Gusti dan Sunter. Pembangunan kanal yang fenomenal adalah kanal banjir dan Matraman sampai Karet. Kanal banjir Matraman dimulai dari Ciliwung sampai Karet. Dari Karet diteruskan ke kanal Krokot yang sudah ada. Kanal banjir dari Ciliwung, Krokot, dan Cideng yang mengalir di antara kedua sungai ini dialihkan ke luar kota menuju laut lewat kanal Krukut.
Untuk memperlancar aliran, dilakukan penggalian saluran Cideng dan saluran pembuangan Tanah Abang. Yang masih menjadi perhatian van Breen yaitu daerah polder di sekitar Teluk Gong, Pluit, ke arah utara sampai laut. Itu daerah yang dapat digunakan sebagai tempat parkir sementara {retention basin). Artinya, jika terjadi banjir, air akan masuk wilayah itu karena merupakan daerah rendah, dan dari situ air dipompa keluar secara mekanis.
Menurut peta hasil kerja van Breen selama hampir lima tahun, walaupun kanal banjir berhasil dibangun dan penataan air secara menyeluruh sudah dilakukan, Batavia tetap mengalami banjir secara periodik, di antaranya pada 1918 dan 1923. Bahkan pada periode 1930 - 1933, tiap tahun Batavia kebanjiran.
Siklus makin pendek
Setelah kemerdekaan, arus urbanisasi ke Jakarta kian meningkat. Penduduk Jakarta yang pada 1947 berjumlah 599.821 jiwa naik hampir 50% pada 1950. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu membutuhkan lahan untuk permukiman. Nah, meningkatnya lahan yang tertutup pembangunan ini jelas mengurangi daya serap air hujan yang jatuh di kawasan permukiman.
Periode 1945 - 1950-an, negara lebih sibuk mempertahankan kemerdekaan. Akibatnya, periode 1950 - 1965 Jakarta saban tahun kebanjiran. Atas dasar itu pemerintah membentuk tim penanggulangan banjir pada 1965 yang dinamakan Tim Komando Pencegahan Proyek Banjir (Kopro Banjir). Pada 1970, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya atau Proyek Pengendalian Banjir Jaya.
Berdasarkan rencana induk 1965 - 1985, Kopro Banjir berhasil memulai pembangunan waduk-waduk di dalam kota, yang selesai di masa Orde Baru. Setelah 1970-an, Proyek Pencegahan Banjir Jaya mengadakan kerja sama dengan Nedeco (sebuah tim asistensi Indonesia - Belanda). Kedua pihak merekomendasi perlunya penelitian tentang karakteristik keadaan tata air Jakarta dan kemungkinan pembuatan saluran di luar banjir kanal dari Karet ke Kali Angke.
Toh proyek-proyek penanggulangan banjir sudah dibangun, banjir masih saja mampir. Pada 1990 - 2000 siklus banjir tidak semakin renggang. Setiap tahun daerah yang dilanda banjir makin luas, termasuk daerah selatan yang sebelum 1977 bebas banjir. Jika dulu meluapnya Ciliwung paling dikhawatirkan, kini semua kali menyumbang banjir, mulai Kali Krukut, Grogol, Sekretaris, dan lainnya.
Tengoklah, mungkin ada yang salah dengan pengelolaan tata air di Jakarta. Kita selalu disibukkan dengan pembangunan kanal, tapi hampir di setiap kanal terjadi sedimentasi akibat erosi dan buangan sampah. Selain itu banyak pintu air yang tidak berfungsi maksimal. Untuk itu pembangunan manusia menjadi penting, terutama mengubah pola pikir warga yang semula menganggap sungai sebagai latar belakang, menjadi sungai sebagai halaman depan [water front).
Sebagai latar belakang, sungai diperlakukan sebagai tempat buang sampah, kotoran, sehingga airnya kotor dan terjadi sedimentasi. Pembangunan di bantaran sungai juga terus dilakukan, sehingga mengganggu aliran. Dengan menempatkan sungai sebagai water front, perlakuan terhadap sungai diharapkan berubah.
Dulu sebelum Gunung Salak meletus dan sedimentasinya belum banyak, sungai telah digunakan sebagai jalur pelayaran dengan air yang jernih.
Mungkinkah kali-kali di Jakarta direvitalisasi agar kehidupan di kota ini menjadi lebih beradab? Jangan tunggu Jakarta tenggelam dan peradabannya hancur, seperti yang terjadi pada 1770-an, saat Batavia jadi sarang pelbagai wabah penyakit.
--
Tulisan ini ditulis oleh Restu Gunawan dan pernah dimuat di Intisari edisi Februari 2008.