Find Us On Social Media :

Menyusuri Karokaram Highway keajaiban dunia ke-8 (LL)

By Agus Surono, Jumat, 28 Februari 2014 | 07:30 WIB

Menyusuri Karokaram Highway keajaiban dunia ke-8 (LL)

Pemandangan gunung dengan puncaknya yang tertutup es serta cerita pemandu Syafei (yang ternyata pemilik biro wisata yang mengantar kami) membuat perjalanan 14 jam tidak terlalu membosankan. Kami merupakan kelompok wisatawan Indonesia pertama yang dipandunya.

Selama perjalanan itu saya melihat kereta gantung antargunung. Bentuknya sederhana, kotak begitu saja. Kami berhenti dua kali di batu yang dilukisi oleh biksu yang pernah melintas di sana. Dari kejauhan kami juga melihat jalan sutra kuno dengan pagoda tingkat tiga. Kami sempat harus turun dari bus, meski cuma sekali, karena jalan tertutup longsoran es sehingga bus harus mengitari gundukan es perlahan-lahan.

Dari Chilas kami menuju ke Karimabad. Seharusnya melewati lembah bunga anggrek, sayang waktu itu sudah lewat masa berbunga. Kami memasuki daerah yang sudah berbeda dengan wila-yah Pakistan lainnya. Biarpun terpencil, di daerah yang kami lewati ada rumah sakit dan gedung sekolah yang kokoh, sumbangan dari Yayasan Aga Khan. Keluarga Aga Khan pula yang mengoperasikan Hotel Darbar Karimabad tempat kami menginap. Disiplin tanpa polisiKeesokan harinya kami dibawa ke Hopar Glacier menggunakan jip berpenggerak empat roda. Satu jip diisi tiga orang, satu di depan dan dua di belakang. Jalannya amat sempit dan tidak diaspal, sehingga sulit dilalui. Di sini dibutuhkan sopir berpengalaman, dan sopir seperti inilah yang mengantar kami. Meski berpapasan dengan traktor, misalnya, sopir kami dengan mulus melewatinya. Jangan-jangan ia lulusan Hill Driving School yang papan petunjuknya sempat saya lihat.

Yang patut diacungi jempol, meski tidak ada polisi, semua pengemudi di sini amat disiplin. Saat melewati jembatan yang tidak boleh dilalui dua kendaraan sekaligus, misalnya, semua pengemudi patuh menunggu sampai semua kendaraan di atas jembatan sudah lewat. Padahal, kelihatannya tidak ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar.

Sore harinya kami diajak ke Baltit Fort yang merupakan bekas tempat tinggal Mirs of Hunza, yang menghuninya sampai tahun 1960. Benteng itu umurnya sudah 400-an tahun dan dibuat dari batu, lumpur kering, dan kayu. Biarpun sudah direnovasi di sana- sini, bagian yang menjorok keluar masih disangga oleh balok-balok besar. Mirs of Hunza adalah keluarga penguasa Hunza selama 960 tahun. Penduduk Hunza atau Hunzakut dipercaya sebagai keturunan dari lima tentara Alexander Agung yang memisahkan diri dari induknya.

Bisa jadi ada benarnya. Kalau melihat pemandu kami yang menemani saat berkeliling benteng, wajahnya seperti orang Barat dan fasih berbahasa Jerman dan Inggris. Namun, soal bahasa Inggris ternyata bukan hal yang istimewa. Murid sekolah sudah diajari tiga bahasa: lokal, nasional, dan Inggris.

Di dalam benteng, selain dijelaskan soal macam-macam fungsi ruangan, juga diputarkan slide. Turun dari benteng, di kiri dan kanan penuh dengan toko cinderamata. Jangan lupa, belilah sulaman di sini. Kerajinan ini menjadi pengisi waktu wanita Hunza yang lebih banyak tinggal di rumah.

Setelah menghabiskan malam dengan menonton tarian lokal, keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Kota Sust, pos perbatasan di sisi Pakistan. Dari perbatasan ini orang bisa menjebol ke Provinsi Xin Jiang, RRC. Sayang, kami tidak bisa sampai ke perbatasan karena terhalang es. Pengemudi yang mengantar kami menyatakan takut tergelincir. Soalnya, ban mobil yang kami tumpangi tidak dilengkapi rantai. Akhirnya, kami ke Khunjerab Pass yang berketinggian 4.733 m. Banyak dari kami yang mengalami muntah-muntah.

Tujuan berikutnya adalah jembatan gantung yang harus dicapai dengan jalan kaki. Jembatan itu menghubungkan dua sisi gunung. Sebelum sampai di jembatan, kami mampir ke sebuah rumah yang kebetulan pemiliknya memberi izin untuk melihat-lihat ke dalam. Ruangannya cuma satu. Bagian tengahnya setingkat lebih rendah, mungkin supaya ujung lantai yang lebih tinggi bisa digunakan untuk duduk beramai-ramai. Di bagian belakang rupanya tempat memasak, dan di kiri-kanannya digunakannya untuk tidur. Kasurnya tampak digulung.

Pembagian rumah itu mirip rumah orang Mongolia yang atap tengahnya bolong untuk mengeluarkan asap dari dapur dan agar sinar Matahari bisa masuk. Namun, di dalam juga tampak lampu TL (neon) dan di luar ada kran. Saat saya tanya bagaimana kalau hujan, pemiliknya tidak menjawab. Kalau di Mongolia, lubang itu bisa ditutup.Hotel terpencil

Kami kemudian ke Danau Borith. Untuk mencapainya seharusnya kami jalan kaki. Namun, kali ini kaum hawa diperbolehkan menumpang minibus. Kendaraan itu tidak bisa naik kalau tidak penuh karena jalannya terjal dan tikungannya tajam. Begitu sampai, kami terpana akan keindahan danau yang dikitari gunung-gunung yang tertutup es. Kami melihat pula pohon berbunga ungu. Warna blossom tergantung buahnya. Ada yang putih, ungu, atau merah muda.

Meski amat terpencil, ternyata di sini ada losmen sederhana dengan nama yang boleh juga: Borith Lake Hotel. Entah siapa yang akan menginap di tempat terkucil begini. Kami diperbolehkan melongok dan masuk ke toilet. Saya heran, meski penjaganya cuma seorang, tapi toiletnya bersih amirrr. Mungkin karena jarang ada tamu ya, sehingga penjaga itu kerjanya bersih-bersih terus.