Menyusuri Karokaram Highway keajaiban dunia ke-8 (LL)

Agus Surono

Penulis

Menyusuri Karokaram Highway keajaiban dunia ke-8 (LL)

Intisari-Online.com - Cuma sebuah jalan raya. Namun inilah jalan raya tertinggi di dunia. Ditingkahi pemandangan gunung tersaput salju, menyusuri Karakoram Highway membersitkan petualangan tersendiri.

Karakoram Highway merupakan jalan penghubung antara Pakistan dan Republik Rakyat Cina. Panjangnya hampir 850 km dari jalan besar Islamabad ke Khunjerab Top yang tingginya sekitar 4.860 m di atas permukaan laut.

Pembuatannya dimulai tahun 1967 dan diperlukan waktu 16 tahun untuk menyelesaikan jalan sepanjang 774 km melintasi pinggir gunung, lembah, jurang terjal, dan sungai. Dipercaya, inilah capaian terbesar dalam bidang rekayasa semenjak berdirinya piramid di Mesir.

Memotret jembatan dilarang keras meski tidak ada penjaganya. Hal itu kami alami ketika mau memotret monumen di pinggir jembatan bertuliskan FWD the Builders of KKH Eight Wonder of the World, tiba-tiba muncul polisi. Ternyata mereka mengawasi dengan teropong. Pembangunan jalan ini menelan tak kurang dari 500 jiwa pekerja. Jadi, sekitar satu jiwa setiap milnya.

Waktu diajak ikut tur Jalan Sutra Pakistan, saya agak ragu. Apalagi setelah melihat tayangan Discovery Channel tentang jalan yang melingkari gunung-gunung di Pakistan Utara itu. Dalam film itu terlihat kendaraan bagai semut beriringan di dinding gunung.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah tidak berbahaya menyusuri jalan itu? Kalau berbahaya, mengapa ada tur ke sana dua kali seminggu yang diselenggarakan oleh biro wisata Singapura?

Akhirnya, saya pergi juga bulan April lalu.

Saya terbang dari Singapura ke Lahore. Sebelum menuju ke Islamabad keesokan harinya, kami mampir di Lahore Fort yang memiliki mesjid. Karcis untuk orang dewasa Pakistan 10 rupee, sedangkan anak lima rupee. Untuk orang asing berlipat kali menjadi 200 rupee.Sebagai gambaran, sewaktu di bandara, kami mendapati mata uang dolar AS dihargai 56 rupee per dolar. Sebenarnya, belanja di Pakistan tidak perlu menukar rupee, bisa dilakukan dengan mata uang dolar AS.

Mengitari gundukan es

Hari ketiga merupakan hari terberat, menempuh jarak 490 km pada jalur Islamabad - Chilas - Karakoram Highway. Rutenya, selain melingkari gunung, juga menyusuri jalan desa dan kota. Pengemudi tidak bisa ngebut sebab banyak kawanan kambing dan kereta yang ditarik keledai berkeliaran di jalanan. Namun, jangan lantas berpikir bosan sebab banyak pemandangan yang bisa menghapus kepenatan berjam-jam duduk di bangku bus.

Melihat truk yang penuh lukisan dan hiasan bisa menjadi hiburan tersendiri. Mirip barisan truk yang melintas jalur pantura di Pulau Jawa. Ada truk bergambar wajah anak si pemilik. Orang Pakistan juga suka pernak-pernik, seperti terlihat pada traktor yang dihiasi kembang buatan. Sementara itu, kendaraan umum dipasangi sobekan kain hitam dengan tujuan supaya selamat di jalan.

Yang unik dari angkot di Pakistan, bagian atasnya melengkung tinggi mirip keranda. Gunanya agar penumpang di dalam dapat berdiri dengan leluasa. Umumnya, penumpang wanita duduk di dalam, sedangkan prianya bergelantungan. Bahkan untuk bus, ada penumpang yang duduk di atap sambil berpegangan pada besi di pinggiran yang sudah terpasang. Besi itu entah dibuat untuk itu, entah pula sebagai penahan barang bawaan.

Pemandangan gunung dengan puncaknya yang tertutup es serta cerita pemandu Syafei (yang ternyata pemilik biro wisata yang mengantar kami) membuat perjalanan 14 jam tidak terlalu membosankan. Kami merupakan kelompok wisatawan Indonesia pertama yang dipandunya.

Selama perjalanan itu saya melihat kereta gantung antargunung. Bentuknya sederhana, kotak begitu saja. Kami berhenti dua kali di batu yang dilukisi oleh biksu yang pernah melintas di sana. Dari kejauhan kami juga melihat jalan sutra kuno dengan pagoda tingkat tiga. Kami sempat harus turun dari bus, meski cuma sekali, karena jalan tertutup longsoran es sehingga bus harus mengitari gundukan es perlahan-lahan.

Dari Chilas kami menuju ke Karimabad. Seharusnya melewati lembah bunga anggrek, sayang waktu itu sudah lewat masa berbunga. Kami memasuki daerah yang sudah berbeda dengan wila-yah Pakistan lainnya. Biarpun terpencil, di daerah yang kami lewati ada rumah sakit dan gedung sekolah yang kokoh, sumbangan dari Yayasan Aga Khan. Keluarga Aga Khan pula yang mengoperasikan Hotel Darbar Karimabad tempat kami menginap. Disiplin tanpa polisiKeesokan harinya kami dibawa ke Hopar Glacier menggunakan jip berpenggerak empat roda. Satu jip diisi tiga orang, satu di depan dan dua di belakang. Jalannya amat sempit dan tidak diaspal, sehingga sulit dilalui. Di sini dibutuhkan sopir berpengalaman, dan sopir seperti inilah yang mengantar kami. Meski berpapasan dengan traktor, misalnya, sopir kami dengan mulus melewatinya. Jangan-jangan ia lulusan Hill Driving School yang papan petunjuknya sempat saya lihat.

Yang patut diacungi jempol, meski tidak ada polisi, semua pengemudi di sini amat disiplin. Saat melewati jembatan yang tidak boleh dilalui dua kendaraan sekaligus, misalnya, semua pengemudi patuh menunggu sampai semua kendaraan di atas jembatan sudah lewat. Padahal, kelihatannya tidak ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar.

Sore harinya kami diajak ke Baltit Fort yang merupakan bekas tempat tinggal Mirs of Hunza, yang menghuninya sampai tahun 1960. Benteng itu umurnya sudah 400-an tahun dan dibuat dari batu, lumpur kering, dan kayu. Biarpun sudah direnovasi di sana- sini, bagian yang menjorok keluar masih disangga oleh balok-balok besar. Mirs of Hunza adalah keluarga penguasa Hunza selama 960 tahun. Penduduk Hunza atau Hunzakut dipercaya sebagai keturunan dari lima tentara Alexander Agung yang memisahkan diri dari induknya.

Bisa jadi ada benarnya. Kalau melihat pemandu kami yang menemani saat berkeliling benteng, wajahnya seperti orang Barat dan fasih berbahasa Jerman dan Inggris. Namun, soal bahasa Inggris ternyata bukan hal yang istimewa. Murid sekolah sudah diajari tiga bahasa: lokal, nasional, dan Inggris.

Di dalam benteng, selain dijelaskan soal macam-macam fungsi ruangan, juga diputarkan slide. Turun dari benteng, di kiri dan kanan penuh dengan toko cinderamata. Jangan lupa, belilah sulaman di sini. Kerajinan ini menjadi pengisi waktu wanita Hunza yang lebih banyak tinggal di rumah.

Setelah menghabiskan malam dengan menonton tarian lokal, keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Kota Sust, pos perbatasan di sisi Pakistan. Dari perbatasan ini orang bisa menjebol ke Provinsi Xin Jiang, RRC. Sayang, kami tidak bisa sampai ke perbatasan karena terhalang es. Pengemudi yang mengantar kami menyatakan takut tergelincir. Soalnya, ban mobil yang kami tumpangi tidak dilengkapi rantai. Akhirnya, kami ke Khunjerab Pass yang berketinggian 4.733 m. Banyak dari kami yang mengalami muntah-muntah.

Tujuan berikutnya adalah jembatan gantung yang harus dicapai dengan jalan kaki. Jembatan itu menghubungkan dua sisi gunung. Sebelum sampai di jembatan, kami mampir ke sebuah rumah yang kebetulan pemiliknya memberi izin untuk melihat-lihat ke dalam. Ruangannya cuma satu. Bagian tengahnya setingkat lebih rendah, mungkin supaya ujung lantai yang lebih tinggi bisa digunakan untuk duduk beramai-ramai. Di bagian belakang rupanya tempat memasak, dan di kiri-kanannya digunakannya untuk tidur. Kasurnya tampak digulung.

Pembagian rumah itu mirip rumah orang Mongolia yang atap tengahnya bolong untuk mengeluarkan asap dari dapur dan agar sinar Matahari bisa masuk. Namun, di dalam juga tampak lampu TL (neon) dan di luar ada kran. Saat saya tanya bagaimana kalau hujan, pemiliknya tidak menjawab. Kalau di Mongolia, lubang itu bisa ditutup.Hotel terpencil

Kami kemudian ke Danau Borith. Untuk mencapainya seharusnya kami jalan kaki. Namun, kali ini kaum hawa diperbolehkan menumpang minibus. Kendaraan itu tidak bisa naik kalau tidak penuh karena jalannya terjal dan tikungannya tajam. Begitu sampai, kami terpana akan keindahan danau yang dikitari gunung-gunung yang tertutup es. Kami melihat pula pohon berbunga ungu. Warna blossom tergantung buahnya. Ada yang putih, ungu, atau merah muda.

Meski amat terpencil, ternyata di sini ada losmen sederhana dengan nama yang boleh juga: Borith Lake Hotel. Entah siapa yang akan menginap di tempat terkucil begini. Kami diperbolehkan melongok dan masuk ke toilet. Saya heran, meski penjaganya cuma seorang, tapi toiletnya bersih amirrr. Mungkin karena jarang ada tamu ya, sehingga penjaga itu kerjanya bersih-bersih terus.

Sekarang waktunya kembali. Tujuan kami adalah Besham. Ada berita buruk bahwa di dekat Kota Dasu yang akan kami lewati ada sembilan tempat mengalami longsor di hari sebelumnya. Bagaimanapun, kami harus melewati jalur itu. Itulah satu-satunya jalan pulang. Di Chilas, pemandu kami tidak bisa menghubungi penjaga jalan raya. Hubungan telepon di Pakistan Utara memang sulit. Kami memutuskan untuk terus dan di perjalanan ternyata bertemu dengan regu pembersih jalan yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

Selama dalam perjalanan, pemandu kami sering turun dari bus untuk melihat dinding gunung jika ada butiran tanah yang berjatuhan. Setelah dirasa aman, rombongan pun melaju. Hal itu perlu ia lakukan untuk menghindari bencana. Di jalur ini pernah ada rombongan turis dari Jepang yang tertimpa longsoran gara-gara tidak memperhatikan tanda-tanda alam yang mencurigakan.

Dari Besham kami berangkat ke Islamabad melalui Taxila, tempat bersejarah yang dilindungi oleh UNESCO. Setelah mengisi perut yang keroncongan, kami menyambangi Museum Taxila yang bagus. Kami juga mengunjungi peninggalan Kota Sirkap dan Julian Buddhist Monastery yang terletak di atas bukit.

Hari terakhir kami menuju Lahore. Pagi itu kami melewati Rawalpindi, kota kembar Islamabad yang bagus dan teratur. Kebanyakan kantor kedutaan berada di sini. Kami mampir pula ke Mesjid Raja Faisal, mesjid kedua terbesar setelah di Mekkah, yang dibangun oleh Raja Arab Saudi.

Selepas makan di sebuah restoran Korea, kami pun meninggalkan Pakistan, negara yang menurut saya penuh kekontrasan. Ada domba berkeliaran, ada pula jalan tol megah serta - tentu saja - Karakoram Highway.

Bagi yang suka bertualang, jangan lewatkan Pakistan. (Ira S./Majalah Intisari November 2004)

View Larger Map