Find Us On Social Media :

Bahagia Itu Pilihan

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 19 Maret 2015 | 06:00 WIB

Bahagia Itu Pilihan

“Kita lihat saja nanti,” balas si perampok sambil melompat ke depan.

Pedang mereka berdentang saat mereka saling dorong dan menangkis, benturan pedang mereka memantul dari dinding ngarai menimbulkan suara riuh.

Prajurit itu memang berani, tapi rupanya ia tidak cocok mengenakan senjata, dibandingkan dengan si perampok yang sangat terampil. Segera saja prajurit itu terbunuh.

Perampok itu mengambil uang, pedang, dan jubah prajurit itu. Lalu ia menyembunyikan tubuh prajurit itu karena ia tidak ingin pasukannya mencarinya.

Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Perampok itu melanjutkan hidupnya dengan merampok atau membunuh korbannya satu demi satu.

Hingga suatu hari seorang yang bijak datang berjalan menyusuri jalan setapak di lereng pegunungan itu. Perampok itu berpikir dua kali bila ingin merampok orang bijak itu karena perampok itu tahu ia adalah orang suci. Tetapi, daerah itu memang sudah terkenal sebagai sarangnya si perampok, maka ia tidak takut lagi untuk menganggap bahwa semua orang bisa menjadi mangsanya.

Ketika orang bijak itu mendekat, si perampok melompat dari tempat persembunyiannya, dan memaksa orang bijak itu tiarap, sambil menghunus pedang di tenggorokannya.

“Berikan semua uangmu,” bentak si perampok.

“Saya tidak punya uang,” kata orang bijak itu.

“Aku pernah dengar itu sebelumnya,” kata perampok, kepada korbannya.

Ketika mengetahui ternyata bahwa orang tua itu tidak punya uang, perampok itu mengatakan, “Karena Anda tidak punya uang, maka aku akan menyanderamu dan teman-teman Anda akan menebusnya.”

“Aku tidak akan membiarkan mereka membayar,” kata orang bijak itu.