Find Us On Social Media :

Cananeia, Tanah Surgawi di Brazil

By Agus Surono, Rabu, 19 Februari 2014 | 09:00 WIB

Cananeia, Tanah Surgawi di Brazil

Intisari-Online.com - Brazil. Bagi saya yang sejak remaja senang berkegiatan di alam bebas, negeri ini jadi impian untuk dikunjungi. Maklum, bersama Indonesia, Brazil merupakan negeri berhutan tropis dan keaneragaman hayati terkaya di dunia. Mimpi itu jadi nyata. November 2005 tempat kerja saya, Conservation International Indonesia (CI), mengirim saya untuk pertemuan kerja tahunan penanggung jawab komunikasi dan hubungan masyarakat ke Sao Paulo, Brazil.

Sudah terbayang, di sela-sela rapat kerja, bisa saya manfaatkan untuk mengunjungi objek-objek ekowisata. Alangkah nikmatnya. Dari Jakarta, saya mesti terbang 16 jam untuk transit di Bandara Schippol, Belanda. Dari sini terbang lagi 12 jam sebelum mendarat di Sao Paulo, dua jam penerbangan dari ibukota Brazil, Rio de Jainero.

Pusat industri ini dihuni separuh dari total penduduk negeri Ronaldinho itu. Setelah itu, kami masih harus menempuh lima jam perjalanan darat dengan bus ke arah barat daya, menuju Cananeia, tempat saya bertemu rekan-rekan kerja sesama pendidik dan humas CI dari 12 negara.

Minuman khas memabukkan

Cananeia terletak di sebuah pulau kecil yang nyaris menyatu dengan daratan Brazil dan dihubungkan dengan jembatan. Pulau yang menghadap Samudra Atlantik ini merupakan salah satu kota tertua, pemukiman awal dari gelombang orang Portugis yang merambah negeri gila bola ini.

Penjelajahan pimpinan Martim Afonso de Sousa mendirikan pemukiman resmi pertama Portugis pada 1532 di Sao Vicente. Tapi setahun sebelumnya, ketika mendarat di Pulau Cananeia ini ia menemukan sebuah desa yang separuhnya boleh dikatakan sudah dikuasai para pelarian dan pelanggar hukum sejak awal 1502. Pulau ini diyakini sebagai lokasi pendaratan pertama Portugis di negeri Samba.

Kami bermalam di Hotel Costa Azul Club, penginapan sederhana yang menghadap ke arah laut, tepat di pinggir rawa, di muara sungai. Tiap kamar dilengkapi pendingin udara. Lumayan untuk menghalau panas udara, sekitar 40 derajat Celcius!

Walau terpencil dari hiruk-pikuk kaum urban, Cananeia sungguh mengasyikkan. Kota tenang ini telah menggelitik hasrat melancong saya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, saya dan beberapa rekan ditemani pemandu lokal yang fasih berbahasa Inggris mengunjungi kawasan kota tua di malam hari.

Kami susuri kota wisata nan elok ini, melewati jalan conblock-nya yang ramah lingkungan, masih menyisakan celah air meresap. Ada sejumlah rumah batu bergaya Mediterania, bar, restoran, dan pasar swalayan. Kebanyakan bangunan di kota tua ini sudah dinyatakan sebagai monumen nasional yang dilindungi, walau banyak di antaranya tak lebih dari puing-puing.

Penduduk asli Cananeia sebagian besar hidup dari memancing ikan sarden dan udang serta mengumpulkan tiram. Kami mampir ke museum sederhana, Rua Professor Besnard, yang banyak melakukan penelitian sejarah dan antropologi di Brazil. Di sini ada sejumlah meriam peninggalan Portugis.

Usai berkeliling, kami singgah ke pusat penjualan cendera mata. Saya tertumbuk pada sebuah batu berbentuk burung. Saat saya menanyakan harga, si penjual justru memberikannya secara cuma-cuma. Saya sempat termangu sejenak tak percaya. Megan McDowell, salah seorang staf CI di Washington, DC yang fasih berbahasa Portugis berkata, "Itu gratis buat kamu." Hingga kini, saya belum menemukan alasan si penjual menghadiahkan benda itu. Sebagai "bayaran" akhirnya saya membeli sebuah patung kayu berbentuk burung hantu.

Perjalanan kami berujung di Kurt Kaffee. Beberapa rekan segera memesan minuman beralkohol. Salah satu minuman itu sempat saya cicipi. Ketika disesap, mendadak saya terhenyak, kadar alkoholnya cukup tinggi! Ini jelas mengagetkan saya, yang tidak biasa minum alkohol. Beberapa rekan tersenyum berhasil mengerjai saya.