Suku Nomaden di Mongolia Terancam Punah Akibat Pembelotan dari Generasi Muda Mereka

Ade Sulaeman

Penulis

Suku nomaden di Mongolia

Intisari-Online.com - Mongolia pertmana kali bergabung dengan Asian Games di Teheran pada tahun 1974.

Mongolia selalu berpartisipasi dalam ajang ini, namun tidak ikut di tahun 1986 karena boikot.

Selama mengikuti Asian Games, Mongolia selalu meraih medali emas.

Selain prestasi Mongolia dalam Asian Games, Mongolia memiliki fakta yang menarik untuk diketahui.

Baca Juga:Terimbas Letusan Gunung Merapi? Begini 5 Aturan Menghadapi Hujan Abu Vulkanik

Baca Juga:Kerap Mendapat Siksaan, Ini 5 Alasan Wanita Bertahan dalam Hubungan Penuh Kekerasan atau KDRT

Salah satunya, sebanyak 30% penduduk Mongolia adalah nomaden, yaitu hidup berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain.

Pengembara Mongolia adalah penggembala, yang bertahan hidup dengan bertani atau beternak unta, sapi dan kuda.

Mereka juga pindah dengan memanfaatkan kondisi terbaik dari alam sepanjang tahun.

Dilansir dari CNN, selama ribuan tahun, orang-orang Dukha yang juga dikenal sebagai Tsaatan telah tinggal di hutan terpencil dan dalam di Mongolia bagian utara.

Baca Juga:Semua Warganya Berhak Cantik, Brasil Beri Subsidi Biaya Operasi Plastik

Mereka pindah dari padang rumput yang satu ke padang rumput lainnya setiap tujuh sampai sepuluh minggu.

Komunitas kecil penggembala rusa ini adalah salah satu dari sedikit suku yang tersisa.

Para penggembala Dukha ini bergantung pada rusa mereka untuk hampir semua aspek kehidupan, serta identitas dan spiritual.

Tetapi, ketika perkembangan modern mulai memasuki kehidupan mereka yang terpencil, tradisi kuno mereka terancam mati.

Baca Juga:Anda Pengguna Medsos? Cari Tahu Kemungkinan Terkena 'Disinhibition Effect'

Saat ini, mungkin hanya ada 40 keluarga yang tersisa dengan sekitar 1.000 rusa.

Ancaman terbesar dalam pandangan antropolog Sardar-Afkhami adalah pembelotan dari generasi muda Dukha yang tidak ingin hidup dalam kondisi yang keras di taiga (hutan salju di musim dingin).

Munculnya penambangan emas di daerah itu, serta peraturan pemerintah untuk membatasi perburuan Tsaatan juga menjadi faktor yang mengancam bagi keberadaan suku tersebut.

Sebagai kompensasi atas pembatasan perburuan, setiap keluarga dibayar sekitar $150 (sekitar Rp2 juta).

Yang lebih menambah kesengsaraan Dukha, jumlah rusa yang sangat bergantung pada mereka juga telah berkurang secara drastis karena penyakit dan kurangnya perawatan.

Semua faktor tersebut telah memaksa sebagian Dukha untuk bergantung pada uang dari pariwisata untuk bertahan hidup.

Baca Juga:Inilah Bukit Nirbaya di Nusakambangan, Lokasi Eksekusi Mati para Tahanan yang Terkesan 'Angker'

Artikel Terkait