Find Us On Social Media :

Bertemu Evita Peron di Recoleta, Buenos Aires

By Agus Surono, Sabtu, 3 Mei 2014 | 18:45 WIB

Bertemu Evita Peron di Recoleta, Buenos Aires

Intisari-Online.com - Saat saya berkunjung ke Buenos Aires, ibukota Argentina, Presiden Carlos Menem masih berkuasa (presiden saat ini Cristina Fernández de Kirchner). Suasana negeri tampak adem ayem. Padahal Argentina punya "hobi" guling-menggulingkan presiden. Sejak Isabella Peron (istri ke-3 Juan Peron) menggantikan tugas suaminya, Negeri Tango itu terseret ke dalam kegelisahan politik yang tak berkesudahan.

Evita Peron yang gesit mengatur strategi dituding sebagai ibu negara yang serampangan membelanjakan uang negara yang berlimpah ruah. Memang, ia sempat menjadi "Duta Pelangi" bagi negerinya untuk membuka mata dunia: Argentina di bawah pimpinan suaminya patut mendapat acungan jempol!

Taman asri di mana-mana

Buenos Aires berarti udara bersih dan segar. Bisa jadi karena kota ini terletak di muara pertemuan beberapa sungai yang luar biasa lebar. Dengan begitu, angin sejuk selalu berhembus dari muara sungai yang berfungsi juga sebagai pelabuhan penting. Saya merasa, udara yang saya hirup dan menyelinap ke paru-paru begitu segar dan bersih. Terlebih saat sengaja berjalan kaki menyusuri taman-taman kota. Taman kota yang asri memang menghiasi seluruh bagian kota.

Palermo, taman terbesar di kota ini, mempunyai jalur sungai yang menghubungkan ke arah Costanera Norte. Bagian utara sungai itu dialiri Sungai (Rio) de La Plata. Di sini saya mengagumi hamparan permadani mawar di 3 Febrero Park. Warna-warni yang ceria, serta semerbak harum khas mawar merekah, membuat saya betah berlama-lama di kebun mawar ini.

Tak kalah menarik adalah panorama di kawasan Retiro. Letaknya nyaris menempel di mulut muara Rio de La Platta, juga berhiaskan taman daun dan bunga berwarna-warni. Dikenal sebagai tempat surga belanja, namun memiliki stasiun tua (tahun 1915) yang menjadi terminal akbar semua jaringan kereta api di Buenos Aires.

Beda dengan kawasan La Recoleta yang memiliki ciri khas patung Male Torso di hamparan taman rumput yang tebal. Patung karya seniman Kolombia, Fernando Batero, itu seolah menjadi penjaga abadi dari ribuan pohon berukuran raksasa yang tegak menjulang. Tajuknya yang lebat rindang memayungi rumput nan hijau.

Belum lengkap ke Recoleta kalau tidak mengunjungi makam Evita Peron yang berada di La Recoleta Cementery yang berarsitektur kokoh dan megah. Monumen-monumen berbentuk rumit dan rapi dalam detail tegak di seputaran pemakaman kaum elite itu. Tempat ini tercatat sebagai pemakaman terbesar dan terkemuka di seluruh negeri.

Sayangnya, berhubung saya datang pada waktu yang kurang tepat, Casa Rosada hanya bisa saya lihat dari kejauhan. Saya hanya bisa membayangkan sosok ringkih Evita mengucapkan pidato terakhirnya di balik balkon terkenal itu. Sementara para pendukungnya The Shirtless poor (descamidos) berkerumun menyimaknya di pelataran yang luas.

Transaksi langsung

Selain kuburan Evita di Recoleta, saya singgah di National Museum of Fine Art; ajang pameran karya-karya seni para seniman terkemuka. Tak jauh dari museum ini ada satu bangunan hall yang cukup luas. Saat awal keberadaannya di tahun 1917 bangunan itu dikenal dengan nama Plais de Glace (The Ice Place), yang tentu saja dimanfaatkan sebagai arena olahraga ice skating.

Dengan berjalannya waktu dan pergeseran kebutuhan, gedung itu pernah dipakai untuk arena bertango. Namun sejak 1932 menjadi "sarang" menyenangkan bagi para seniman. Di sinilah para calon pembeli dapat langsung bertransaksi dengan para seniman yang memperagakan karya-karyanya. Dikelilingi taman yang asri, para wisatawan seperti enggan beranjak dengan segera.

Perkampungan seniman itu sendiri terletak di daerah pelabuhan, La Boca alias "Mulut". Lokasinya memang di mulut muara Rio de La Plata. Bangunannya terdiri atas rumah para seniman, toko, restoran, dengan cat warna-warni yang semarak.

Uniknya, di atas bentangan jalur rel kereta api tua berdiri Caminito Street Museum. Museum terbuka ini memajang karya seni yang langsung bisa dibeli dari tangan pertama. Terkadang tanguerias (bar atau kafe) melengkapi menu mereka dengan atraksi tango di arena terbuka.

Kawasan tertua lainnya adalah San Telmo. Tempat ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah tango. Kampung kuno itu melestarikan bangunan bergaya arsitektur abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satunya Museum of Modern Art (1918) yang memamerkan beragam karya seni dari plastik.

Perjalanan saya sore hari itu berakhiri di Esteban de Luca's House. Beragam dessert tersaji di sini. Aneka jenis makanan penutup mulut yang disebut dengan dulce de leche ini terbuat dari krim manis yang kental. Aromanya terhirup mirip bumbu spekuk yang khas. Secangkir kopi pahit disediakan untuk "meredakan" rasa manis yang tidak kepalang tanggung itu.

Restoran cantik itu bekas kediaman Esteban yang terkenal sebagai pencipta lagu-lagu patriotik Argentina. Esteban juga dikenal sebagai tentara yang pintar menulis puisi. Para pengunjung restoran bisa melihat koleksi puisi serta barang-barang pribadinya yang menarik untuk disimak. Sudah dijadwalkan rombongan kami akan kembali ke San Telmo pada hari Minggu malam untuk berburu tango!

Avenue terlebar di dunia

"Kota yang tidak pernah tidur", begitu Buenos Aires sering dijuluki. Berkali-kali sang pemandu, Oscar Castagtino, membanggakan kotanya pada saya. Semarak taman berwarna-warni berdesakan dengan baliho raksasa, membuat kota tampil lebih mempesona.Melintasi avenue terlebar di dunia itu saya terperangah lama. Diberi nama dari Hari Kemerdekaan, Ave 9 de Julio, jalan itu dilintasi 12 jalur mobil yang berseliweran dengan tertib.

Berseberangan dengan avenue tadi terdapat Teatro Colon. Oscar menyarankan agar saya menghadiri pertunjukan opera di sini. Bangunan tua yang megah ini dibangun pada abad ke-19. Kokoh, indah, dengan dinding dan lantainya terbuat dari pualam antik.Saat menaiki tangga bangunan, kembali terlintas sebuah foto tua dari Evita Peron. Di tangga itu pula ia diabadikan bergandengan tangan dengan Presiden Juan Peron. Gaun malam yang dirancang secara khusus oleh Christian Dior menyapu lantai. Sementara tubuhnya gemerlap oleh permata yang diciptakan Van Cleef khusus untuk sang maharani Argentina.

Pada awal keberadaannya, Alberto Williams, salah satu komponis terkemuka, memanfaatkan sebagai tempat pementasan karya-karya muridnya. Ia mendirikan sekolah musik pertama di Argentina dan berhasil memunculkan komponis-komponis muda di abad ke-20.

Malam itu opera akan mengangkat cerita Bamarzo, yang diambil dari novel karya sastrawan Mujica Lainez. Saya ikut-ikutan "mengheningkan" diri seperti sikap semua penonton yang hadir. Suasana begitu syahdu dan memukau. Ada istirahat setelah separuh lakon usai dipentaskan.

Saya bergegas menuju pintu museum yang menyatu dengan arena utama. Lemari panjang berkaca dalam ukuran besar menyimpan beragam kostum opera yang pernah dikenakan oleh para bintang teater yang sempat berpentas di teater ini. Masing-masing kostum diberi informasi pernah dipakai siapa dalam lakon apa.

Dari dalam mobil saat pulang saya menangkap bulan bersinar di balik bangunan tua yang selalu menjadi kebanggaan negeri. Terlebih bagi Buenos Aires. Sampai saat ini, pertunjukan opera berjadwal dan acara-acara penting lainnya sering mengambil tempat di sini.

Habis bola, tango!

Minggu malam itu akhirnya datang. Kami kembali ke San Telmo untuk menonton dansa tango. Yah, tango memang kegiatan yang paling digemari penduduk Buenos Aires, selain menonton pertandingan sepak bola. Kebetulan kedua kegiatan itu berlangsung hanya pada Minggu malam. Jadi, sehabis menonton pertandingan sepakbola, penduduk Buenos Aires dan sekitarnya mengendurkan sarafnya dengan menonton atau sekaligus berdansa tango.

Tango benar-benar menghanyutkan kehidupan masyarakat Argentina. Pernah Maradona dalam salah satu acara talk show televisi "mogok bicara" karena mengaku kurang sehat. Tekanan darahnya naik drastis dan keringat bercucuran membasah-kuyupkan tubuh gempalnya. Usut punya usut, si rambut ikal ini berterus terang. Sesaat sebelum pengambilan gambar talk show, ia baru saja bertango dengan Cecillia Bolocco, ratu kecantikan Spanyol yang uaayu-nya luar biasa.

Oleh Carlo kami dicarterkan di Bar Sur. "Ini sudah ada di San Telmo sejak 50 tahun lalu," ujarnya. Saat duduk berhimpitan di bar yang terbilang sempit itu saya berpikir, apa ya mungkin, pasangan pedansa tango itu dapat menari dengan bebas di parquet yang berukuran 3 x 3 m?

Penonton sekitar 100 orang memenuhi arena lantai dansa. Sementara yang duduk di ketinggian tampak berdesakan. Empat pemusik yang sudah uzur "disudutkan" dekat meja bar minuman. Dengan semangat mereka menghibur penonton, dan tentu saja memberikan pemanasan bagi pedansa dengan lagu-lagu tango yang amat populer.

Paduan suara gitar, biola, flute, bandoneon (sejenis akordeon yang jadi ciri khas musik tango) mengumandangkan La Cumparsita, El Choclo, La Paloma, Milonga Sentimental.

Menjelang tengah malam lampu meredup perlahan. Sepasang penari "terbang" berpagutan erat dalam sorotan spotlight yang lembut. Ricardo Mentesa, primadona bar tadi, dengan tangkas "menyeret" pasangannya yang dengan lemah gemulai memasrahkan diri.

Dengan tatapan penuh kerinduan mereka mendekatkan pipi. Bercumbu sejenak, dan tiba-tiba saling "membanting". Ekspresi angkuh keluar dengan kaki masing-masing dibiarkan menendang ke semua arah. Namun, kembali tubuh itu berdekapan rapat, lantas berlenggak-lenggok seolah mengumbar luapan birahi yang menggelora.

Bukan main! (Yatie Asfan Lubis/Majalah Intisari Oktober 2005)