Find Us On Social Media :

Cananeia, Tanah Surgawi di Brazil

By Agus Surono, Rabu, 19 Februari 2014 | 09:00 WIB

Cananeia, Tanah Surgawi di Brazil

Walau gagal membelai lumba-lumba, saya masih dapat tersenyum. Sebab saat mengunjungi pantai berpasir putih nan cantik Ilha do Cardoso, tujuan utamanya adalah melihat beberapa pengembangan ekowisata di Brasil. Pulau seluas 22 ha ini menjadi salah satu cagar alam sejak 1962. Selain melindungi spesies unik, seperti lumba-lumba, pengelola setempat ingin kawasan hutan dan pantai di sini dapat menjadi tempat penelitian bagi ilmuwan.

Bagi warga Brasil, pulau ini bagaikan tanah surgawi. Bentang alamnya kaya, dari pesisir berkarang, pantai berpasir lembut, sungai hingga kawasan perbukitan.

Saya juga menengadahkan kepala ke angkasa, berharap dapat menjumpai burung-burung cantik. Inilah waktu yang tepat untuk menyalurkan hobi mengamati burung di alam liar. Rekan saya yang membawa lensa tele sibuk mengatur fokus di dekat batas hutan mangrove di kanal Rio Ararapira. Saya mengintip lewat teropong milik seorang rekan. Lumayan, ada sejumlah burung berhasil saya catat. Misalnya, harpy eagle, red-shouldered macaw, ornate hawk eagle, dan swallow-tailed kite.

Kami pun singgah di Museum Kelautan yang berisi sejumlah ikan hidup yang hanya dapat ditemukan di sini dan kerangka paus yang cukup besar. Kabarnya, paus itu ditemukan terdampar di pantai pulau ini. Ada pula tempat penelitian biologi lengkap dengan laboratorium. Museum ini merupakan bagian dari Institute of Oceanography di bawah naungan University of Sao Paulo.

Di jalan yang sama, 1 km dari pusat kota, ada Morro Sao Joao (St John's Hill). Dari puncaknya kita bisa saksikan sekeliling pulau. Di sisi selatan bukit terlihat sejumlah cincin perunggu, tambatan kapal-kapal yang berlabuh peninggalan abad ke-16.

Tersedia penginapan bagi wisatawan. Tarifnya sekitar AS$8 per malam. Intrerior penginapan tergolong sederhana. Tiada hiasan mewah menggantung di dinding temboknya. Ranjangnya lumayan empuk bagi pelancong yang lelah usai berkeliling pulau. Namun saya lebih memilih tidur dengan tenda di kawasan pesisir. Aroma laut telah membius saya untuk mengakrabi malam bersama cahaya rembulan dan bintang.

Bila dalam 32 jam terbang keberangkatan saya tak mengalami jet lag, tak demikian saat pulang. Rasanya badan tak enak. Konon akibat terbang melawan arah rotasi Bumi. Tapi hati ini bisa memaklumi, toh semua ini demi sesuatu yang telah lama saya idam-idamkan. (Diah Rahayuningsih/Majalah Intisari Juni 2008)

View Larger Map